Oleh Denny JA
Mereka yang tampak baik-baik saja di luar, ternyata menyimpan luka batin yang dalam. Dan akhirnya memilih jalan sunyi: bunuh diri.
WHO mencatat, kini lebih banyak manusia mati karena bunuh diri dibandingkan yang mati karena terorisme, bencana alam, dan perang — jika ketiganya digabungkan.
Aulia Risma Lestari, dokter spesialis muda dari Universitas Diponegoro, ditemukan wafat setelah meninggalkan pesan memilukan:
“Tuhan, aku sakit. Mohon tempatku pulang.”
Ia bukan korban penyakit medis. Ia korban luka batin yang tak kasat mata. (1)
Di belahan dunia lain, Jonah Habedank, remaja SMA di Amerika, menuliskan kalimat terakhir di jurnalnya:
“Stay strong and keep going.”
Ia selalu tampak ramah, cerdas, penuh tawa. Tapi malam itu, ia tak mampu lagi “keep going.” Ia pergi dalam senyap. (2)
Dua jiwa muda, dua dunia berbeda. Tapi jeritan mereka sama:
Kita butuh alat untuk mengukur kondisi batin.
Cepat. Praktis. Murah.
Bukan hanya mengukur IQ, tapi luka, impian, dan makna.
Tanpanya, kita mungkin tahu dunia, tapi tak mengenal diri sendiri.
Setiap pagi, di seluruh dunia, jutaan manusia muda bangun dengan satu pertanyaan sunyi di dada:
“Untuk apa aku hidup hari ini?”
-000-
Zaman yang Bising Tapi Membisu
Kita hidup di zaman yang riuh oleh notifikasi, tapi sunyi dalam mengerti rasa manusia.
Kita punya ribuan teman virtual, tapi tak tahu kepada siapa bicara saat krisis datang.
Di tengah revolusi digital yang membanjir, kesehatan mental runtuh diam-diam.
Data WHO 2023 mengungkap:
• Lebih dari 280 juta orang di dunia mengalami depresi.
• Bunuh diri menjadi penyebab kematian ke-4 terbanyak pada usia 15–29 tahun.
• Gangguan kecemasan meningkat 25% setelah pandemi dan terus mendaki sejak era hiper-digitalisasi.
Namun, angka hanyalah riak di permukaan.
Yang tak tercatat: jutaan jiwa yang kehilangan arah —
Tak cukup sakit untuk masuk rumah sakit, tapi terlalu terluka untuk merasa hidup.
-000-
Dunia Tanpa Peta Batin
Bayangkan menjelajahi hutan belantara tanpa peta, tanpa kompas, tanpa cahaya.
Begitulah nasib banyak manusia hari ini: tersesat dalam diri sendiri.
Kita mengajarkan matematika, fisika, bahasa.
Tapi kita lupa mengajarkan: bagaimana memahami jiwa.
Tak heran jika lahir generasi yang:
• Pintar, tapi cemas.
• Kreatif, tapi rapuh.
• Ambisius, tapi kehilangan tujuan.
Mereka berlari cepat, tanpa tahu ke mana.
Kita butuh terobosan:
Bukan hanya ruang konseling sunyi di balik pintu.
Tapi ruang digital yang selalu terbuka — teman batin yang setia menemani.
Bayangkan sebuah aplikasi yang:
1. Menyediakan tes psikologi kapan saja: depresi, kecemasan, pola perilaku, kecerdasan, bakat.
2. Menawarkan sesi healing adaptif: meditasi, afirmasi, journaling terarah, hingga live chat dengan AI berempati tinggi.
3. Membuat peta psikologis real-time: mood tracker, pola pikir, jalan keluar dari jebakan mental.
4. Menghubungkan individu dengan komunitas healing: ruang aman untuk didengar, bukan dihakimi.
5. Memberikan feedback jujur, personal, penuh kehangatan.
Ini bukan sekadar aplikasi.
Ini peta batin digital untuk zaman yang kehilangan arah.
-000-
Mengapa Ini Mendesak?
Karena tak semua orang bisa segera ke psikolog.
Karena krisis batin sering datang diam-diam —
Pada malam panjang, saat dunia tidur,
dan satu-satunya yang kita punya hanyalah layar ponsel yang dingin.
Di saat seperti itu, kita butuh sesuatu yang mengerti —
Bahkan sebelum kita sempat mengerti diri sendiri.
AI, big data, dan sistem cerdas bisa menjadi sahabat lembut.
Bukan menggantikan manusia, tapi menjadi jembatan pertama menuju pemulihan.
Dengan syarat: aplikasi ini harus dibangun di atas empati, bukan sekadar efisiensi.
Ia harus berpijak pada ilmu psikologi yang dalam, dan nilai kemanusiaan yang luhur.
Di dunia yang semakin gaduh,
Ketika identitas ditentukan algoritma,
Ketika mimpi ditarik oleh trending tag,
Kita butuh ruang untuk bertanya dengan jujur:
“Siapakah aku?
Apa yang sebenarnya sedang aku cari?”
Dan jika pertanyaan itu muncul pada pukul 3 dini hari,
Semoga ada aplikasi yang siap menjawab —
Bukan dengan algoritma semata,
Tapi dengan kehadiran yang terasa manusiawi.
Karena di era gelap pikiran ini,
Yang kita butuhkan bukan hanya teknologi,
Tapi juga teman untuk pulang ke dalam diri.
-000-
LSI Denny JA sedang mengembangkan Knowing Myself+Healing:
Sebuah aplikasi Real-Time, berisi 12 tes psikologi berhak paten, berbasis AI, tersedia dalam 28 bahasa, untuk siapa saja mengenal diri dan menemukan penyembuhan.
Di balik layar canggih ini,
bekerja tiga prinsip utama yang menjadi filternya. Pertama, aplikasi ini sejenis “pertolongan pertama,” bagi pengguna yang ingin tahu diri sendiri secara umum.
Jika pengguna memerlukan sebuah eksplorasi diri lebih detil, sangat detil, tentu akan diarahkan kepada psikolog dan psikiater manusia yang sangat ahli.
Kedua, privacy dan kerahasiaan data harus terjamin. Prinsipnya:
Data batin setiap pengguna adalah katedral rahasia.
Tak boleh ada jejak digital yang dibiarkan terbuka.
Kepercayaan perlu dijaga dalam enkripsi yang sunyi dan suci.
Ketiga, setiap rekomendasi yang diberikan dapat ditelusuri jejaknya, berdasarkan ilmu pengetahuan yang baku.
Rekomendasi itu bukan kotak hitam yang gelap,
melainkan peta yang jernih:
“Inilah pola emosimu.
Inilah risikonya.
Dan inilah jalan keluar yang kami tawarkan.”
Semakin kita menyadari. Bukan dunia yang perlu kita taklukkan. Tapi jiwa sendiri yang perlu kita kenali, rawat, dan pulihkan.”***
Jakarta 25 April 2025
CATATAN
(1) Dokter spesialis bunuh diri
https://www.ntvnews.id/news/0111412/pesan-terakhir-mahasiswi-dokter-spesialis-undip-yang-bunuh-diri-tuhan-aku-sakit-mohon-tempatku-pulang
(2) Remaja bunuh diri
https://local12.com/news/local/stay-strong-keep-going-parents-hope-teens-final-journal-entry-saves-lives-suicide-awareness-suicidal-teenager-la-salle-high-school-student-jonah-habedank-depression-mental-health-therapy-therapist-cincinnati-ohio