Cari Berita

Breaking News

Memaknai Bontot

Dibaca : 0
 
Editor: Rizal
Minggu, 16 Februari 2025

Ilustrasi: bekal makanan (ist/inilampung)


Oleh Dalem Tehang


ADEKbontotnya jangan ketinggalan. Kan sudah disiapin Mama dari pagi,” kata Dinda, mengingatkan Gilang ketika mereka akan berangkat plesiran ke pantai, tadi pagi.


“Kan bisa beli sih nanti di pantai, mbak. Kalau kelupaan bawa bontotnya, nggak usah gupeklah,”jawab Gilang, namun tetap bergerak kembali ke dapur untuk mengambil bontot yang sudah disiapkan Mama.


“Jangan nyepelein urusan bontot, dek. Ingetnggak, sejak TK sampai SMA, Adek kan selalu bawa bontot yang disiapin Mama setiap hari berangkat sekolah. Sekali aja Mama nggak sempet nyiapinnya, Adek uring-uringan. Jangan mentang-mentang sekarang sudah kuliah, ngelupain gitu aja peran bontot selama ini,” kata Dinda seraya tersenyum.


“Iya sih, mbak. Gara-gara dulu adek selalu bawa bontot ke sekolah, banyak kawan di kelas yang dibekeli makanan juga sama orangtuanya. Pas jam istirahat, kami makan sama-sama di kelas. Tuker-tukeran lauk, asyik dan guyup jadinya,” ucap Gilang, melempar senyum sumringahnyaMengingat masa lalu indahnya.


“Nah, itu Adek tahu manfaatnya bontot kan. Bukan cuma makanan lebih terjaga kebersihannya,tapi juga bisa ngebangun kebersamaan di kelas,” tanggap Dinda.


“Dan yang pasti, lebih ngirit, mbak!” sela Gilang, dan tertawa ngakak. 


“Adek mah yang dipikirin soal ngirit aja. Padahal, bicara bontot itu banyak makna yang bisa jadi pelajaran,” tukas Dinda.


“Emang apa aja pelajaran dari bontot nurut mbak?” tanya Gilang.


“Bontot itu kan bekal, dek. Mau kemana aja kita, namanya bekal itu mesti disiapin. Mau sekolah misalnya, buku-buku dan alat tulis harus ada. Gitu juga mau kuliah. Juga kita wajib bekali pikiran dan hati dengan penuh semangat. Kalau mau ngurus organisasi misalnya, Adek juga harus paham betul, bekal yang tersedia apa aja. Tanpa mahami itu, langkah-langkah Adek justru kontraproduktif buat organisasi,” urai Dinda.


“Tapi sekarang anak-anak sekolah nggak perlubawa bontot lagi, mbak. Kan udah ada program makan bergizi dari pemerintahan Pak Prabowo,” Gilang menyela.


“Iya sih, tapi kan belum semua kebagian juga, dek. Masih berproses. Masih terus dibagusin penyalurannya. Yang pasti, siapapun yang jadi pimpinan pemerintahan memang harus tahu persis bekal yang tersedia. Bontot kekuasaan itu mesti dimengerti dan dicermati,” tanggap Dinda.

“Bontot kekuasaan itu apa, mbak?” ucap Gilangpenasaran.


Bekal buat yang jadi Gubernur, Bupati, dan Walikota yang dilantik 20 Februari nanti, dek.Mereka harus tahu persis kondisi pemerintahanyang bakal dipimpinnya. Kelebihan dan kekurangannya. Prospek daya dukung pendapatan untuk realisasiin visi misinya gimana, defisit keuangan riilnya berapa, sumber daya manusia yang ada kayak mana kualitasnya, dan banyak lagilah,” urai Dinda.


Adek baca-baca dari media, semua pemerintahan di Lampung defisit anggarannya besar lo, mbak. Berat juga bontot kekuasaan buat Gubernur, Bupati, dan Walikota nanti ya,” ujar Gilang, setelah diam beberapa saat.


“Amat berat emang, dek. Bukan cuma urusan ngebedah bontot kekuasaan aja. Ngangkat pendapatan biar defisit berkurang, juga nggak gampang. Makanya, biar pemerintahan di daerah kita ini nggak makin karam dan tenggelam, dibutuhin pemimpin yang visioner,” tutur Dinda lagi.


“Tapi, kalau kata om Dana Rachmat, orang yang visioner punya risiko besar, mbak. Dia bakal dijauhi, ditentang banyak orang, di-bully, bahkan disakiti,” tanggap Gilang.


“Ya, itu bagian kecil risiko buat seorang pemimpin yang visioner, dek. Karena emang pikirannya nggak mudah buat dicerna akal dan tidak umum. Yang jelas, sesuatu yang visioner bukan untuk hal-hal remeh temeh, dan nggak buat untuk hari ini tapi ke masa depan,” urai Dinda.


“Bicara soal bontot ternyata asyik juga ya, mbak. Penuh ragam makna di dalamnya. Jangan-jangan termasuk nurunin target PAD juga bagian dari strategi kiati beratnya bontot kekuasaan saat ini,” kata Gilang.


“Semua pernak-pernik isi dunia ini tinggal gimana kita ngenilainya, dek. Kalau tetep berpikir positif dan optimis, yang nurut orang negatif pun, bisa bermanfaat buat kebaikan. Masalahnya, sering kali kita lupa kalau urusan bontot adalah sesuatu yang bernilai buat langkah-langkah ke depan, hinggaterjebak pada hal-hal yang remeh temeh, akibat keasyikan nikmati kekuasaan ditangan,” kata Dinda dan mengajak Gilang segera menjalankan mobil, menuju pantai tujuannya. Healing-healing tetap berbontot. (*)      

LIPSUS