Cari Berita

Breaking News

The Series: BPKP Bilang Kotabaru Penuh Ketidakjelasan

Dibaca : 0
 
Editor: Rizal
Selasa, 25 Maret 2025

Gubernur Mirza menyimak serius pemaparan Kepala BPKP Lampung, Senin (24/3/2025) siang. (ist/inilampung)


(Bagian II)

 

Paparan Kepala BPKP Perwakilan Lampung, Nani Ulina Kartika Nasution, mengenai Laporan Eksekutif Daerah (LED) Provinsi Lampung Semester II Tahun 2024 hari Senin (24/3/2025) kemarin, memang sangat tajam dan terinci. Maka wajar jika para kepala OPD yang hadir, pun Gubernur Mirza dan Wagub Jihan, tampak begitu serius mengikutinya. Apalagi saat dibedah tentang infrastruktur konektivitas terhambat, laju pertumbuhan ekonomi tersendat. 


BPKP memulai dengan kajian tentang pelabuhan milik Pemprov Lampung yang belum beroperasi optimal. Diantaranya Pelabuhan Canti, Ranggai, Way Seputih, Kuala Penat, Way Sekampung, KTM SP 8, Sungai Serdang, Wiralaga, Bengkunat, Krui, Kelumbayan, Dente Teladas, Sungai Burung, sampai ke Ketapang.


Apa persoalannya? “Terkendala minimnya SDM pengelola dan anggaran pengelolaan. Bahkan saat ini pangkalan pendaratan ikan di Kalianda asetnya dikuasai oleh pihak ketiga,” ungkap Kepala BPKP Perwakilan Provinsi Lampung.


Disimpulkan bahwa infrastruktur pelabuhan pengumpan regional milik pemprov belum mendukung dan pengelolaannya juga belum optimal. Hanya 1 dari 5 pelabuhan milik pemprov yang siap beroperasi, yakni Pelabuhan Sebalang, sedangkan 4 lainnya, yaitu Pelabuhan Teluk Betung, Labuhan Maringgai, Mesuji, dan Menggala masih terkendala rusaknya fasilitas dermaga.


Bagaimana dengan Bandara Taufiq Kiemas di Pesisir Barat? Hingga saat ini terkendala perluasan lahan. Yang dibutuhkan 87,43 hektar, lahan eksisting 75,63 hektar, sehingga kekurangan lahan 11,8 hektar. Pun Bandara Gatot Subroto di Way Kanan. Belum memiliki grand design dan transportasi massa menuju bandara. 


Terkait infrastruktur konektivitas ini, BPKP terang-terangan menyimpulkan masih terkendala belum optimalnya mantap jalan. Hasil pengawasan BPKP memberikan catatan: Mantap jalan nasional dan kabupaten belum mencapai target. Sampai tahun 2023 lalu, realisasi mantap jalan nasional hanya 93,90%, dan jalan kabupaten antara 23,59% hingga 64,99% saja. 


Selain itu, rencana umum jangka menengah jaringan jalan provinsi/kabupaten/kota pun ternyata belum ada. Ditambah terbatasnya ruang fiskal dan minimnya ketersediaan drainase yang memadai.


Masih carut-marutnya urusan infrastruktur konektivitas terkait perkembangan ekonomi ini, BPKP merekomendasikan kepada Gubernur Mirza untuk:


1. Memprioritaskan program peningkatan infrastruktur konektivitas guna mendukung sektor-sektor unggulan yang ada di Provinsi Lampung dan mendorong minat berinvestasi.

2. Menginstruksikan kepada Bupati/Walikota dan Kepala Dinas BMBK agar meningkatkan kemantapan jalan melalui prioritas penyediaan anggaran yang memadai dengan didukung pengawasan yang lebih baik.

3. Mempertimbangkan opsi penanganan ODOL (over dimension over load).

4. Menginstruksikan Kepala Dinas Perhubungan agar melakukan identifikasi risiko dan kajian ekonomis atas pengembangan Pelabuhan Sebalang, memberikan atensi penyelamatan BMD di Pelabuhan Pendaratan Ikan (PPI) Kalianda, dan berkoordinasi dengan Dinas Perhubungan Pesisir Barat dan Way Kanan untuk mendorong optimalisasi Bandara Taufiq Kiemas dan Bandara Gatot Subroto.


Soal Kotabaru

Mengenai kawasan Kotabaru yang tertuang dalam Perda Provinsi Lampung Nomor: 1 Tahun 2010 dengan luas 1.580 hektar di Kecamatan Jati Agung, Kabupaten Lampung Selatan, BPKP menuliskan bahwa Gubernur Mirza dan Wagub Jihan berkomitmen untuk kembali melanjutkan pembangunan Kotabaru “Bandar Negara” berbasis eco-city.


Meski begitu, BPKP menuliskan dengan tegas: risiko utama adalah gagalnya pembangunan Kotabaru Lampung. Mengapa demikian? Dalam root cause-nya dibeberkan:


1. Tahapan target pembangunan dan target waktu untuk pemindahan pusat Pemerintahan Provinsi Lampung ke Kotabaru, belum jelas.

2. Tidak adanya pusat data dan informasi atas perencanaan dan pelaksanaan pembangunan.

3. Re-identifikasi kebutuhan infrastruktur dasar dan untuk kelanjutan pembangunan Kotabaru.

4. Keterbatasan alokasi belanja Pemprov Lampung menjadi kendala dalam pemenuhan target kebutuhan.

5. Risiko kekuranglengkapan regulasi.

6. Risiko kecurangan pada aspek pelaksanaan pembangunan infrastruktur Kotabaru.

7. Risiko hukum akibat mangkraknya konstruksi.

BPKP merekomendasikan agar Pemprov Lampungmelakukan mitigasi terhadap risiko-risiko yang teridentifikasi tersebut, baik risiko strategis, risiko operasional, risiko hukum maupun risiko fraudmelalui rencana tindak yang komprehensif, karena berpotensi menghambat dan menggagalkan tujuan utama dari pembangunan Kotabaru Lampung.

Juga direkomendasikan untuk melakukan pendataan ulang, pemutakhiran, serta perumusan dan penyusunan regulasi untuk kelanjutan pembangunan Kotabaru. 


Soal Lumbung Pangan

Terkait tantangan keberlangsungan Lampung sebagai lumbung pangan nasional, BPKPmenyatakan dengan produksi padi sebesar 2.729.901,42 ton, menurut data BPS tahun 2024, Lampung sebagai provinsi dengan produksi gabah kering giling terbesar ke-6 di Indonesia sekaligus mewujudkan Lampung sebagai penghasil padi terbesar ke-2 di Sumatera. 


Walau demikian, ada beberapa persoalan serius yang kini dihadapi. Diantaranya adalah alih fungsi lahan pertanian yang tinggi, dimana sebanyak 13 dari 15 kabupaten/kota mengalami penurunan luas lahan baku sawah selama periode 2019 sampai dengan 2024 yang sangat signifikan.


Persoalan lain adalah kebutuhan bibit dan benih bersertifikat yang tidak terpenuhi. Dimana terdapat disparitas antara pemenuhan dan kebutuhan bibit atau benih bersertifikat pada dua komoditas yang sangat tinggi dan pemenuhan yang tidak teridentifikasi. Ironisnya, menurut BPKP, tidak terdapat data yang valid terkait ketersediaan bibit dan benih bersertifikat di Provinsi Lampung.


Masalah yang juga melingkupi urusan lumbung pangan ini adalah tidak tersedianya data kebutuhan peralatan produksi. Konkretnya, Pemprov Lampung tidak memiliki database terkait sebaran alsintan sebagai rujukan analisis kebutuhan produksi pangan. Dan selama periode 2020 hingga 2024, bantuan alsintan dari Kementerian Pertanian telah disalurkan dengan kondisi sebaran yang tidak merata.    


Lalu bagaimana dengan transformasi SDM unggul menuju kemandirian ekonomi dimata BPKP? Tunggu kelanjutannya besok. (bersambung/fjr/inilampung)

LIPSUS