Cari Berita

Breaking News

Siapa Berpolemik Ijazah Jokowi: Haters, Proxy War, atau Lainnya?

Dibaca : 0
 
Editor: Rizal
Rabu, 16 April 2025

Ijazah Jokowi



Oleh, Dr. Wendy Melfa


POLEMIK POLITIK, KUTAK – KATIK

Sejak sedari masih menjabat pada periode kedua, utamanya jelang akhir masa jabatannya, Joko Widodo, Presiden ke 7 Indonesia sudah diganggu oleh issue “diragukan” keabsahan ijazah tanda kelulusan dan kesarjanaan S 1 Fakultas Kehutanan (FK) Universitas Gajah Mada (UGM), hingga Presiden Indonesia bergantipun, issue itu tetap liar meramaikan wacana pemberitaan publik melalui media sosial, cetak, dan elektronik, bahkan selasa 15/4 lalu, ada ‘ratusan relawan’ mendatangi UGM mencari tahu dan meminta penjelasan kepada pihak UGM, institusi yang mempunyai legal standing untuk menjelaskan kepada publik tentang buktı-bukti (dokumen), riwayat, dan keabsahan bahwa sang Presiden Indonesia ke 7 adalah benar pernah menjadi mahasiswa dan belajar pada FK UGM, mempunyai skripsi, dan ijazah tahun kelulusan 5 November 1985. Pada kesempatan yang sama juga moment itu dihadiri oleh sejumlah teman-teman Jokowi semasa kuliah, diperlihatkan foto saat mereka bersama di ruang kelas ketika mahasiswa dulu.


Sebelumnya juga pernah ada analisa Rismon H Sianipar, mantan dosen Universitas Mataram yang menyangsikan keaslian ijazah dan skripsi Joko Widodo sebagai lulusan UGM dengan bersandarkan pada argumen bahwa lembar pengesahan dan sampul skripsi Jokowi menggunakan font Times New Roman yang menurutnya belum ada pada era tahun 1980-an hingga 1990-an (Tempo, 21/3). 


Masih ada beberapa pihak lainnya yang juga ikut ‘berpolemik’ baik secara terbuka atau ‘tersembunyi’ dalam issue ini, dan dapat dimaklumi bersama, objek utama issue yang berpolemik berkepanjangan ini karena melibatkan kredibilitas Predisen ke 7 Indonesia, Joko Widodo, Presiden yang menjabat dua periode Presiden RI, yang hingga akhir jabatannya, approval ratting-nya menurut sejumlah lembaga survey masih diatas 70 persen dari masyarakat Indonesia. 


Nampaknya tidak berlebihan bila disebutkan polemik ini bukan issue liar biasa, karena melibatkan kredibilitas Presiden Indonesia ke 7, juga melibatkan salah satu Univeritas ternama yang menjadi salah satu barometer Perguruan Tinggi Indonesia, juga yang ikut berpolemik baragam tokoh politik, Dosen Peruguruan Tinggi, ahli Telematika, juga bahwa para alumni UGM itu sendiri, issue ini menjadi polemik politik yang mengutak-atik, bukan saja kredibilitas Joko Widodo, tetapi juga kredibilitas UGM sebagai kampus ternama, dan dapat mencederai kredibilitas pendidikan Indonesia baik dimata Nasional maupun Internasional.

 

KERAGUAN YANG TAK BERTEPI, MESKI TELAH DITANGGAPI

Kedatangan ‘ratusan relawan’ alumnus UGM yang datang kekampusnya untuk meminta penjelasan kepada pihak UGM secara kelembagaan (15/4) telah diterima dan ditanggapi oleh dua Wakil Rektor UGM, yaitu Wakil Rektor Pendidikan dan Pengajaran, dan Wakil Rektor Kemasiswaan, Pengabdian Masyarakat, dan Alumni untuk menunjukkan data dan dokumen berkaitan dengan riwayat dan keberadaan mahasiswa FK UGM yang bernama Joko Widodo dari lembar (copy) ijazah SMA (syarat masuk UGM), skripsi S 1 asli, sampai dengan ijazah yang bersangkutan yang diterbitkan oleh Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada, lulus 5 November 1985, terhadap keseluruhan dokumen yang diperlihatkan tersebut, pihak UGM menjamin valitidasnya (tribunnews, 15/4).


Sebelumnya, Sigit Sunarta, Dekan FK UGM dalam menanggapi pernyataan Rismon H Sianipar, menyesalkan informasi yang menyesatkan dari mantan dosen Universitas Mataram tersebut yang diketahui juga sebagai alumnus Fakultas Teknik UGM. Dekan FK UGM membantah analisa tersebut dengan mengatakan: sebagai seorang dosen seharusnya dalam menyimpulkan suatu informasi harus didasarkan pada fakta dan metode penelitian yang baik seraya menyarankan seharusnya juga membandingkan dengan ijazah dan skripsi Jokowi dengan ijazah dan skripsi lainnya yang diterbitkan pada tahun yang sama di FK UGM. (Tempo, 21/3). Dan juga pada saat sejumlah relawan alumni UGM yang mengatasnamakan Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA) yang beraudience dengan jajaran Rektorat UGM, Turut hadir sejumlah teman-teman Jokowi yang pernah berada pada kelas yang sama seraya menunjukkan foto kebersamaan mereka.


Dari beberapa bukti dan dokumen tersebut sebagai bentuk tanggapan atas permintaan penjelasan kepada pihak Rektorat akan validitas dan keaslian ijazah Joko Widodo, ternyata belum juga menjadikan keraguan akan keaslian ijazah yang menjadi polemik ini bertepi, malah justru menimbulkan ‘keinginan’ baru dari pihak yang beraudience melalui juru bicaranya untuk mendatangin kediaman Joko Widodo, untuk melihat  ijazah asli Joko Widodo.

 

SIAPA DAN UNTUK APA ?

Ternyata utak-atik polemik ini masih belum akan diakhiri, meskipun kita mengetahui bahwa institusi yang mempunyai legal standing menyatakan skripsi dan ijazah dari sebuah perguruan tinggi itu adalah Perguruan Tinggi itu sendiri, dalam hal ini Fakultas Kehutanan dan Universitas Gajah Mada, kecuali ada Putusan Badan Peradilan yang menyatakan sebaliknya dengan diawali proses persidangan dengan didukung oleh bukti dan saksi yang cukup. Dan semua Perguruan Tinggi serta Sarjana dari semua strata pendidikan menghetahui bahwa dokumen asli yang disimpan pihak Perguruan Tinggi hanya Skripsi, Tesis, dan Disertasi, untuk ijazah asli ada pada Sarjana yang bersangkutan untuk menyimpan dan memilikinya, dan secara hukum menjadi hak privat dari yang bersangkutan untuk menyimpan dan atau menggunakannya. 


Hak privat seseorang dilindungi oleh Undang-Undang, kecuali dapat ‘diintervensi’ oleh proses hukum dan atau putusan Pengadilan yang berkekuatan tetap (incrach), hukum menjamin tidak satupun dan atau pihak menapun boleh mengintervensi hak privat seseorang. Tanpa proses hukum tidak satupun institusi, kelompok, apalagi perseorangan dapat ‘mengintervensi’ hak privat seseorang yang dilindungi UU, dan manakala menyatakan sesuatu yang berbeda dengan fakta hukum dihadapan publik, maka dirinya dapat dikatagorikan sebagai ujaran kebencian yang dapat dipidana.


Konsekuensi memangku jabatan politik pada Negeri yang pembangunan politiknya sedang tumbuh seperti saat ini akan menghadapi pernyataan yang tidak ‘nyaman’ dari para pembenci (haters), yang bisa saja mereka mempunyai ‘agenda’ dan tujuan tersendiri dalam menyampaikan aksinya, itu merupakan resiko dan konsekuensi pejabat publik pada sebuah Negara demokrasi, sepenjang para haters tersebut tidak melanggar hukum tentunya.


Dari perspektif geo politik pertarungan bangsa-bangsa global, saat ini sudah dapat dirasakan bahwa ‘intervensi’ suatu negara dan atau sekutunya terhadap kedualatan Negara lain pada dekade ini tidak lagi menggunakan kekuatan pesawat tempur dan tank baja, atau menerjunkan pasukan militer, namun intervensi Negara lain saat ini sudah dalam bentuk narasi, kekuatan politik, media sosial, adu domba, men-down great negara lain melalui issue HAM, Deporestasi, Pendidikan dan Kesehatan yang tidak berkualitas, lingkungan, kemiskinan, Narkoba, dan lainnya sehingga dapat melemahkan kredibilitas, kemampuan, daya saing, persatuan kesatuan yang dapat mengancam kedaulatan suatu Negara dari dalam Negara itu sendiri, inilah yang disebut perang proksi (proxy war). 


Bukankah polemik ijazah yang tidak bertepi ini patut diduga juga dapat dimanfaatkan untuk memecahbelah persatuan Indonesia yang mulai disegani dalam pergaulan bangsa-bangsa dunia saat ini, tidakkah juga patut diduga dapat men-down great UGM khususnya dan kepercayaan terhadap Perguruan Tinggi di Indonesia umumnya, kita dan waktulah yang akan menjawabnya. Dan kalo ini menjadi bagian dari proxy war yang akan melemahkan Indonesia dari dalam, maka kekuatan bela negara dari masing-masing setiap warga negara yang harus dikedepankan. Menurut artikel ini, ada pepatah masyarakat Jepang mengatakan: “bila naik kereta merasa tersesat, maka turunlah di stasiun terdekat, agar tidak terlalu jauh menemukan jalan kembali.”



*)

Dr. Wendy Melfa

Dosen Universitas Bandar Lampung (UBL)Penggiat RuangDemokrasi (RuDem)

LIPSUS