Cari Berita

Breaking News

Menelusuri Aset "Terlantar" dan Bermasalah Milik Pemda Lampung (Bagian 1)

Dibaca : 0
 
INILAMPUNG
Minggu, 16 Februari 2025


Aksi pembongkaran rumah warga terjadi di desa sabah balau, Tanjungbintang, Lampung Selatan, 12 Februari 2025 (dok.inilampung)



Peristiwa penggusuran rumah warga Sabah Balau, Lampung Selatan, 12 Februari 2025 lalu, membuka mata publik, bahwa banyak aset pemerintah saat ini yang "dikuasai" pihak lain. Bahkan, puluhan aset pemerintah pun banyak yang telantar alias tidak dimanfaat. 

Berikut, catatan inilampung yang ditulis bersambung.


BANDARLAMPUNG --- Langkah Pemprov Lampung hari Rabu, (12/2/2025) lalu mengamankan asetnya di Desa Sabah Balau, Kecamatan Tanjung Bintang, Lampung Selatan, dan di Kelurahan Sukarame Baru, Kecamatan Sukarame, Bandar Lampung, patut diapresiasi dalam konteks kepemilikan kekayaan pemerintah daerah. Terlepas dari beragam ekses yang ada di lapangan.


Dan tampaknya, para petinggi Pemprov Lampung telah puas dengan keberhasilan mengamankan aset tanah di Sabah Balau itu. Padahal faktanya, ada 24 aset tanah pemprov yang sejak puluhan tahun ini ditelantarkan pengurusan atau kepastian hukumnya. Nilainya pun cukup besar, yaitu Rp 91.638.379.000.


Benarkah ada 24 aset tanah pemprov yang selama ini “menggantung” statusnya karena dikuasai pihak lain? 


Tentu saja benar. Karena hal tersebut menjadi lampiran dalam Laporan Keuangan Pemerintah Provinsi Lampung Tahun 2023 yang ditandatangani Arinal Djunaidi, -saat itu sebagai Gubernur Lampung-, Mei 2024, dan dipaparkan pada LHP BPK RI Perwakilan Provinsi Lampung Nomor: 40.A/LHP/XVIII.BLP/05/2024, tertanggal 3 Mei 2024.


Ke-24 aset tanah Pemprov Lampung yang ditelantarkan alias tidak diseriusi pengurusannya itu, terdiri dari beberapa klasifikasi. Yaitu aset dalam proses litigasi, aset tanah yang sertifikatnya telah dimiliki oleh Pemprov Lampung namun dikuasai masyarakat tanpa adanya perjanjian yang sah, aset tanah milik pemprov yang belum bersertifikat dan dikuasai masyarakat tanpa perjanjian, serta aset tanah milik pemprov yang belum bersertifikat atas nama pemprov dan memiliki sertifikat atas nama orang lain atau kondisi telah diduduki oleh masyarakat.


Lahan Bumi Perkemahan Pramuka Lampung Timur

Apa saja aset tanah –yang sebenarnya- milik Pemprov Lampung namun selama ini ditelantarkan dalam kepastian hak kepemilikan dan penguasannya?


 Yang masuk kategori aset dalam proses litigasi saat ini tinggal ada satu. Setelah tanah Sabah Balau diamankan Senin (12/2/2025) lalu. 


Yaitu, tanah dan bangunan Bumi Perkemahan Kwartir Daerah Pramuka di Trans Pramuka, Way Jepara, Lampung Timur.


Tanah seluas 3.102.310 m2 perolehan tanggal 18 Maret 1979 senilai Rp 2.166.000.000, dengan nomor sertifikat P.1/RBL, P.2/RBL, P.3/RBL, dan P.4/RBL itu dikuasai masyarakat adat. Lahan sudah sertifikat hak pakai atas nama Kwartir Daerah Pramuka Provinsi Lampung ini bermasalah sejak tahun 2000-2001, setelah Pusat Latihan Perintis Pembangunan Regional Pemuda Pramuka (PPRT) tidak beraktivitas, dipakai oleh masyarakat dan diklaim sebagai tanah adat. 


Persoalan tanah yang berlokasi di Desa Sukadana Udik, Kecamatan Labuhan Ratu, Lampung Timur, itu pernah gelar perkara di Polres Lampung Timur dan ada empat orang yang ditetapkan sebagai tersangka jual beli tanah (mafia tanah). Meski hingga kini belum jelas titik akhir aset ini, namun keberadaannya masih tercatat di dalam Kartu Identitas Barang (KIB) A Pemprov Lampung (intracomptable).  


12 Aset Lain "Bermasalah"

Lalu bagaimana dengan aset tanah yang sertifikatnya telah dimiliki Pemprov Lampung namun dikuasai masyarakat tanpa ada perjanjian yang sah? Jumlahnya cukup banyak, ada 12 aset.


Pertama, tanah dan bangunan kantor dan rumah dinas milik UPTD Jalan dan Jembatan Wilayah I Dinas BMBK yang berada di Jalan Raya Gedong Tataan, Desa Sukaraja, Gedong Tataan, Pesawaran. Aset tanah seluas 2.035 m2 perolehan 29 September 1990 senilai Rp 5.400.000 ini meski telah memiliki sertifikat nomor: 3, namun secara fisik penguasaannya ada di masyarakat setempat.


Memang, patok dan plang Pemprov Lampung masih ada di lokasi, tetapi fisik tanahnya dikuasai masyarakat dengan membuka warung-warung. Sampai saat ini, aset tersebut masih tercatat di KIB A (intracomptable).


Kedua, aset berupa tanah perkebunan karet dan lain-lain yang menjadi tanggung jawab Dinas Perkebunan. Luasnya 661.790 m2, perolehan tanggal 31 Maret 1969, senilai Rp 1.898.000, berada di Jalan Raya Tanjung Ratu Ilir, Desa Tanjung Ratu Ilir, Kecamatan Terbanggi Besar, Lampung Tengah.

Sebagian aset yang sudah bersertifikat dengan nomor: P1/TR Ilir itu dikuasai masyarakat untuk menanam singkong, tetapi –ini ironisnya- Pemprov Lampung sendiri belum mempunyai data yang pasti mengenai berapa luas aset yang selama ini “diberdayakan” oleh masyarakat setempat.


Karena memang belum ada upaya hukum apapun dari pemprov terkait lahan tersebut. Yang pasti, sampai tahun 2023 kemarin, keberadaan aset ini masih tercatat di dalam KIB A (intracomptable).

Ketiga, aset berupa tanah bangunan rumah negara tanpa golongan seluas 578 m2 perolehan tanggal 27 September 1957 berlokasi di Bukit Kemuning, Lampung Utara, senilai Rp 5.780.000.


Tanah dan bangunan yang menjadi tanggung jawab UPTD Kesatuan Pengelolaan Hutan VII Way Waya Tangkit Tebak Dinas Kehutanan itu telah memiliki sertifikat nomor: 9 BKT, tetapi fisiknya dikuasai masyarakat. Pemprov Lampung belum pernah ada upaya hukum apapun hingga saat ini. Dan masih tercatat di KIB A (intracomptable)


Keempat, aset berupa tanah dan bangunan rumah negara golongan II seluas 295 m2 perolehan 26 Maret 1958 di Liwa, Lampung Barat, senilai Rp 6.400.000. Walau memiliki sertifikat dengan nomor: 4, namun aset tersebut selama ini dikuasai masyarakat dan pemprov belum ada upaya hukum apapun. Keberadaan aset yang menjadi tanggung jawab UPTD Kesatuan Pengelolaan Hutan II Liwa Dinas Kehutanan Lampung itu masih tercatat di KIB A (intracomptable).


Terus, aset Pemprov Lampung apalagi yang selama puluhan tahun ini ditelantarin? Besok lanjutannya. (fjr/inilampung/bersambung)           


LIPSUS