Cari Berita

Breaking News

The Series: Ketika BPKP Buka “Topeng” Pemprov Lampung

Dibaca : 0
 
Editor: Rizal
Senin, 24 Maret 2025

Kepala BPKP Perwakilan Provinsi Lampung, Nina Ulina Kartika Sari


(Bagian I)

 

Senin (24/3/2025) siang, seluruh pimpinan tinggi pratama di lingkungan Pemprov Lampung berkumpul di Ruang Rapat Utama Kantor Gubernur. Hadir juga Gubernur Rahmat Mirzani Djausal dan Wagub Jihan Nurlela. 


Wajah para kepala OPD yang semula ceria, sontak berubah. Memerah. Semua terdiam saat Kepala BPKP Perwakilan Provinsi Lampung, Nina Ulina Kartika Sari, menyampaikan Laporan Eksekutif Daerah (LED) Provinsi Lampung Semester II Tahun 2024. 


Mengapa begitu? Karena dalam paparannya, BPKP membuka “topeng” kinerja jajaran pimpinan perangkat daerah di lingkungan Pemprov Lampung pada semester II tahun 2024 kemarin. Menelisik apa yang dibeberkan Kepala BPKP, Nina Ulina Kartika Sari, memang seakan “tiada lagi bagus-bagusnya kinerja di era semester II tahun lalu.


Para kepala OPD “tekanjat” karena selama ini tidak pernah ada klarifikasi sebelumnya oleh BPKP. Pengecekan atau permintaan data ke kantor pun tiada. Beda dengan kerja BPK yang tetap ada cros cek jika ada hal-hal yang “mencurigakan” atau temuan. 


Memangnya apa saja yang dibeberkan BPKP hingga layak dinilai telah membuka “topeng” Pemprov Lampung? Ada 9 item yang dikupas habis, sebagai peringkasan dari  3 visi dan 18 misi Gubernur Mirza dan Wagub Jihan.


Mulai dari investasi diperkuat hilirisasi dipercepat, mengelaborasi potensi pariwisata berdaya saing tinggi, wujudkan ekosistem ekonomi dari desa, infrastruktur konektivitas transportasi terhambat laju pertumbuhan ekonomi tersendat, special report; jalan panjang pembangunan Kotabaru, sinergi lintas sektor tantangan keberlangsungan Lampung sebagai lumbung pangan nasional, transformasi SDM unggul menuju kemandirian ekonomi, mengoptimalkan ruang fiskal untuk pembangunan yang berkualitas, hingga fraud mengancam pencapaian kinerja optimal.


Soal Hilirisasi

Pada bedahan tentang investasi diperkuat hilirisasi dipercepat, BPKP membeberkan hasil pengawasannya bahwa hilirisasi belum optimal menyerap produk unggulan, dimana hilirisasi pengolahan jagung belum optimal jika dibandingkan dengan daerah lain yang bukan sentra produksi, ditinjau dari jumlah pabrik dan kapasitas terpasang. Dimana hanya 54,13% yang diserap sebagai bahan baku pabrik pakan, 45,87%-nya belum terhilirisasi dan disuplai ke Banten dan Jabar.


Kinerja investasi dan kemudahan perizinan pun dinilai BPKP, belum optimal dan tidak sesuai harapan. Juga pengembangan kawasan industri (KI) yang direncanakan belum dilengkapi infrastruktur dasar yang dibutuhkan. Bahkan, KI di Pesawaran dan Tanggamus hingga kini belum memiliki izin kawasan. 


Terkait hal ini, BPKP merekomendasikan agar pemprov merumuskan dan menetapkan paket kebijakan untuk mendorong hilirisasi serta perbaikan tata kelola lintas sektor untuk perizinan yang mendukung iklim investasi.


Soal Pariwisata

Mengenai perkembangan pariwisata, BPKP memberikan beberapa catatan. Diantaranya; dari 9 kawasan wisata unggulan dan 3 wisata pengembangan utama, hanya kawasan terintegrasi pariwisata Bakauheni yang dikembangkan, sementara TNWK dan Bukit Barisan terabaikan. Laju pertumbuhan kunjungan wisata tidak berbanding dengan laju pertumbuhan akomodasi, dan integrasi pemasaran produk UMKM dengan destinasi wisata belum optimal.


Dalam root cause-nya, BPKP diantaranya membeberkan bahwa kurangnya integrasi antar moda transportasi, minimnya keterlibatan sektor swasta, dan keterbatasan pilihan transportasi umum yang memadai menyebabkan perjalanan wisata menjadi tidak nyaman dan tidak efisien.


Sementara menyangkut program mewujudkan ekosistem ekonomi dari desa, diuraikan jika pembangunan ekosistem ekonomi berbasis desamemang sangat urgent, mengingat angka kemiskinan di Lampung didominasi oleh masyarakat desa, yaitu sebesar 12,04%, masih di atas angka persentase penduduk miskin perkotaan sebesar 7,5%, dan rata-rata provinsi sebesar 10,62%. 


Hasil pengawasan BPKP menyimpulkan bahwa perencanaan desa belum mengacu pada target kinerja SDGs desa dan belum mempertimbangkan profil desa, intervensi pemerintah desa pada APBDes yang mendukung peningkatan ekonomi di desa selama ini sangat rendah, BUMDes juga belum mampu menjadi penggerak ekonomi desa. 


Bagaimana kupasan BPKP terhadap infrastruktur konektivitas terhambat laju pertumbuhan ekonomi tersendat? Besok dilanjutkan penayangannya. (bersambung/fjr/inilampung)

LIPSUS