Pengantar Buku Riset Internasional LSI Denny JA
Oleh Denny JA
“Kemajuan suatu bangsa tidak diukur dari banyaknya menara beton, tetapi dari indeks Tata Kelola Pemerintahan Yang Baik (Good Governance Index).”
-000-
Pada suatu pagi yang lengang di Jember, Jawa Timur, seorang remaja bernama Muhammad Alif Fathurrohman sudah bersiap sebelum matahari terbit.
Ia tidak menaiki sepeda motor, tidak pula diantar mobil. Ia berlari, sejauh lima kilometer dari rumahnya di Lingkungan Cupu, Kelurahan Baratan, demi mengejar mobil sekolah yang hanya berhenti di titik tertentu. (1)
Alif adalah anak yatim piatu. Ia tinggal bersama neneknya yang renta. Di tengah segala keterbatasan, Alif menolak menyerah. Ia bercita-cita menjadi anggota TNI, bukan demi popularitas, tapi demi memperbaiki nasib dan memberi arti bagi bangsanya.
Setiap langkah larinya adalah simbol dari perjuangan tanpa henti, dari harapan yang lebih besar dari rasa lelahnya.
Kisah Alif bukan sekadar inspirasi personal. Ia adalah cermin dari kondisi tata kelola pemerintahan yang masih jauh dari sempurna. Ia adalah bukti bahwa anak bangsa harus melampaui rintangan sistemik hanya untuk mendapatkan hak dasarnya: pendidikan.
Maka, pertanyaan besarnya adalah: bagaimana negara bisa hadir lebih dekat bagi orang-orang seperti Alif?
Di sinilah pentingnya menilai dan membenahi tata kelola pemerintahan secara sistemik. LSI Denny JA mengembangkan Good Governance Index (GGI) sebagai alat ukur komprehensif untuk menilai kinerja pemerintahan.
GGI tidak hanya menilai dari satu sisi, melainkan dari enam dimensi utama: Efektivitas Pemerintahan (25%), Pemberantasan Korupsi (20%), Demokrasi (15%), Pembangunan Manusia (15%), Digitalisasi Pemerintahan (15%), dan Keberlanjutan Lingkungan (10%).
GGI bukan sekadar rangkaian angka. Ia adalah cermin: sejauh mana negara bekerja bagi rakyatnya.
-000-
Efektivitas Pemerintahan menjadi dimensi pertama dan terpenting. Negara dengan birokrasi lamban dan pelayanan publik buruk akan gagal menjangkau Alif dan jutaan siswa lain yang membutuhkan dukungan nyata.
Singapura dan Swiss telah membuktikan bahwa pemerintahan yang efektif mempercepat keadilan.
Pemberantasan Korupsi adalah urat nadi kepercayaan publik. Di negara dengan integritas tinggi seperti Denmark, dana publik tidak bocor di tengah jalan. Korupsi adalah pengkhianatan terhadap anak-anak seperti Alif.
Demokrasi bukan hanya soal pemilu. Ia tentang akuntabilitas, kebebasan sipil, dan partisipasi warga. Negara seperti Norwegia dan Selandia Baru memastikan bahwa suara rakyat ikut menentukan arah kebijakan.
Pembangunan Manusia menempatkan kesejahteraan rakyat sebagai poros utama. Indeks Pembangunan Manusia (HDI) mencakup akses pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan.
Negara seperti Norwegia telah menunjukkan bahwa kemajuan bukan hanya GDP, tapi kualitas hidup yang dirasakan oleh seluruh warga.
Digitalisasi Pemerintahan membuat layanan publik lebih cepat dan transparan. Di era teknologi, negara yang lambat bertransformasi digital akan tertinggal jauh.
Korea Selatan dan Denmark menjadi contoh bagaimana digitalisasi memperkuat efisiensi dan kepercayaan publik.
Keberlanjutan Lingkungan menjadi dimensi tak kalah penting. Di tengah perubahan iklim global, negara harus menyeimbangkan pembangunan dengan konservasi alam.
Tanpa kebijakan hijau, kita mewariskan kehancuran pada generasi seperti Alif.
-000-
GGI adalah indeks komposit. Ia mengambil data dari lembaga global seperti World Bank, UNDP, EIU, Yale University, dan PBB. Perhitungannya dilakukan melalui normalisasi, pembobotan, dan agregasi dari enam dimensi utama. Total 187 negara diukur dalam indeks ini.
Tahun 2024, Denmark, Finlandia, dan Swiss berada di peringkat tiga besar. Indonesia berada di peringkat 79 dari 187 negara, dengan skor 54,575
Meskipun mengalami kenaikan dibandingkan tahun 2019, Indonesia masih berada di kuadran IV: negara dengan tata kelola buruk dan pendapatan per kapita rendah.
Analisis kuadran menunjukkan bahwa semua negara dengan tata kelola baik (GGI > 70) adalah negara dengan pendapatan per kapita tinggi (di atas US$14.000).
Tidak satu pun negara miskin yang memiliki skor GGI tinggi. Koefisien korelasi GGI dengan pendapatan per kapita adalah 0.805 (p<0.001). Artinya, peningkatan kualitas tata kelola hampir pasti berbanding lurus dengan peningkatan kemakmuran.
-000-
Namun, sebuah indeks tak pernah cukup menjadi mantra penentu arah. Ia harus ditanyai, dipertanyakan: sejauh mana ia mampu menangkap bisikan getir dari pelosok-pelosok sunyi seperti milik Alif?
Di balik angka 54,575 yang tertera anggun di layar presentasi, bersembunyi paradoks yang menyayat: desa-desa di Nusa Tenggara yang gelap gulita, atap sekolah yang runtuh di Papua, atau prosedur birokrasi yang perlahan memadamkan nyala mimpi.
Estonia bisa saja jadi mercusuar reformasi, namun kita tak bisa menjiplak jalan yang tumbuh dari sejarah dan kultur yang berbeda.
Indonesia harus menggali jalannya sendiri, dengan keberanian membongkar akar lama yang membatu. Ini sebuah warisan Orde Baru, di mana kekuasaan dan modal kerap berbisik mesra di lorong-lorong yang tak terdengar.
Dalam konteks ini, GGI tak boleh hanya menjadi cermin bening yang memantulkan wajah. Ia harus berubah menjadi pisau bedah: tajam, teliti, dan berani.
Ini untuk mengangkat tumor-tumor korupsi yang bersarang dalam sistem, yang membuat Alif terus berlari di pagi buta, sementara dana pendidikan menguap dalam senyap ke saku yang tak pantas.
Perbaikan tata kelola pemerintahan juga bukan hanya tanggung jawab pemerintah semata. Keberhasilan reformasi membutuhkan peran aktif masyarakat sipil, sektor swasta, dan semua elemen bangsa untuk bersinergi secara berkelanjutan.
Partisipasi publik yang kritis dan konstruktif, inovasi dari dunia usaha, serta pengawasan transparan dari media dan lembaga independen akan memperkuat fondasi tata kelola yang baik.
Hanya dengan kolaborasi yang solid, Indonesia dapat mengatasi tantangan struktural dan mewujudkan pemerintahan yang benar-benar hadir untuk seluruh rakyatnya.
Indonesia memiliki peluang untuk berpindah dari kuadran IV ke kuadran III, dengan meningkatkan kualitas tata kelola meskipun pendapatan masih terbatas. Ini berarti Indonesia harus:
1. Mereformasi birokrasi secara mendalam.
2. Memberantas korupsi hingga ke akar budaya.
3. Memperkuat demokrasi dan partisipasi publik.
4. Melakukan lompatan digital dalam pelayanan publik.
5. Menyelaraskan pembangunan dengan pelestarian lingkungan.
Negara seperti Estonia, meski kecil dan tidak kaya sumber daya, berhasil menjadi salah satu negara dengan GGI tinggi karena berani berinovasi dan memberantas korupsi secara sistemik.
Dengan tata kelola yang lebih baik, Indonesia tidak hanya membangun jalan tol dan gedung pencakar langit, tapi juga membuka jalan terang ke sekolah-sekolah terpencil.
Agar anak-anak seperti Alif tidak perlu berlari lima kilometer setiap pagi hanya untuk mendapatkan pendidikan.
-000-
Esai ini bukan sekadar kajian teknokratis. Ia adalah panggilan jiwa. GGI bukan sekadar indeks, tapi adalah peta nurani.
Ia mengingatkan kita bahwa keberhasilan pemerintahan bukan ditentukan oleh berapa proyek yang diresmikan, tapi oleh berapa banyak mimpi rakyat yang diwujudkan.
Sebab sejarah tidak hanya mencatat siapa yang membangun menara tertinggi, tetapi lebih menghargai siapa yang membangun keadilan untuk mereka yang paling membutuhkan.
Muhammad Alif Fathurrohman menunggu. Generasi Indonesia menunggu. Dan sejarah akan mencatat: siapa pemimpin yang hanya menghitung pertumbuhan, dan siapa yang mengukur kemajuan dari seberapa adil pemerintah hadir dalam hidup rakyatnya.***
Jakarta, 17 April 2025
CATATAN
(1) Kisah Muhammad Alif yang berlari 5 Km setiap kali sekolah, jarak dari rumahnya ke titik penjemputan mobil. Ia berlari bulak balik, pergi dan pulang dari sekolah.
Kisah Siswa SMA di Jember Lari 5 Km ke Sekolah Setiap Hari
-000-
Ratusan esai Denny JA soal filsafat hidup, political economy, sastra, agama dan spiritualitas, politik demokrasi, sejarah, positive psychology, catatan perjalanan, review buku, film dan lagu, bisa dilihat di FaceBook Denny JA’s World
https://www.facebook.com/share/1LByBfHbHx/?mibextid=wwXIfr