Cari Berita

Breaking News

10 PESAN SPIRITUAL YANG UNIVERSAL MASUK KAMPUS

Dibaca : 0
 
Minggu, 13 April 2025



Oleh Denny JA

Pada tahun 2018, di sebuah ruang kuliah kecil di Universitas Aligarh, India Utara, seorang mahasiswa Muslim dan seorang mahasiswi Kristen duduk berdampingan dalam kelas filsafat agama. 

Tak ada yang istimewa—kecuali bahwa hari itu, gadis Kristen itu baru saja kehilangan ayahnya karena serangan bom gereja di Pakistan. 

Saat dosen menanyakan, “Apa arti iman bagi kalian?”, tak seorang pun menjawab.

Kecuali sang mahasiswa Muslim.

Ia berdiri. Suaranya pelan, seperti menahan sesuatu. “Iman,” katanya, “adalah ketika aku (muslim) bisa mendoakan dia (kristen) hari ini, dalam bahasaku, dengan Tuhanku… tapi dengan cinta untuk ayahnya (yang baru wafat karena bom di gereja).

Kelas itu hening. Beberapa menunduk. Ada yang menangis. 

Tapi hari itu, bukan lagi sekadar kuliah. Itu adalah spiritualitas yang mewujud—tanpa perintah, tanpa dogma, hanya kasih yang diam-diam menjembatani luka.

Dari peristiwa itulah saya percaya: kampus bukan hanya ruang intelektual, tapi taman tempat nilai-nilai tertinggi kemanusiaan bisa tumbuh. Dan salah satu benih terbaiknya adalah spiritualitas yang universal.



Di tahun 2025 ini, terbit tiga buku dari komunitas Esoterika, Forum Spiritualitas.  Di tengah dunia yang bergejolak oleh polarisasi iman dan krisis makna, tiga buku hadir bukan sebagai jawaban, melainkan lentera kecil bagi mereka yang sedang mencari arah.

1. 10 Prinsip Spiritual yang Universal: Dari Agama Sebagai Warisan Kultural Milik Kita Bersama

Penulis: Denny JA, PhD
(April 2025 | ISBN: 978-1-966391-38-8)

2. Sosiologi Agama di Era Artificial Intelligence: 7 Prinsip

Penulis: Denny JA, PhD
(Maret 2025 | ISBN: 978-1-966391-37-1)

3. Agama sebagai Warisan Kultural Milik Bersama

Penulis: Ahmad Gaus AF & Budhy Munawar-Rachman (Ringkasan Pemikiran Denny JA soal Agama di Era Google dan AI)

(Maret 2025 | ISBN: 978-1-966391-36-4)

Ketiga buku ini segera menjadi bahan ajar di enam perguruan tinggi agama dan lintas iman—Islam, Buddha, Kristen, Katolik, dan Hindu.

Kegiatan kuliah itu dimulai dengan workshop bersama di bulan April 2025. Akan ikut serta  25 dosen, antara lain bergelar doktor dan profesor di birang agama dan humaniora.

Ini bukan sekadar buku kuliah. Ini manifesto spiritual zaman baru, yang mengapresiasi 4200 agama yang kini hadir. Buku itu menggali 10 pesan spiritual universal dari masing- masing agama tersebut.



Mengapa 10 pesan spritual yang universal ini penting masuk kampus?

Pertama, karena banyak manusia modern kehilangan arah di tengah limpahan informasi. Mereka tahu banyak, tapi sering tak tahu untuk apa. 

Spiritualitas menjadi suara lembut yang mengingatkan: pengetahuan tanpa makna adalah kemewahan yang hampa.

Kedua, karena tafsir agama kini tak lagi dimonopoli oleh satu golongan. Di era Google dan AI, jutaan tafsir tersedia dalam satu klik. 

Tapi justru karena itu, kita butuh kompas batin—bukan untuk menolak yang berbeda, tapi untuk berjalan bijak di antara yang beragam.

Ketiga, karena dunia ini retak oleh identitas yang saling menegasi. Tapi spiritualitas yang universal justru mengajak kita duduk bersama, tanpa perlu satu keyakinan yang sama. 

Ia hanya butuh satu: kemauan untuk mencintai yang berbeda, bukan karena setuju, tapi karena sama-sama rapuh dan mencari makna.



Apa isi tiga buku itu?

Buku: 10 Pesan Spiritual Yang Universal

Apa yang tersisa ketika banyak  dogma meredup, ritual membisu, dan label keagamaan mengabur?  Jawabannya adalah cahaya batin yang tak pernah padam: spiritualitas yang melintasi agama, filsafat, ilmu, dan pengalaman manusia.

Dalam 10 Prinsip Spiritual yang Universal, penulis menyusun peta batin yang mengajak pembaca menyelami inti dari semua ajaran luhur. 

Buku ini tak menuntut keimanan, tak pula menjajakan kebenaran tunggal. Ia hadir sebagai teman senyap bagi mereka yang lelah oleh kebisingan dunia dan mencari kedalaman baru.

Sepuluh prinsip yang ditawarkan begitu menyentuh dan konkret: realitas itu bersifat spiritual; keadilan dan kasih sayang adalah napas peradaban; amal dan pengendalian diri adalah bentuk ibadah.

Perbedaan adalah kekayaan, bukan ancaman; ilmu pengetahuan bukan musuh iman, melainkan jembatannya. Dan bahwa hidup ini fana, namun justru karena itu ia begitu suci.

Buku ini merangkul pula bahasa psikologi positif dan neurosains. Riset menunjukkan bahwa kasih sayang, keheningan, dan makna bukan hanya ajaran langit, tapi juga kebutuhan biologis dan mental manusia. 

Dalam setiap bab, kita diajak bertemu kisah nyata: dari Rumi di Konya hingga anak kecil di Papua. Dari Nelson Mandela yang berdamai dalam penjara hingga Élise, mahasiswi sekuler Prancis yang menangis dalam keheningan meditasi.

Buku ini tidak memecahkan misteri hidup. Ia justru mengajarkan cara duduk bersama misteri itu dengan damai. Ia menolak fanatisme, menolak pesimisme, dan memilih spiritualitas sebagai jembatan kemanusiaan.

Akhirnya, buku ini bukan hanya untuk mereka yang beriman, tapi juga bagi siapa saja yang masih bertanya, masih merasa, dan masih ingin hidup dengan lebih sadar. 

Karena pada akhirnya, seperti tertulis di buku, “Mengenal diri adalah bentuk paling sunyi dari mengenal spiritualitas.”



2. Buku Sosiologi Agama di Era AI

Apa yang terjadi ketika mesin mulai menjawab doa? Ketika algoritma membaca ayat-ayat suci lebih cepat daripada ulama, dan gereja berpindah ke ruang virtual? 

Buku Sosiologi Agama di Era AI mengajak kita merenung tentang zaman baru, di mana agama tak lagi hanya persoalan langit, tetapi juga data.

Melalui tujuh prinsip tajam, buku ini menafsir ulang peran agama di tengah gelombang revolusi teknologi. Agama kini tak cukup dijelaskan oleh Durkheim, Weber, atau Marx. Dunia telah berubah. Maka, sosiologi agama pun harus ikut bergerak.

Prinsip pertama mengungkap paradoks mengejutkan: semakin penting agama di suatu negara, semakin tinggi tingkat korupsi pemerintahan di negara itu. 

Agama tak lagi menjadi benteng etika publik, melainkan simbol sosial tanpa sistem pendukung yang adil. 

Prinsip kedua menegaskan bahwa agama bertahan bukan karena kebenaran sejarahnya, melainkan karena ia memberi makna, seperti puisi yang tetap hidup.

Buku ini juga menunjukkan bagaimana kebahagiaan kini  juga bisa dijelaskan   dengan psikologi positif dan neurosains.

AI pun menjadi pilihan tambahan diluar peran ulama dan pendeta, untuk informasi soal agama. Ia menjadi opsi digital: personal, cepat, dan tanpa dogma.

Agama, kini mulai dilihat sebagai warisan kultural yang bisa dinikmati siapa saja, lintas iman, tanpa rasa bersalah. Bahkan tafsir agama yang akan bertahan di era ini, adalah yang selaras dengan hak asasi manusia.

Akhirnya, agama tak hilang, tapi berubah bentuk. Ia menjadi jendela yang terbuka, bukan pagar yang membatasi. Dan AI, meski tak bisa berdoa, bisa menjadi cermin: apakah iman kita masih hidup, atau hanya rutinitas tanpa ruh



3. Buku Agama Sebagai Warisan Kultural Milik Kita Bersama

Dunis terbelah oleh kebenaran absolut dan tafsir yang saling meniadakan. Buku ini hadir sebagai jendela baru: agama tak harus selalu dilihat sebagai doktrin yang memisahkan. Tapi ia  bisa dinikmati sebagai warisan kultural umat manusia.

Disusun sebagai modul kuliah Esoterika Fellowship Program, buku ini membawa satu tesis revolusioner: bahwa 4.300 agama yang kini hidup tak mesti bersaing dalam klaim kebenaran. 

Berbagai agama bisa dirayakan dalam semangat kebersamaan. Ia mengajak kita melihat agama seperti puisi: tidak untuk diperdebatkan benar-salahnya, tetapi untuk direnungi, dihargai, dan dibagi.

Buku ini memaparkan sejarah panjang munculnya agama. Mulai dari animisme purba Homo Neanderthal, hingga agama-agama besar kini. Tapi buku ini menunjukkan bahwa manusia lebih tua dari agama. 

Maka, agama adalah pedoman hidup yang terus berevolusi. Karena itu pula, tafsir agama bisa dan harus direbut kembali demi kebaikan bersama, termasuk menolak “teologi kebencian” dan menumbuhkan tafsir yang sejalan dengan hak asasi manusia.

Dengan data kuantitatif dan narasi filosofis, penulis membongkar korelasi antara tingkat religiositas dan korupsi, serta bagaimana komunitas “spiritual but not religious” kini tumbuh sebagai respons terhadap dogmatisme.

 Lebih jauh, buku ini menyerukan agar hari raya lintas agama bisa dirayakan bersama sebagai social gathering. Dan toleransi harus lahir dari kesadaran bahwa tidak semua yang berbeda adalah lawan.

Buku ini bukan ajakan untuk menolak agama, tapi untuk memperlakukan agama seperti kita memperlakukan warisan leluhur: dengan hormat, tanpa fanatisme dan penuh cinta.



Ruang Kuliah yang Menyembuhkan

Bayangkan ruang kuliah di kota-kota seperti Ambon, Bandung, Singkawang, Kupang, dan Medan. Di sana, mahasiswa Hindu, Katolik, Konghucu, Muslim dan agnostik duduk dalam satu kelas. 

Mereka tak sedang memperdebatkan surga mana yang benar. Mereka sedang membicarakan bagaimana cinta bisa menjadi jalan pulang.

Dosen-dosen dari berbagai iman tak lagi memberi jawaban “ini yang benar,” tapi bertanya: “Apa yang membuat hidupmu bermakna?”

Itulah mengapa kami menyebutnya renaissance batin di kampus. Sebuah revolusi diam-diam. Sebuah kurikulum yang tidak hanya mengisi kepala, tapi menyentuh inti hati.




Kita sedang hidup di zaman aneh. Orang bisa berbicara dengan AI yang menjawab seperti pendeta. Tapi juga bisa merasa makin kesepian meski ribuan akun menyapa.

Dan di sinilah letak pentingnya 10 pesan spiritual itu. Bukan untuk membuat manusia makin religius. Tapi agar kita makin manusiawi.

Agar saat kita duduk di kelas, atau berdiri di halte, atau terdiam di malam sunyi—kita tahu: ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar hidup untuk lulus, bekerja, dan mati.

Kita diundang untuk hidup dengan penuh kesadaran. Menyentuh dunia, bukan hanya melalui tangan, tapi juga jiwa.



Penutup: Saat Spiritualitas Menjadi Mata Kuliah

Ketiga buku ini tak menjanjikan keselamatan. Tapi mereka adalah jalan setapak menuju kedalaman. Mereka tidak mengajarkan satu kebenaran, tapi menyadarkan bahwa kebenaran bisa bersinar di banyak wajah.

Dan ketika spiritualitas akhirnya masuk kampus, mungkin akan lahir generasi yang tak hanya cerdas di bidangnya, tapi juga lembut hatinya. 

Mereka tak hanya berdoa di masjid, gereja, atau pura. Tapi juga saat mereka menulis puisi, memeluk sahabat. Atau bahkan saat mereka menutup laptop dan merenung diam-diam di tengah malam.

Karena akhirnya, perkuliahan terbaik bukanlah yang terjadi di ruang kelas, tapi di ruang jiwa.***

Jakarta, 13 April 2025



Ratusan esai Denny JA soal filsafat hidup, political economy, sastra, agama dan spiritualitas, politik demokrasi, sejarah, positive psychology, catatan perjalanan, review buku, film dan lagu, bisa dilihat di FaceBook Denny JA’s World

https://www.facebook.com/share/1F1hmcuZHD/?mibextid=wwXIfr

LIPSUS