Ilustrasi: Nepotisme (ist/inilampung)
Oleh, Dalem Tehang
“KENAPA pulang-pulang kok senyum-senyum gitu, dek? Hayo, habis ketemuan sama cewek ya,” kata Dinda, mencandai Gilang yang baru sampai rumah.
“Nggak, mbak. Cuma lagi inget cerita acara pelantikan pengurus OSIS yang baru waktu SMA dulu. Makanya, senyum-senyum tadi,” sahut Gilang, sambil melepas sepatunya, dan duduk di teras belakang.
“Emang kenapa, ada yang aneh tah, dek?” tanya Dinda, penasaran. Yang langsung duduk di kursi samping Gilang.
“Aneh emang, mbak. Komposisi pengurusnya diisi keluarga atau kerabat semua. Mulai dari ketua, sekretaris, bendahara, sampai koordinator bidang,” ucap Gilang.
“Oh ya, emang gimana komposisinya?” tanya Dinda lagi.
“Ketuanya kakak, sekretarisnya adik sepupu, bendahara adiknya. Koordinator-koordinator bidangnya ada yang keponakan, sampai anak sopir di rumahnya,” jelas Gilang, sambil tersenyum.
“Kok bisa gitu ya. Bisa dapet piagam rekor MURI itu!” timpal Dinda disertai tawa ngakaknya.
“Yang kayak gitu bisa dibilang nepotisme nggak, mbak?” tanya Gilang, beberapa saat kemudian.
“Nggak, dek. Nepotisme itu kekerabatan yang kaitannya sama pemerintahan. Kalau urusan di luar itu, bukan nepotisme. Cuma secara moral,nggak etis dan nggak lazim aja. Kayak nggak ada orang lain selain keluarga itu di sekolah yang layak jadi pengurus OSIS,” urai Dinda.
“Kalau nepotisme itu contohnya kayak mana emangnya?” tanya Gilang lagi.
“Misalnya, mbak ini Bupati. Walau pangkat dan golongan Adek belum cukup, mbak paksa ikut open biding atau uji kompetensi. Sekadar buat menuhi syarat. Nggak peduli nilai Adek berapa, atas nama kekuasaan mbak, Adek jadi camat atau kepala dinas. Itu namanya nepotisme. Karena kaitannya sama pemerintahan. Terincinya lagi,karena digaji pemerintah, dapet fasilitas pemerintah. Yang semuanya ya dari rakyat bayar pajak dan sebagainya itu,” jelas Dinda, panjang lebar.
“Katanya nepotisme dilarang, tapi kalau adek denger cerita kawan-kawan, masih banyak aja praktiknya. Emang gimana sih sebenernya, mbak,” ucap Gilang.
“Ya emang dilarang, dek. Ada undang-undangnya. UU Nomor: 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme,” jawab Dinda.
“Kalau ada undang-undang yang ngelarang, kok tetep banyak aja praktik nepotisme di pemerintahan. Kan katanya, siapapun yang ngelanggar UU berarti lakuin kejahatan. Ini malah tumbuh subur,” tanggap Gilang.
“Inilah masalah krusial di birokrasi kita, dek. Kalau ngikuti jiwanya, negara kita ini nganut asas rechstaat. Tapi lahiriyahnya, negara machstaat,” ucap Dinda lagi.
“Apa to maksudnya rechstaat dan machstaat itu,mbak. Adek nggak mudeng. Kalau mbak iya, karena kuliah di Fakultas Hukum,” timpal Gilang dengan cepat.
“Maksud rechstaat itu negara ini berdasar hukum, dek. Kalau machstaat dasarnya kekuasaan. Jadi, yang terjadi sehari-hari atau dalam praktiknya, urusan di negara ini berpola machstaat atau kekuasaan. Hukum itu cuma sebagai jiwa atau semangat aja,” tutur Dinda.
“Kalau gitu, UU Nomor: 28 Tahun 1999 itu nggak ada gunanya dong,” celetuk Gilang.
“Untuk menuhi asas kelengkapan administrasi aturan, ya ada gunanyalah, dek. Walau memang, kalau bicara kepatuhan pada UU, lain lagi ceritanya. Karena faktanya, praktik KKN itu terus melegenda. Merasuk ke semua piranti birokrasi. Mulai dari yang terbawah sampai teratas,” jelas Dinda.
“Gimana ngilangin praktik KKN itu, mbak. Sebagai mahasiswi Fakultas Hukum, pasti mbak tahulah caranya,” kata Gilang, memancing.
“Sederhana aja sebenernya kok, dek. Semua anak bangsa yang terlibat di dalam birokrasipemerintahan, harus tegakin hukum setegak-tegaknya. Jangan ada toleransi. Masalahnya, apa mau dan siap yang lagi keenakan nikmati berbagai kesepemahaman di birokrasi itu negakin aturansebagaimana mestinya. Kan balik kesitu pertanyaannya,” sahut Dinda dengan serius.
“Bener juga sih, mbak. Tapi adek pikir-pikir, penempatan kata KKN itu emang sudah salah sejak awal. Atau emang ada kesengajaan.Makanya, ngeberantasnya juga susah,” ucap Gilang.
“Maksudnya apa, dek. Nggak nyambung, mbak,” kata Dinda, menyela dengan cepat.
“Kan selama ini kita kenal kata KKN itu singkatan dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Nurut adek, itu kebalik, mbak. Mestinya, nepotisme, kolusi baru korupsi,” ujar Gilang.
“Coba gimana uraiannya?” tanya Dinda.
“Lewat nepotisme, dengan nempatin kerabat dan anggota keluarga di jabatan-jabatan strategis, lahirlah kolusi buat mainin anggaran. Maka, terjadilah praktik korupsi. Nah, kalau penempatan katanya aja sudah kebolak-balik, ya wajar UU soal penyelenggara negara yang bersih dan bebas dari KKN cuma hiasan di perpustakaan,” urai Gilang, dan langsung tertawa ngakak.
“Masuk nalar yang Adek sampein. Tapi coba perhatiin, sebentar lagi urusan KKN bakal kejadian lo,” sahut Dinda.
“Kok mbak tahu, darimana kabar itu?” tanya Gilang, dan mengernyitkan dahinya.
“Kan hari ini, 20 Februari 2025, ada pelantikan Gubernur-Wagub, Bupati-Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota serentak. Mulai hari ini, kepemimpinan pemerintahan ditangan mereka-mereka yang barusan dilantik sama Pak Presiden Prabowo. Nah, bisa mbak pastiin nggak lama lagi bakal ada gusur-menggusur jabatan. Sekelik ekam pada muncul semua dan dapat jabatan,” urai Dinda.
“Nggak bisa sak jek sak nyek gitu dong, mbak. Kan ada aturannya, minimal 6 bulan setelah menjabat baru boleh lakuin mutasi. Maksudnya supaya kepala daerah yang baru bisa ngevaluasi kualitas para pimpinan perangkat daerah yang dipimpinnya. Kalau ada yang dianggep nggak bisa wujudin visi misinya, baru pada waktunya diganti,” tanggap Gilang.
“Adek nggak tahu ya, Mendagri sudah bilang, setelah dilantik, semua kepala daerah bisa ngeganti pejabat di wilayahnya masing-masing,” ucap Dinda, menyela dengan cepat.
“Itu kan omongan, mbak. Aturannya nggak gitu. Kalau mau dijalanin apa yang dibilang Mendagri itu, ya rubah dulu ketentuan peraturannya. Ngatur birokrasi itu kan dasarnya aturan, bukan omongan apalagi celetukan,” jawab Gilang.
“Adek lupa yang mbak bilang tadi ya, negara ini dalam praktiknya gunain pola machstaat atau kekuasaan, bukan rechstaat atau negara hukum. Jadi omongan yang lagi pegang kekuasaan, ya itulah hukum atau aturannya. Kalau nggak percaya, kita lihat aja perkembangannya,” kata Dinda dan langsung memeluk Gilang, mengajaknya masuk rumah untuk makan malam.(*)