INILAMPUNGCOM ---- Hampir setiap tahun anggaran, selalu saja Pemprov Lampung mengambil kebijakan “tunda bayar” kepada pihak ketiga. Yang di tahun 2024 kemarin, jumlahnya mendekati angka Rp 600 miliar, dan dijanjikan akan dituntaskan April mendatang.
Merunut dari berbagai data dan penelusuran inilampung.com, terdapat faktor yang sangat dominan hingga membuat “jebolnya” kas daerah Pemprov Lampung selama beberapa tahun ke belakang.
Untuk diketahui, pada tahun 2020, total kas dan setara kas per 31 Desember hanya Rp 182.975.953.717,04, sedang kewajiban jangka pendek Rp 652.416.720.033,16. Artinya, ada selisih yang menjadi tunggakan senilai Rp 469.440.766.316,12.
Pada tahun 2021, posisi kas daerah di 31 Desember sebanyak Rp 385.221.746.641,01, dengan kewajiban jangka pendek yang harus dituntaskan Rp 880.177.953.822,71. Ada selisih Rp 494.956.207.181,70. Di tahun 2022 silam, posisi kas daerah di 31 Desember hanya Rp 292.773.893.437,37 miliar, sedangkan neraca utang tercatat Rp 949.130.280.817,28. Selisihnya di angka Rp 656.356.395.879,91.
Bahkan di tahun 2023, per 31 Desember di kas daerah hanya ada Rp 125.151.921.972,70, dengan neraca utang Rp 1.534.228.727.018,03. Selisihnya sebesar 1.409.076.805.045,33.
Lalu apa biang kerok “jebolnya” kasda Pemprov Lampung pada tahun anggaran 2023 lalu? Tidak lain akibat tidak konsistennya Sekdaprov selaku Ketua TAPD dalam menjalankan apa yang telah menjadi kesepakatan guna “mengendalikan” penggunaan anggaran.
Hal tersebut tergambar jelas pada LHP Kinerja BPK RI Perwakilan Provinsi Lampung Atas Pengelolaan APBD Dalam Rangka Mendukung Pembangunan Nasional TA 2023 Sampai Dengan Semester I TA 2024, Nomor: 52/LHP/XVIII.BLP/12/2024, tertanggal 20 Desember 2024.
Benarkah demikian? Diuraikan dalam LHP BPK Perwakilan Provinsi Lampung, pada bulan Januari 2024 sebagai tindaklanjut dari Surat Edaran Sekdaprov Lampung Nomor: 3 Tahun 2024 tentang Pelaksanaan APBD TA 2024, dilakukan pembahasan DPA-SKPD oleh perwakilan OPD, Bappeda, BPKAD, dan Biro Administrasi Pembangunan.
Pembahasan ini untuk menentukan kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan rasionalisasi anggaran dan kegiatan yang harus dijadwalkan ulang ada tahun berikutnya. Upaya tersebut merupakan strategi guna menghindari pekerjaan yang tidak terbayarkan di akhir tahun 2024.
Kegiatan desk pencermatan APBD TA 2024 yang berlangsung secara maraton hingga 2 bulan itu, akhirnya menyepakati program OPD dikelompokkan dalam 3 kategori, yaitu Non Bintang, Bintang 1, dan Bintang 2. Yang dimaksud kegiatan Non Bintang adalah kegiatan-kegiatan yang sifatnya wajib, seperti belanja gaji dan tunjangan, belanja terkait SPM, dan mandatory spending.
Kategori Bintang 1 merupakan kegiatan prioritas lainnya yang masih dapat dilaksanakan pada saat perubahan APBD. Sedangkan kategori Bintang 2 merupakan kegiatan yang sama sekali tidak diperbolehkan untuk dilaksanakan di tahun berjalan atau dengan kata lain: dilakukan penjadwalan ulang (reschedule) kegiatan ke tahun depan.
Muara Persoalan
Strategi yang dibuat dengan 3 kategori tersebut sebenarnya sangat baik dalam upaya pengendalian penggunaan anggaran sekaligus mengontrol belanja daerah sebagai upaya nyata menghindari “jebloknya” kas daerah.
Namun, realisasinya sangat jauh dari yang telah disepakati. Mengacu pada hasil wawancara dengan fungsional perencana pada Bappeda dan Kasubid Kebijakan Perencanaan APBD pada Bidang Anggaran BPKAD, BPK RI Perwakilan Provinsi Lampung menuliskan bahwa muara persoalan “jebloknya” kas daerah adalah sebagai berikut:
1. Strategi mem-Bintang-i kegiatan tersebut dilakukan secara manual, dikarenakan tidak tersedianya fitur self-blocking pada aplikasi SIPD.
2. OPD yang ingin melaksanakan kegiatan yang telah diberikan tanda Bintang mengajukan permintaan tertulis kepada Sekdaprov Lampung selaku Ketua TAPD. Dalam praktiknya, seluruh permohonan yang diajukan oleh OPD, disetujui oleh Sekdaprov meski dengan catatan bahwa OPD harus koordinasi dengan Bidang Anggaran terkait ketersediaan dana di kas daerah.
3. Bidang Anggaran BPKAD kemudian memberikan persetujuan secara lisan atas setiap disposisi Sekdaprov selaku Ketua TAPD tanpa melalui proses pertimbangan yang terukur.
4. Pada akhirnya, OPD tetap dapat melaksanakan kegiatan yang telah diberi tanda Bintang tersebut.
Akibat tidak konsistennya Sekdaprov selaku Ketua TPAD dalam menjalankan kesepakatan atas kategori per-Bintang-an, dimana kegiatan dapat dilaksanakan apabila tersedia anggaran pada APBD TA 2024 lalu, tetap meluncurlah 17 kegiatan yang telah diberi tanda Bintang dengan jumlah anggaran sebesar Rp 29.483.645.650,00.
Dampak lanjutan dari hal tersebut –sebagai faktor dominan- berujung “jebloknya” kas daerah, dan klimaksnya adalah membengkaknya defisit di tahun 2024 menjadi Rp 1,7 triliunan. Naik Rp 300-an miliar dibandingkan defisit keuangan riil tahun 2023 sebesar Rp 1.408.450.654.898,52. Padahal, pada tahun anggaran 2022, angka defisit hanya Rp 548.710.195.978,24. (fjr/inilampung)