Cari Berita

Breaking News

Dalam Keterdadakan

Dibaca : 0
 
Editor: Rizal
Senin, 17 Februari 2025

Ilustrasi: siswa piket kelas (ist/inilampung)


Oleh Dalem Tehang


 

“KENAPA senyum-senyum sendiri gitu, dek?” tanya Dinda melihat Gilang senyum-senyum saat menyapu halaman, pagi tadi.


“Inget kejadian waktu masih di SMA aja, mbak,” sahut Gilang, terus asyik menyapu daun pohon jambu yang berserakan


“Emang kenapa?” tanya Dinda.


Pas wali kelas mau ngajar, ndadak suruh adek nyapu bagian depan kelas. Pas di deket meja guru,” ucap Gilang.


“Lho, kok nyuruh Adek yang nyapu? Emang nggak ada petugas kebersihan di sekolah Adekwaktu itu,” sela Dinda.


“Ya adalah, mbak. Pagi-pagi semua kelas sudah disapu dan dipel malah. Bersih dan bau karbol bekas ngepelnya masih kecium pas masuk kelas. Cuma kan, kalau sudah jelang akhir pelajaran, pasti kotor lagi. Eh, ndadak wali kelas suruh bersihin,” jawab Gilang.


“Kenapa nyuruh Adek yang nyapu, kan banyak murid perempuan juga,” celetuk Dinda.


“Kata wali kelas, karena adek ketua kelas, jadi harus tanggung jawab dan mesti bisa atasi semua masalah dengan baik,” sahut Gilang, sambil nyengir.


“Terus, akhirnya Adek nyapu ya. Apa kata wali kelas habis itu,” kata Dinda, penasaran.

“Ya iyalah, mbak. Adek nyapu. Habis itu wali kelas bilang: ibu sengaja ajari kalian untuk selalu siap dengan keterdadakan, karena kehidupan tidak selamanya bisa direncanakan,” urai Gilang.


“O gitu, ngeteslah ya maksud wali kelas itu. Adek sebagai ketua kelas, bisa nggak nyapu,” sahut Dinda dan tertawa.


“Sederhananya sih gitu, mbak. Ya bisalah, masak nyapu aja nggak bisa. Dan setelah adek pikir-pikir, emang keterdadakan itu sering kejadian. Cuma orang-orang yang mahami sesuatu dengan baik aja yang bisa ngatasi dengan elegan,” kata Gilang, setelah mengumpulkan daun jambu yang disapunya dan memasukkan ke kotak sampah.


“Contoh sederhananya kayak mana, dek?” tanya Dinda.


“Misalnya, karena hasil pilkada masih ngegantung belum juga ada keputusan, buru-buru menyokong lahirnya daerah otonomi baru. Padahal, daerah otonomi definitifnya yang sudah umur 17 tahun dan dipimpin selama 10 tahun aja sampai sekarang layak dibilang dalam kondisi ‘hidup segan mati tak mau’,” kata Gilang.


“Oke, terus nurut adek gimana?” tanya Dinda lagi.


“Dalam keterdadakan itu, justru sang pemimpin ngebuka kelemahannya sendiri. Saking kencengnya semangat buat bisa terus survive dalam kepemimpinan pemerintahan, sampai ngelupain kalau kondisi negeri ini sekarang lagi dihantem dengan efisiensi besar-besaran plus belum dicabutnya moratorium soal bisa lahirnya daerah otonomi baru,” lanjut Gilang.


“Jadi, dalam keterdadakan itu bisa dinilai karakter seseorang ya, dek?” tanya Dinda.


“Ya iyalah, mbak. Oke-lah ngelahirin daerah otonomi baru itu sesuatu yang diyakini bawa kebaikan buat rakyat, yang selama ini memang kurang dapet perhatian serius oleh pemerintah kabupaten setempat. Tapi, kalau sampai lupa dengan konstruksi kebijakan pemerintahan saat ini kan sesuatu yang nggak lazim,” ucap Gilang.


“Jadi kehadiran seorang pimpinan pemerintahan dalam sebuah acara untuk deklarasiin lahirnya daerah otonomi baru di wilayah yang dipimpinnya sebenarnya nggak etis ya,” sela Dinda.


“Ya iyalah, mbak. Kan tanpa dia sadari sebenarnya justru ngebuka borok kepemimpinannya selama ini, bahwa dia emang nggak merhatiin perkembangan daerah dan kemajuan ekonomi rakyat di daerah yang mau mekar itu. Lagian, masyarakat sekarang kan sudah cerdas, mbak. Mereka bisa ngenilai kalau kehadiran sang pemimpin itu hanya lip service aja. Atau malah dinilai ada ‘maksud tertentu’ dibalik semua rencana besar itu,” beber Gilang.


“Adek ngenilainya kok jadi negatif gitu ya. Padahal, masyarakat yang semangatnya menggebu buat ngelahirin daerah otonomi baru, kehadiran sang pemimpin itu sesuatu yang membanggakan, setidaknya ada dukungan nyata,” tanggap Dinda.


“Ya nggak salah juga kalau ada yang ngenilainya begitu, mbak. Kan semua tinggal dari sudut mana kita ngelihatnya aja. Kalau buat adek, dalam kondisi keterdadakan akibat ketidakjelasan hasil pilkada, karakter seseorang yang haus kekuasaan nggak akan bisa ditutupi. Ia akan lakuin apa aja buat memperpanjang kekuasaannya. Atau minimal nunjukin kalau dia masih pegang kekuasaan.Kehausannya akan suasana penuh kehormatan dan dielu-elukan orang, mengalahkan segala kecerdasannya,” kata Gilang, panjang lebar.

“Kesimpulannya apa dari kancahan keterdadakan ini, dek?” tanya Dinda.


“Adek inget omongan seorang sahabat, mbak. Kata dia: seekor kucing yang bermimpi jadi singa, pasti kehilangan nafsu makannya terhadap tikus,” sahut Gilang, dan tertawa ngakak. (*)

LIPSUS