![]() |
DR. Asrian Hendy Caya |
"data based Wajib pajak (WP)adalah kunci PAD. Dimana seluruh objek pajak daerah diidentifikasi wajib pajaknya dan sebisanya diberi identitas. "
INILAMPUNGCOM -- Tidak tercapainya target pendapatan asli daerah (PAD) Pemprov Lampung selama beberapa tahun terakhir, rupanya diam-diam menjadi perhatian dan keprihatinan tersendiri bagi pakar ekonomi kewilayahan, Asrian Hendy Caya.
Peneliti dari Pusiban Institute ini mengakui bila soal PAD memang krusial. Seingatnya, hanya Provinsi DKI dan Kabupaten Badung, Bali, yang PAD-nya berkontribusi besar terhadap pendapatan daerah.
“Melihat perkembangan PAD kita beberapa tahun ini, gimana ya, yah ada rasa prihatin. Padahal, banyak potensi yang bisa dimaksimalkan untuk mendongkrak PAD,” tutur Asrian Hendy Caya, Sabtu (1/2/2025) siang, melalui pesan WhatsApp.
Bagaimana cara mendongkrak PAD? “Kalau mau mendongkrak PAD, yang utama Bapenda dituntut punya data wajib pajak (WP) daerah secara komprehensif. Data based ini penting, sebagai acuan dalam menentukan target pendapatan dan kinerja pencapaian pemungutan pajak,” jelasnya.
Sebelumnya diberitakan, tidak tercapainya target PAD Pemprov Lampung beberapa tahun belakangan ini tidak lepas dari kemampuan atau pengetahuan Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) yang masih lemah. Hal itu diungkap BPK RI Perwakilan Provinsi Lampung dalam LHP Kinerja Atas Pengelolaan APBD Dalam Rangka Mendukung Pembangunan Nasional TA 2023 SD Semester I Tahun 2024 pada Pemprov Lampung, Nomor: 52/LHP/XVIII.BLP/12/2024, tanggal 20 Desember 2024.
Terang-terangan BPK mengungkapkan bahwa Kepala Bapenda belum memiliki pemahaman atas cara menganalisa indikator makro ekonomi dalam perhitungan penyusunan PAD, serta tata cara penganggaran PAD yang terukur dan rasional sesuai potensi daerah.
Akibatnya, menurut BPK, sampai saat ini Pemprov Lampung belum memiliki acuan rinci mekanisme terkait tata cara penyusunan, pengajuan, dan verifikasi perencanaan pendapatan yang terukur secara rasional.
Seperti diketahui, dari target PAD tahun 2023 sebesar Rp 4.808.699.109.382,17, realisasinya Rp 3.765.572.693.133,60 atau 78,31%. Terdiri dari pajak daerah Rp 3.232.821.385.715, retribusi daerah Rp 7.066.246.737, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan Rp 51.110.035.229,39, dan lain-lain PAD yang sah Rp 475.190.392.851,64.
Pada tahun 2024 dari target PAD Rp 5.150.954.989.413 versi APBD-P, realisasinya hingga semester I sebanyak Rp 2.808.290.060.369,69. Dengan perincian dari pajak daerah didapat Rp 2.269.562.593.011,70, retribusi daerah Rp 345.207.25.896,92, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan Rp 190.520.241.461,91, dan lain-lain PAD yang sah Rp 8.182.756.934,57. Sampai akhir tahun 2024, menurut anggota Komisi III DPRD Lampung, Munir Abdul Haris, berdasarkan pernyataan Plt Kepala Bapenda Lampung, Slamet Riadi, total PAD di angka Rp 3,3 triliun.
Sementara pada tahun anggaran 2025 ini, dari target pendapatan daerah sebesar Rp 7.419.722.423.658,21, perolehan PAD dicanangkan Rp 4.016.582.534.326,21. Terdiri dari pajak daerah Rp 2.921.116.897.166, yang berasal dari pajak kendaraan bermotor (PKB) Rp 720.900.000.000, bea balik nama kendaraan bermotor (BBNKB) Rp 510.100.000.000, pajak bahan bakar kendaraan bermotor (PBBKB) Rp 940.000.000.000, pajak air permukaan (PAP) Rp 8.000.000.000, pajak rokok Rp 739.086.897.166, pajak alat berat (PAB) Rp 1.000.000.000, dan opsen pajak mineral bukan logam dan batuan (MBLB) Rp 2.050.000.000. Sedangkan retribusi ditarget Rp 450.121.878.920.
Menurut Asrian Hendy Caya, data based WP adalah kunci PAD. Dimana seluruh objek pajak daerah diidentifikasi wajib pajaknya dan sebisanya diberi identitas. Hal ini diperlukan yang pertama sebagai data based, kedua untuk mengetahui potensi pajaknya, ketiga untuk menilai kinerja pencapaian pendapatan pajak daerah, dan keempat untuk merumuskan kebijakan dalam rangka optimalisasi penerimaan.
Dikatakan, Bapenda Lampung harus membangun kemitraan dengan pihak-pihak terkait guna mengumpulkan data dan memberi identitas wajib pajak.
“Misalnya, untuk kendaraan baru dengan dealer, untuk kendaraan bekas dengan asosiasinya. Yang perlu dicatat, data based dan identifikasi wajib pajak adalah titik masuk membenahi perencanaan PAD,” ucap Asrian.
Pakar ekonomi kewilayahan ini menyarankan agar Bapenda melakukan kajian terhadap setiap jenis pajak guna mengetahui pola perkembangan dan pola perilaku WP. Misalnya, seberapa besar kendaraan yang memakai plat nomor daerah lain.
“Nah, untuk itu perlu ada kajian, karena antar daerah bersaing dalam mendapatkan WP. Dan yang sudah lama menjadi perdebatan terkait tarif pajak kendaraan, sehingga disinyalir banyak masyarakat yang lebih suka membeli kendaraan dengan plat nomor luar daerah karena dianggap lebih murah dan mudah. Hal ini juga harus menjadi perhatian,” ujar Asrian seraya menambahkan, semangat mendongkrak PAD harus memperhitungkan kebijakan daerah lain, agar daya saing pelayanan kita lebih unggul dan menarik bagi WP.
Sinergi dengan kabupaten/kota, menurut Asrian, juga penting dibangun. Sejauhmana kontribusi kabupaten/kota dalam ikut meningkatkan ketaatan membayar pajak oleh masyarakat.
“Sinergi ini harus dibangun dalam bentuk koordinasi, pembagian tugas dan insentif, sehingga tingkat ketaatan membayar pajak juga tinggi, otomatis penerimaan pajak mengalami kenaikan dan ketersediaan dana pembangunan pun meningkat. Apalagi saat ini setiap daerah diminta membangun mal pelayanan publik yang memudahkan masyarakat mendapat layanan dan melakukan kewajiban, termasuk membayar pajak,” urainya.
Mengenai masih rendahnya PAD Pemprov Lampung, dengan bijak Asrian menyatakan bahwa secara teknis kemarin-kemarin ini memang Bapenda kosong pimpinan definitifnya dalam jangka waktu relatif lama. Bisa jadi hal tersebut ikut mempengaruhi kinerja, sehingga target tidak tercapai.
Sementara, BPK RI Perwakilan Lampung menyampaikan bahwa terdapat potensi penerimaan dari klasifikasi baku lapangan usaha Indonesia atas pelaku usaha yang mengajukan nomor izin berusaha (NIB) dan telah terbit izin usahanya yang ditangani oleh Dinas Penanaman Modal Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PMPTSP) dengan jumlah 1.083 unit usaha baru.
Seribu lebih pemilik NIB ini berpotensi untuk menjadi wajib pajak (WP), antara lain di sektor PKB, PAP, PBBKB, retribusi perpanjangan izin mempekerjakan tenaga kerja asing (IMTA), serta tarif jasa pemeriksaan dan pengujian peralatan keselamatan dan kesehatan kerja (K3), jika dilakukan pendataan secara baik oleh Bapenda.
Ironisnya, begitu menurut penjelasan Kabid Pajak dan Non Pajak Bapenda Lampung sebagaimana dikutip dari BPK, OPD koordinator pendapatan daerah itu hingga saat ini belum dapat mengakses data yang mendukung pendataan subjek, wajib pajak, dan objek pajak atau retribusi yang potensial, seperti penerbitan NIB dari Dinas PMPTSP.
Mengapa begitu? Alasannya sangat klise; karena belum terdapat ketentuan tertulis yang mengatur mekanisme koordinasi dan keterbukaan data.
Apa saja objek pajak dan retribusi yang NIB-nya telah diterbitkan Dinas PMPTSP di tahun 2023 hingga semester I tahun 2024 sebanyak 1.083 unit itu? Berikut datanya:
1. Aktivitas cold storage. Ada 6 unit.
2. Angkutan bermotor untuk angkutan umum, 470 unit.
3. Angkutan bus antar kota antar/dalam provinsi, 26 unit.
4. Angkutan bus pariwisata/khusus atau IDT lainnya, 27 unit.
5. Angkutan darat wisata/khusus dan lainnya, 44 unit.
6. Apartemen hotel, 6 unit.
7. Industri air kemasan dan mineral, 30 unit.
8. Industri air minum isi ulang, 53 unit.
9. Industri bahan bakar dan pemurnian serta pengilangan minyak bumi, 1 unit.
10. Industri gula merah, 36 unit.
11. Industri gula pasir, 5 unit.
12. Industri minuman ringan dan lainnya, 12 unit.
13. Industri minyak atsiri, ringan, dan lainnya, 4 unit.
14. Industri minyak goreng kelapa/sawit, 26 unit.
15. Industri minyak mentah inti kelapa sawit (crude palm kernel oil), 1 unit.
16. Industri minyak mentah kelapa sawit (crude palm oil), 2 unit.
17. Industri minyak mentah, inti kelapa sawit, lemak nabati, dan hewani lainnya, 45 unit.
18. Industri mortar atau beton siap pakai, 15 unit.
19. Industri motor listrik, 7 unit.
20. Industri pembuatan logam dasar bukan besi, 1 unit.
21. Industri pengelolaan pupuk, 81 unit.
22. Industri pupuk buatan campuran hara makro primer, 1 unit.
23. Industri rokok putih, tangan, dan mesin 8 unit.
24. Jasa pekerjaan konstruksi prapabrikan bangunan gedung dan sipil, 30 unit.
25. Konstruksi bangunan prasarana sumber daya air, 139 unit.
26. Pergudangan dan penyimpanan, 1 unit.
27. Perkebunan buah kelapa sawit, 1 unit.
28. Perkebunan tebu, 1 unit.
Siapkah Bapenda Lampung melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi serta melahirkan data based WP guna mendongkrak PAD? Sayangnya, sampai berita ini ditayangkan belum didapat penjelasan dari Plt Kepala Bapenda, Slamet Riadi. (fjr)