Cari Berita

Breaking News

Mengukur Batin Manusia, Dulu dan Kini

Dibaca : 0
 
Minggu, 27 April 2025

Menyambut Aplikasi Knowing Myself+Healing LSI Denny JA (2)
------------


Oleh Denny JA

Di sebuah sore kelabu musim gugur 1905, di lorong-lorong sempit Paris, seorang anak kecil bernama Lucien duduk terpaku di bangku kayu sekolahnya.

Kepalanya tertunduk, jarinya mencabik-cabik ujung buku. Ia tak mengerti pelajaran seperti anak-anak lain. Guru-gurunya mengeluh, teman-temannya menjauhinya.

Ibunya, seorang penjahit miskin, memohon kepada kepala sekolah:
“Tolong, jangan biarkan Lucien tersesat. Ada sesuatu di dalam dirinya yang tak bisa dilihat biasa.”

Doa itu sampai ke telinga Alfred Binet. Ia seorang psikolog yang kala itu tengah mencari cara mengukur kemampuan berpikir — bukan sekadar prestasi akademik.

Lucien menjadi salah satu anak pertama yang menjalani tes inteligensi yang baru dikembangkan Binet-Simon.

Hasilnya mencengangkan: Lucien bukan bodoh. Ia hanya memiliki gaya belajar yang berbeda. Ia adalah seorang visual thinker.

Ia bukan penghafal angka dan kata-kata. Berkat intervensi itu, Lucien kemudian menjadi pelukis jalanan, menghiasi kafe-kafe kecil Montmartre dengan warna-warna jiwanya.

Satu tes. Satu pengukuran batin. Satu perubahan hidup.

-000-

Kisah Lucien di Paris 1905, bergema jauh dalam imajinasi saya 120 tahun kemudian, di tahun 2025.

Hari ini, bersama tim dari LSI Denny JA, kami tengah mempersiapkan aplikasi Knowing Myself + Healing. Ini 
sebuah sahabat digital, yang menemani siapa saja, 24 jam sehari, 7 hari seminggu.

Aplikasi ini menggabungkan 13 tes psikologi yang telah dipatenkan, dipadukan dengan layanan healing berbasis diskusi online. Ia membawa seni mengukur batin manusia ke era baru: real-time, personal, dan mendalam.

Sebelum membangun masa depan itu, saya menyusuri kembali sejarah panjang yang telah membentuknya. Yaitu perjalanan lima tahap agung dalam mengukur batin manusia, mengikuti irama perubahan zaman.

Sepanjang sejarah, manusia terus bertanya: Siapakah aku?
Pertanyaan itu bergema dari kuil-kuil Yunani kuno, menembus gurun sunyi para sufi, menggema di menara-menara universitas abad pertengahan. Kini ia  bersarang dalam sirkuit chip silikon AI.

Pengukuran batin manusia tidak lahir dalam sekejap. Ia adalah perjalanan panjang, bersilang di antara ilmu, cinta, dan harapan.

-000-

Tahap Pertama: Lahirnya Ilmu Psikologi Eksperimental (Akhir Abad ke-19)

Leipzig, 1879.
Di sebuah ruangan sunyi, penuh alat ilmiah dan aroma buku tua. Wilhelm Wundt membuka laboratorium psikologi eksperimental pertama.

Bukan lagi spekulasi kosong, bukan lagi tafsir mistis: kini batin manusia diukur melalui waktu reaksi, kejelian sensorik, eksperimen terukur.

Revolusi Industri tengah mengubah Eropa menjadi mesin raksasa. Urbanisasi dan industrialisasi membawa tekanan jiwa baru.
Manusia membutuhkan cara memahami dirinya — lebih objektif, lebih ilmiah.

Maka lahirlah psikologi ilmiah:
sebuah anak sulung dari rahim pergolakan zaman.

-000-

Tahap Kedua: Kemunculan Tes Inteligensi (Awal Abad ke-20)

Paris, 1905.
Alfred Binet dan Théodore Simon menciptakan Skala Binet-Simon, tes inteligensi pertama.

Bukan untuk menghukum anak-anak lambat,
melainkan untuk menyelamatkan potensi yang tersembunyi.

Tes ini membedakan antara keterlambatan sosial dan keterbatasan biologis.
Pendidikan berguncang: bakat dan potensi kini bisa diungkap sejak dini, bukan lagi hanya bergantung pada status sosial.

Ketika Perang Dunia I meletus, dunia membutuhkan klasifikasi cepat atas jutaan tentara. Tes ini bertransformasi menjadi Stanford-Binet Intelligence Scale. Di tangan Lewis Terman, tes ini menjadi standar emas selama puluhan tahun juga untuk orang dewasa.

Di sini, pengukuran batin mulai digunakan bukan hanya demi kasih sayang, tetapi juga demi efisiensi industri, bahkan untuk perang.

-000-

Tahap Ketiga: Perkembangan Tes Kepribadian dan EQ (Pertengahan Abad ke-20)

1943. Dunia baru saja terbangun dari mimpi buruk perang dunia kedua.

Minnesota Multiphasic Personality Inventory (MMPI) lahir. Ini 
alat untuk memahami luka-luka tersembunyi: depresi, paranoia, skizofrenia.

Namun dunia juga mencari bukan hanya penyakit,
tetapi keseimbangan batin.

Tahun 1995, Daniel Goleman menerbitkan Emotional Intelligence, memperkenalkan dunia pada kecerdasan emosi:
kesadaran diri, pengelolaan emosi, empati, membangun hubungan.

Di Jakarta, di New York, di Buenos Aires — dunia perlahan mengerti. 
IQ mungkin membuka pintu, tetapi EQ menentukan apakah manusia dapat berbahagia di dalamnya.

-000-

Tahap Keempat: Era Digital dan Revolusi Teknologi (Akhir Abad ke-20)

Tahun 1990-an.
Dunia maya lahir.

Tes psikologi berpindah dari kertas ke layar.
Model kepribadian Big Five menjadi populer:
Openness, Conscientiousness, Extraversion, Agreeableness, Neuroticism.

Hanya dalam beberapa klik, seseorang kini bisa menggenggam peta kepribadiannya sendiri.

Data dikumpulkan, perilaku dipetakan, dunia kerja dan relasi dibentuk ulang.

Namun di balik semua kemudahan itu, sebuah pertanyaan samar berbisik:
Apakah manusia semakin transparan… atau justru semakin terekspos?

-000-

Tahap Kelima: Integrasi Kecerdasan Buatan (AI) dan Big Data (Abad ke-21)

Hari ini, di tahun 2025.

Pengukuran batin memasuki wilayah yang dulu hanya bisa diimpikan:
real-time, prediktif, dipahat dari jutaan fragmen data.

Aplikasi berbasis AI tak hanya membaca ekspresi wajah, intonasi suara, ketukan jari,
tetapi juga memprediksi arah suasana hati, dan menawarkan intervensi seketika.

Namun setiap kemajuan membawa tanya:

Apakah algoritma mampu membaca kesedihan yang membatu di dada seorang ibu yang kehilangan anak?
Apakah ia mampu mendengar bisu cinta dua kekasih yang dipisahkan perang?

Kita bergerak maju, namun jiwa manusia tetaplah misteri:
tak seluruhnya bisa dihitung, dikalkulasi, atau dikuantifikasi.

-000-

Sebuah percakapan virtual ini dapat kita bayangkan, terjadi di subuh hari pukul 2.15, di pojok sebuah kamar di Jawa Timur.

Malam itu, Sarah, 27 tahun, mengisi DASS-21 di aplikasi Knowing Myself + Healing dari LSI Denny JA. Skor depresinya tinggi: 35.

Ia menulis, “Aku merasa seperti berjalan di dalam kabut, tanpa arah, tanpa alasan.”

Tak lama, aplikasi membuka ruang teks untuk healing.
Seorang konselor virtual menyapa:

“Sarah, mungkin dunia tak selalu bisa memelukmu. Tapi malam ini, izinkan aku mendengarkan hatimu.”

Sarah terdiam. Air matanya mengalir.

“Kalau boleh, ceritakan satu hal kecil yang masih membuatmu bertahan,” kata konselor virtual dalam diskusi online itu lagi.

Sarah mengetik perlahan: “Aku masih ingin melihat adikku lulus sekolah.”

Satu percikan cahaya.

Di ujung percakapan, Sarah tidak langsung sembuh. Tapi malam itu, untuk pertama kalinya setelah berminggu-minggu, ia memeluk dirinya sendiri .  

Percakapan itu mengingatkannya masih ada sebuah harapan. 

Seperti Lucien kecil di Paris, setiap manusia membawa dunia batinnya sendiri. Itu memang  tak kasat mata, tak sepenuhnya bisa diukur.

Namun ia bisa disentuh, didengarkan, dan dipahami dengan cinta.

Sejarah tes psikologi adalah sejarah cinta manusia terhadap dirinya sendiri:
cinta yang ingin memahami, bukan menghakimi.

Kita terus bertanya:

“Apakah aku hanya angka dalam skala? Apakah aku hanya pola dalam big data?”

Atau…

“Adakah sesuatu dalam diriku — luka, harapan, cinta — yang melampaui seluruh alat ukur itu?”

Mungkin jawabannya bersemayam di satu tempat yang abadi:
di ruang sunyi antara dua manusia yang saling mendengarkan dengan sabar, dengan kasih.

Mengukur batin manusia — dulu dan kini — adalah, dan akan selalu menjadi,
perjalanan panjang. Ia akan lebih pasti jika ditemani peta batin kita sendiri melalui  hasil aneka tes psikologi.

Karena memahami diri, sejatinya, adalah awal memahami semesta.***

Jakarta, 27 April 2025


LIPSUS