Mereka Yang Mulai Teriakan Merdeka (14)
(1929, pedalaman Jawa, para petani bergelora oleh pidato Bung Karno untuk berdikari. Tapi mengapa di abad 21, negeri itu belum swasembada?) (1)
-000-
Rahmat, anak sawah,
menyemai pagi,
tapi yang kenyang adalah gedung-gedung tinggi.
Ia menanam butir harapan,
tapi yang panen adalah tangan-tangan tak terlihat.
Di ladangnya sendiri, ia hanya bayang-bayang,
membajak tanah yang tak pernah membajak nasibnya.
“Untuk siapa keringatku mengalir?”
bisiknya pada batang padi,
yang menunduk diam,
seolah malu untuk menjawab.
Lalu sebuah kabar tiba dari pasar.
Malam itu, di alun-alun kota,
suara asing menggetarkan udara.
Bukan suara pemungut pajak.
Bukan suara majikan.
Tapi suara yang membangunkan tidur panjang rakyat kecil.
-000-
Rahmat berdiri di tengah kerumunan,
mendengar suara yang menghantam langit malam:
“Saudara-saudaraku!
Kemerdekaan bukan untuk dinanti,
ia adalah hak yang harus diperjuangkan!”
Bung Karno, lelaki yang sering disebut.
Ia berdiri tegap.
Suaranya menikam malam,
memanggil nama yang selama ini tak ia kenal: Marhaen!
Rahmat menelan ludah,
terasa asin keringat yang belum jatuh.
Di dadanya, api Karno membara, di pundaknya, beban leluhur terasa.
Tangannya mengepal, ragu dan berani, antara menggenggam harapan dan pasrah pada takdir.
Dalam hatinya, tanya berbisik pilu:
"Apakah merdeka juga untukku?"
Bung Karno berbicara tentang mereka,
tentang tangan kasar yang berhak atas tanahnya.
Tentang sawah yang harus menjadi milik petani.
Tentang beras yang harus mengenyangkan rakyat sendiri,
tentang perempuan yang harus setara.
“Gabunglah dengan PNI!” suara itu menggema.
Ini bukan sekadar partai.
Ini adalah perahu bagi yang selama ini karam.
Bung Karno adalah petir yang meledak,
menyambar jiwanya,
membakar sepi yang lama membeku.
Rahmat kini tahu:
sawah ini bukan sekadar sawah,
tetapi medan perjuangan.
-000-
Sejak hari itu, Rahmat tak hanya menanam padi.
Ia juga menanam kesadaran.
Ia ajak tetangga,
melihat dunia di luar ladang.
Ia sebarkan kabar:
kemiskinan bukan takdir.
Di batas senja yang merah membara,
Rahmat menulis manifesto di udara:
“Setiap butir padi yang tumbuh
adalah huruf-huruf revolusi.
Setiap alur bajak yang mengurat adalah paragraf perlawanan.
Bumi ini bukan kitab mati, melainkan puisi yang harus dibaca dengan darah dan keringat!"
Angin menerbangkan kata-katanya ke dalam sumur-sumur tua, ke jantung pohon beringin yang retak, ke langit-langit gudang penuh lumbung kosong.
Di sana, suaranya menjadi akar
yang menembus zaman.
-000-
Datang abad 21.
Layar handphone bersinar lebih terang dari bintang.
Gedung-gedung tinggi menelan langit.
Tetapi petani tetap menunduk di sawahnya,
seperti Rahmat yang dulu bertanya:
“Untuk siapa keringatku mengalir?”
Negeri ini kaya akan tanah,
tetapi beras kita masih datang dari seberang lautan.
Garam kita asin di laut,
tetapi harus diimpor untuk meja makan.
Gula tumbuh di tanah ini,
tetapi negeri lain memanen manisnya.
Marhaen belum menggenggam tanahnya sendiri,
belum merdeka di ladangnya sendiri.
Di bawah langit yang masih kelabu,
cucunya Rahmat menutup buku,
menatap laut yang luas membentang,
dan bertanya:
“Mengapa laut negeriku tak hanya panjang, tapi juga penuh luka?”
Ombak berbisik tentang kapal yang pergi,
tentang garam yang pulang dengan bendera asing.
Ia genggam pasir, tapi jemarinya kosong,
menjadi lumbung yang terkunci rapat oleh tangan tak kasat mata.
Tanah ini bukan warisan,
melainkan meja makan yang dihidangkan untuk orang lain.***
Jakarta, 6 Febuari 2025
000-
CATATAN
(1) Puisi esai ini dramatisasi kisah Bung Karno dan semangat Marhaen, tapi Indonesia belum kunjung swasembada beras, gula, garam padahal kekayaan alam menghampar
https://www.tempo.co/ekonomi/alasan-indonesia-masih-impor-garam-padahal-memiliki-garis-pantai-yang-panjang-1176230