Oleh : Gunawan Handoko
Nampaknya bencana banjir masih ingin mengakrabi masyarakat Lampung, khususnya warga Kota Bandarlampung. Pada awal tahun, tepatnya tanggal 17 Januari 2025, banjir datang mengepung hampir seluruh wilayah kota. Belum sembuh duka masyarakat yang terdampak musibah, setengah bulan kemudian bencana serupa kembali terjadi, tepatnya pada 21 Februari 2025.
Banjir yang terjadi saat itu lebih besar dibandingsebelumnya dan menimpa seluruh kawasan permukiman serta beberapa ruas jalan di ibukota Provinsi Lampung, termasuk jalan arteri bypass Soekarno - Hatta yang seharusnya merupakan jalan bebas hambatan dan bebas banjir.
Beberapa sungai yang diharapkan mampu untuk menampung debit air, justru meluap dan membuat genangan air semakin tinggi, dibuktikan dengan tingginya permukaan air di simpang Rumah Sakit Umum Abdul Moeloek (RSUAM) Bandarlampung yang berada di tepi sungai. Terkini, banjir kembali datang pada 21 April 2025 dan menghampiri beberapa wilayah Kota Bandarlampung, terparah di wilayah Kecamatan Panjang dan menelan korban jiwa 3 orang meninggal dunia, selain korban materi tentunya.
Siapapun akan merasa miris melihat kondisi masyarakat yang rumah dan perabotannya secara bertubi-tubi terendam air. Bagi masyarakat Bandarlampung, bencana banjir sudah menjadi momok yang menakutkan, utamanya mereka yang menjadi pelanggan banjir. Setiap kali hujan turun dengan durasi lebih dari 2 jam saja, bisa dipastikan terjadi banjir di beberapa kawasan permukiman.
Kita patut memberi apresiasi atas sikap tanggap Walikota Bandarlampung Eva Dwiana beserta jajaran yang selalu mendatangi para korban setiap kali terjadi banjir, sekaligus memberi bantuan. Juga kesigapan jajaran Polda Lampung dalam membantu para korban. Sikap tanggap tersebut paling tidak, telah membuat para korban sedikit bingar karena merasa diperhatikan walaupun sifatnya hanya sesaat.
Untuk menjawab persoalan banjir tentu tidak cukup hanya memberi bantuan beberapa kilogram beras dan santunan kepada korban meninggal dunia, tapi harus ada langkah konkrit untuk menanganinya. Bencana banjir yang selalu datang setiap kali turun hujan, sudah cukup memberi bukti bahwa drainase kota yang ada sudah tidak berfungsi.
Disadari bahwa untuk merealisasikan penanganan banjir bukan hal yang mudah karena butuh biaya yang besar dan komitmen yang sungguh-sungguh dari Pemerintah Kota dan lembaga DPRD.
Lembaga DPRD yang merupakan wakil rakyat diharapkan memiliki kepekaan dan kepedulian serta secara sungguh-sungguh menjadikan penanganan banjir sebagai program prioritas utama.
Lupakan dulu program yang tidak mendesak untuk dilakukan, seperti rencana membangun kereta gantung yang menghubungkan rumah dinas Walikota Bandarlampung dengan Teluk Lampung yang diyakini membutuhkan biaya besar, sementara masyarakatnya menangis karena selalu ditimpa bencana banjir.
Bagi kota besar seperti Bandarlampung memang sudah selayaknya memiliki destinasi wisata seperti yang diimpikan Walikota, sekaligus menjadi ikon untuk memperkuat citra Kota Bandarlampung. Tapi, jangan sampai mengabaikan kepentingan yang lebih prioritas, seperti penanganan banjir dan juga sampah.
Hal yang perlu dipahami bersama oleh Pemerintah dan DPRD Kota Bandarlampung bahwa kondisi drainase kota yang ada saat ini sudah saatnya untuk dilakukan rehabilitasi dan revitalisasi total (grand desain), khususnya di kawasan hilir. Sebagian besar drainase kota yang ada sudah “hilang” dan tertutup oleh bangunan yang tumbuh demikian pesat.
Ketika masih aktif sebagai PNS di Dinas PU, penulis pernah mencoba mencari dokumen drainase kota, tapi tidak berhasil menemukannya, sehingga tidak dapat diketahui secara pasti dimana jejak atau letak saluran yang seharusnya berfungsi untuk menampung dan mengalirkan air. Diperparah lagi, kondisi sungai yang ada telah terjadi penyempitan akibat maraknya bangunan di bantaran sungai tersebut. Sebagian lagi telah terjadi pendangkalan akibat ulah manusia yang selama ini kurang menyadari tentang risiko yang akan timbul apabila sungai dimanfaatkan sebagai tempat pembuangan sampah, kotoran, dan limbah.
Boleh jadi, musibah banjir yang datang bertubi-tubi ini merupakan peringatan bagi Pemeritah Kota Bandarlampung untuk melakukan evaluasi terhadap berbagai aspek teknis dan sosial yang diyakini sebagai penyebab bencana itu. Untuk mengatasi masalah banjir di Kota Bandarlampung tidak cukup hanya mengandalkan upaya yang bersifat fisik atau struktur saja, sebagaimana yang selama ini dilaksanakan. Namun harus menggabungkan antara upaya struktur dengan nonstruktur. Keangkuhan terhadap alam dengan unjuk gelar ilmu dan tehnologi hanya akan membuahkan malapetaka yang pada akhirnya harus dibayar mahal, bahkan sangat mahal.
Pemerintah Kota Bandarlampung semestinya konsisten atas pengakuan pentingnya lingkungan hidup dan konsep keberlanjutan dengan membangun kota yang berwawasan lingkungan, demokratis, dan manusiawi. Tapi nyatanya, keberadaan ruang terbuka hijau (RTH) perkotaan yang merupakan lahan publik sudah semakin berkurang akibat terjadinya alih fungsi. Padahal,keberadaan RTH merupakan pemenuhan Undang-Undang, dimana setiap wilayah harus memiliki RTH minimal 30 persen.
Harus disadari bahwa keberadaan RTH bagi masyarakat perkotaan sangat penting, selain sebagai paru-parunya kota, juga fasilitas publik untuk berinteraksi sosial. Ada pesan arif dari para pemerhati lingkungan, jauh sebelum wilayah perkotaan menjadi hancur. ”Manakala sawah, hutan, dan rawa tidak lagi berfungsi sebagai pengendali air dan berubah menjadi rumah-rumah beton dan kaca, maka sesungguhnya kita sedang menuju kehancuran lingkungan”.
Kita semua berharap, agar di akhir masa jabatan Walikota dan Wakil Walikota serta anggota DPRD Kota Bandarlampung tahun 2029 nanti, akan meninggalkan kenangan indah bagi warga kota inidengan menyelesaikan permasalahan banjir, sekaligus menunaikan janji Walikota dan Wakil Walikota Bandarlampung yang belum terpenuhi hingga saat ini. Atau akan membiarkan masyarakat untuk belajar bersahabat dengan banjir? (*)
*Penulis: Pemerhati Lingkungan & Permukiman, tinggal di Bandarlampung.