Cari Berita

Breaking News

Kelebihan Bayar

Dibaca : 0
 
Editor: Rizal
Rabu, 19 Februari 2025

Ilustrasi: membayar dengan uang (ist/inilampung)


Oleh, Dalem Tehang


INILAMPUNGCOM --  “Ngapain sih ngecek nota makan sampai segitunya, dek. Malu tahu,” bisik Dinda ke telinga Gilang saat mereka berdiri di depan kasir untuk membayar makan malam.


“Buat mastiin aja lo, mbak. Yang kita bayar, sesuai sama yang tadi kita makan. Slow aja lagi,” sela Gilang, dengan nada santai.


“Adek mah malu-maluin aja. Ayo cepetan bayar, lihat dibelakang kita, pada antri mau bayar juga,” ucap Dinda, dan menarik tangan Gilang setelah dia merogoh kocek membayar sesuai yang tertera padanota.


Kok Adek berubah gini ya sekarang. Jadi perhitungan bener,” celetuk Dinda ketika mereka sudah di dalam mobil menuju pulang.


“Ini bukan soal perhitungan, mbak. Tapi ngebiasain berlaku tertib. Kalau kita makan, ya bayarnya sesuai yang dimakan. Nggak boleh lebih atau kurang. Beda kalau kita mau kasih tips atau sedekah buat pelayannya,” sahut Gilang, tetap dengan nada santai.


“Jadi nggak boleh ya sampai kelebihan bayar?” tanya Dinda.


“Bukan soal boleh nggak boleh, mbak. Tapi semua ada ukurannya, dan memang mesti gitu. Nggak bisa sekenanya aja. Intinya, disiplin gunain anggaran. Pasti nyaman hidup kita,” jawab Gilang.


“Wuih, beda bener ya yang sudah masuk pendidikan kedinasan. Pikirannya fokus harus lakuin sesuai sistem. Ya bagus sih itu, dek. Cuma mbok ya jangan kaku-kaku amatlah,” kata Dinda, beberapa saat kemudian.


“Hidup ini kan berproses, mbak. Kata Walt Disney, jika kamu memimpikan sesuatu, berarti kamu bisa melakukan hal itu, dan kalau nuruti omongan Appius Claudius; setiap orang merupakan arsitek bagi keberuntungan mereka masing-masing. Tinggal mau nggak kita mengalir ikuti proses kehidupan ini dengan baik tanpa melupakan masa lalu,” tanggap Gilang sambil melepas senyuman.


“Wuih, sok keren lo Adek ini sekarang. Ngomongnya beda bener. Tapi, urusan kelebihan bayar dikit aja bisa jadi masalah,” celetuk Dinda dan memukul bahu adik satu-satunya itu. Pukulan penuh kasih sayang.


“Sadar nggak sadar, soal kelebihan bayar ini sebenernya yang buat negara kita morat-marit keuangannya sekarang ini, mbak. Maka Presiden Prabowo netepin efisiensi gede-gedean itu. Gitu juga buat pemerintah daerah, miliaran rupiah uang rakyat yang dikelola pemerintah dari pajak, nguap gitu aja akibat permainan orang-orang nggak bertanggungjawab dalam urusan ini,” kata Gilang.


“Misalnya kayak mana, dek. Mbak kok nggak mudeng ya?” sela Dinda setengah bertanya.


“Contoh aja ya, mbak. Setiap kali dilakuin pemeriksaan atas proyek pembangunan, pasti aja ditemuin adanya kekurangan volume atau ketidaksesuaian dengan spesifikasi kontrak. Artinya, pekerjaan yang dilakuin nggak sesuai ketentuan, tapi dibayarnya senilai dalam kontrak. Maka, ada kelebihan bayar oleh pemerintah ke pelaksana proyek, dan itu wajib dikembaliin,” urai Gilang.


“O itu to maksudnya. Paham mbak. Tapi, ada yang aneh lo di urusan kelebihan bayar proyek itu, dek,” ujar Dinda.


“Aneh gimana, mbak?” tanya Gilang.


“Kan mestinya yang ngalami kelebihan bayar itu penyedia jasa pekerjaan ya, jadi ya dia dong yang harus mulangin ke kas daerah. Gitukan alurnya. Tapi, kepala dinas yang proyek di tempatnya mimpin banyak ditemuin kelebihan bayar alias ada penyimpangan, nggak suka persoalan itu dibicarain. Dia malah kayak pasang badan gitu buat ngejaga para penyedia jasa proyek yang bermasalah, anehkan,” tutur Dinda.


“Itu mah bukan aneh namanya, mbak. Itu nunjukin kalau sang kepala dinas dalam posisi kepalanya sudah keplintir sama penyedia jasa pekerjaan di tempat kerjanya. Dari kelakuan sesederhana itubisa kebaca adanya praktik KKN. Nggak usah repot-repot nyari data dan sebagainya buat nyimpulinnya, mbak,” sahut Gilang dengan cepat.


“Terus, jangan-jangan malah kelebihan bayarnya nggak dibalikin ke kas daerah dong, dek,” kata Dinda, menimpali.


“Bisa jadi, mbak. Kalau seorang kepala dinas pasang badan buat penyedia jasa yang ditemuin secara faktual adanya penyimpangan dalam pekerjaannya, berarti dia nggak punya tanggung jawab dalam ngamanin uang rakyat. Pejabat tipe kayak gini yang mestinya paling awal kena gusur oleh Gubernur, Bupati atau Walikota yang dilantik 20 Februari nanti. Karena ia kerja bukan untuk rakyat dan ngamanin uang pemerintah, tapi malah jadi jongosnya penyedia jasa yang bermasalah,” kata Gilang, kali ini dengan nada agak tinggi.


“Tapi siapa tahu justru urusan kelebihan bayar itu nggak boleh dipublish, termasuk nama penyedia jasanya, karena mau ada kongkalikong baru pas sudah ada Gubernur, Bupati atau Walikota definitif, dek,” ucap Dinda.


“Segala kemungkinan bisa aja terjadi, mbak. Namanya juga urusan dunia. Tapi, seperti dalam matematika sosial, kebenaran dan kesalahan itu punya logika yang nggak terbantahkan. Tinggal mereka-mereka yang selama ini nyaman memainkan dana kelebihan bayar dengan menjadi jongos penyedia jasa, dan tega ngerugiin keuangan pemerintah, nentuin pilihan,” kata Gilang, yang segera turun dari mobil untuk membuka pintu gerbang rumah. (*)      

LIPSUS