Cari Berita

Breaking News

Sudah Besar, Dikerdilin

Dibaca : 0
 
Editor: Rizal
Jumat, 21 Februari 2025

Futsal (ist/inilampung)

Oleh, Dalem Tehang

 

“HAI, adek! Gimana kabarnya, sehat-sehat ajakan. Kalau videocall pagi-pagi gini, pasti ada yang penting kan,” kata Dinda, saat divideo Call oleh Gilang, pagi tadi.


“Iya, Alhamdulillah sehat-sehat aja, mbak. Mau ngadu ini. Kemarin sore kan mestinya adek mimpin tim futsal buat tanding di final antar angkatan, tapi adek nggak bisa ikut karena disuruh pembina ini-itu,” ucap Gilang, memulai cerita.


“Iya, terus kenapa emangnya, dek?” tanya Dinda dengan cepat.


“Tadi malem dikasih tahu kawan, kalau adek dicopot dari kapten tim futsal. Alasannya, karena nggak ikut main tanpa izin pelatihdan akhirnya tim kami kalah,” lanjut Gilang.


“Kok jadi gituAdek sudah izin kan nggak bisa ikut main di final. Emang siapa yang nyopot dari kapten tim?” tanya Dinda dengan suara meninggi.


Kepala lembaga, mbak. Atas saran pembina bidang olahraga. Mereka ngenilai, hebat-hebat aja adek, kalau nggak bisa nangani tim dan angkat nama angkatan, nggak ada gunanya. Gitu alasannya, mbak,” jelas Gilang.


“Nggak bisa gitu dong, dek! Kepala lembaga itu arogan bener. Ini namanya pengerdilan atas potensi dan kemampuan Adek,” Dinda menyela, dengan suara keras.


“Slow aja geh, mbak. Adek tahu diri kok. Adek emang bukan siapa-siapa, nggak ada hebat-hebatnya kalau nggak didukung tim yang solid. Kalau nggak dikasih kesempatan sama pembina bidang olahraga dan seizin kepala lembaga, apalah arti adek ini,” sahut Gilang, dengan nada pelan.


“Iya, mbak ngerti cara berpikir Adek, selalu usaha nempatin diri sebaik-baiknya. Tapi, jangan pasrah gitu dong. Ini pengerdilan terhadap potensi dan kemampuan diri Adek,” jawab Dinda.


“Jadi nurut mbak, harus gimana? Mau lakuin perlawanan juga kan nggak mungkin?” tanya Gilang.


“Adek nikmati aja sebagai proses pemantapan jiwa. Apa yang Adek alami ini pernah dirasain juga sama Ketua BEM kampus mbak. Dia berasal dari salah satu kota di Lampung, sebut ajalah kota A. Nah, saat dia mulai sah jadi pimpinan BEM, ketua komunitas mahasiswa kota A merintahin komposisi pengurusnya 60% dari mahasiswa asal kotanya. Bingunglah kawan mbak yang Ketua BEM itu,” tutur Dinda.


“Kenapa bingung, mbak?” Gilang menyela.


“Karena kawan itu sadar bener, dia emang berasal dari kota A dan direkomendasi ketua komunitas mahasiswa asal kotanya, tapi kan banyak komunitas mahasiswa kota lain yang ngerekomendasiin juga, dan yang milih mayoritas mahasiswa tanpa ngurusi asal-usulnya. Ketua BEM itu nyamperin mbak sama tim cabah-cabeh yang lagi makan siomay di kantin. Dia minta saran,” lanjut Dinda.


“Terus apa saran mbak sama kawan-kawan?” tanya Gilang, penasaran.


“Kawan mbak yang suka baca buku soal politikdan kepemimpinan nyampein omongan Presiden ke-3 Amerika Serikat, Thomas Jefferson. Katanya: kesetiaan saya kepada partai berakhir dimana kesetiaan saya kepada negara dimulai. Kawan yang lain bilang kalau Presiden ke-26 Amerika Serikat, Theodore Roosevelt, pernah ngomong: Kesetiaan saya kepada negara dan kepada partai hanya karena ia melayani negara,” urai Dinda.


“Apa tanggepan kawan mbak yang jadi Ketua BEM sama omongan kawan-kawan itu?” tanya Gilang lagi.


“Jujur dia ngakui kalau dalam posisi bingung, dek. Dia sadar asal-usulnya darimana. Tapi dia juga tahu persis kalau jadi Ketua BEM nggak cuma karena komunitas mahasiswa asal kotanya aja yang milih, tapi banyak yang lain, bahkan jumlahnya lebih dari 70% pemilih. Dia bener-bener ngerasa di persimpangan jalan, antara patuh dan tegak lurus sama perintah ketua komunitas mahasiswa kota asalnya, dengan kenyataan kalau dia jadi Ketua BEM karena didukung banyak mahasiswa lain,” sambung Dinda.


“Jadi dia ngerasa sudah besar, malah dikerdilin ya, mbak,” sela Gilang.


“Ya kayak gitulah ibaratnya, dek. Kasihan waktu itu ngeliat Ketua BEM. Bingung berat dia,” tanggap Dinda.


“Kalau mbak yang ngalami peristiwa kayak gitu, bersikap gimana?” Gilang bertanya lagi setelah diam sesaat.


“Mbak bakal duluin kepentingan lebih besar, dek. Tetep masukin mahasiswa asal-usul mbak nyalon jadi pengurus, tapi juga rekrut kawan-kawan lain yang potensial tanpa lihat latar belakangnya. Sebab BEM itu kan ngurusi semua mahasiswa,” kata Dinda dengan tegas.


Tapi mbak bisa dianggep cuma manfaatin komunitas mahasiswa asal tempat mbak aja kalau nggak jalanin perintah. Dan inget, pada hakekatnya nggak ada seorang pun di dunia ini yang terbebas dari ‘telunjuk’ orang lain lo, mbak,” tanggap Gilang.


“Pilihan apapun yang diambil pasti ada risikonya, dek. Tapi, dahuluin kemanfaatan buat yang lebih besar, mesti dilakuin. Komunitas mahasiswa itu ada kan buat ngedidik agar dari komunitasnya lahir pimpinan-pimpinan mahasiswa. Lha kalau sudah lahir dan mulai besar malah dikerdilin, nggak realistis juga,” kata Dinda panjang lebar.


“Kenapa mbak gitu pede sama sikap itu?” tanya Gilang lagi.


“Mbak inget omongan James Allen, dek. Dia bilang: kau dapat menjadi kecil sekecil hasrat yang mengendalikanmu, tetapi juga dapat menjadi besar sebesar aspirasi dominanmu,” ucap Dinda.


“Oke kalau gitu, mbak. Sudah dulu ya videocall-nya, adek dipanggil pembina,” kata Gilang dan melambaikan tangan sebelum mematikan gadgetnya. (*) 

LIPSUS