INILAMPUNGCOM --- Tidak tercapainya target pendapatan asli daerah (PAD) Pemprov Lampung selama beberapa tahun terakhir,--- ternyata -- tidak lepas dari kemampuan atau pengetahuan Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) yang masih lemah.
Demikian yang diungkap BPK RI Perwakilan Provinsi Lampung dalam LHP Kinerja Atas Pengelolaan APBD Dalam Rangka Mendukung Pembangunan Nasional TA 2023 SD Semester I Tahun 2024 pada Pemprov Lampung, Nomor: 52/LHP/XVIII.BLP/12/2024, tanggal 20 Desember 2024.
Terang-terangan BPK mengungkapkan bahwa Kepala Bapenda belum memiliki pemahaman atas cara menganalisa indikator makro ekonomi dalam perhitungan penyusunan PAD, serta tata cara penganggaran PAD yang terukur dan rasional sesuai potensi daerah.
Akibat lemahnya Kepala Bapenda dalam hal mengais PAD secara terukur dan rasional sesuai potensi daerah, menurut BPK, sampai saat ini Pemprov Lampung belum memiliki acuan rinci mekanisme terkait tata cara penyusunan, pengajuan, dan verifikasi perencanaan pendapatan yang terukur secara rasional.
Guna mendongkrak PAD kedepan, BPK memberi rekomendasi kepada Pj Gubernur Lampung agar memerintahkan Kepala Bapenda meningkatkan kegiatan intensifikasi dan ekstensifikasi serta berkoordinasi dengan Dinas Penanaman Modal Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PMPTSP) guna melakukan sinkronisasi data wajib pajak secara periodik.
Seperti diketahui, dari target PAD tahun 2023 sebesar Rp 4.808.699.109.382,17, realisasinya Rp 3.765.572.693.133,60 atau 78,31%. Terdiri dari pajak daerah Rp 3.232.821.385.715, retribusi daerah Rp 7.066.246.737, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan Rp 51.110.035.229,39, dan lain-lain PAD yang sah Rp 475.190.392.851,64.
Pada tahun 2024 yang lalu dari target PAD Rp 5.150.954.989.413 versi APBD-P, realisasinya hingga semester I sebanyak Rp 2.808.290.060.369,69. Dengan perincian dari pajak daerah didapat Rp 2.269.562.593.011,70, retribusi daerah Rp 345.207.25.896,92, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan Rp 190.520.241.461,91, dan lain-lain PAD yang sah Rp 8.182.756.934,57. Sampai akhir tahun 2024, menurut anggota Komisi III DPRD Lampung, Munir Abdul Haris, berdasarkan pernyataan Plt Kepala Bapenda Lampung, Slamet Riadi, total PAD di angka Rp 3,3 triliun.
Sementara pada tahun anggaran 2025 ini, dari target pendapatan daerah sebesar Rp 7.419.722.423.658,21, perolehan PAD dicanangkan Rp 4.016.582.534.326,21. Terdiri dari pajak daerah Rp 2.921.116.897.166 yang berasal dari pajak kendaraan bermotor (PKB) Rp 720.900.000.000, bea balik nama kendaraan bermotor (BBNKB) Rp 510.100.000.000, pajak bahan bakar kendaraan bermotor (PBBKB) Rp 940.000.000.000, pajak air permukaan (PAP) Rp 8.000.000.000, pajak rokok Rp 739.086.897.166, pajak alat berat (PAB) Rp 1.000.000.000, dan opsen pajak mineral bukan logam dan batuan (MBLB) Rp 2.050.000.000. Sedangkan retribusi ditarget Rp 450.121.878.920.
Menurut BPK RI Perwakilan Lampung, terdapat potensi penerimaan dari klasifikasi baku lapangan usaha Indonesia atas pelaku usaha yang mengajukan nomor izin berusaha (NIB) dan telah terbit izin usahanya yang ditangani oleh Dinas Penanaman Modal Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PMPTSP) dengan jumlah 1.083 unit usaha baru.
Seribu lebih pemilik NIB ini berpotensi untuk menjadi wajib pajak (WP), antara lain di sektor PKB, PAP, PBBKB, retribusi perpanjangan izin mempekerjakan tenaga kerja asing (IMTA), serta tarif jasa pemeriksaan dan pengujian peralatan keselamatan dan kesehatan kerja (K3), jika dilakukan pendataan secara baik oleh Bapenda.
Ternyata, begitu menurut penjelasan Kabid Pajak dan Non Pajak Bapenda Lampung sebagaimana dikutip BPK, OPD koordinator pendapatan daerah itu hingga saat ini belum dapat mengakses data yang mendukung pendataan subjek, wajib pajak, dan objek pajak atau retribusi yang potensial, seperti penerbitan NIB dari Dinas PMPTSP.
Mengapa begitu? Alasannya sangat klise, yaitu karena belum terdapat ketentuan tertulis yang mengatur mekanisme koordinasi dan keterbukaan data.
Apa saja objek pajak dan retribusi yang NIB-nya telah diterbitkan Dinas PMPTSP di tahun 2023 hingga semester I tahun 2024 sebanyak 1.083 unit itu?
Berikut datanya:
1. Aktivitas cold storage. Ada 6 unit.
2. Angkutan bermotor untuk angkutan umum, 470 unit.
3. Angkutan bus antar kota antar/dalam provinsi, 26 unit.
4. Angkutan bus pariwisata/khusus atau IDT lainnya, 27 unit.
5. Angkutan darat wisata/khusus dan lainnya, 44 unit.
6. Apartemen hotel, 6 unit.
7. Industri air kemasan dan mineral, 30 unit.
8. Industri air minum isi ulang, 53 unit.
9. Industri bahan bakar dan pemurnian serta pengilangan minyak bumi, 1 unit.
10. Industri gula merah, 36 unit.
11. Industri gula pasir, 5 unit.
12. Industri minuman ringan dan lainnya, 12 unit.
13. Industri minyak atsiri, ringan, dan lainnya, 4 unit.
14. Industri minyak goreng kelapa/sawit, 26 unit.
15. Industri minyak mentah inti kelapa sawit (crude palm kernel oil), 1 unit.
16. Industri minyak mentah kelapa sawit (crude palm oil), 2 unit.
17. Industri minyak mentah, inti kelapa sawit, lemak nabati, dan hewani lainnya, 45 unit.
18. Industri mortar atau beton siap pakai, 15 unit.
19. Industri motor listrik, 7 unit.
20. Industri pembuatan logam dasar bukan besi, 1 unit.
21. Industri pengelolaan pupuk, 81 unit.
22. Industri pupuk buatan campuran hara makro primer, 1 unit.
23. Industri rokok putih, tangan, dan mesin 8 unit.
24. Jasa pekerjaan konstruksi prapabrikan bangunan gedung dan sipil, 30 unit.
25. Konstruksi bangunan prasarana sumber daya air, 139 unit.
26. Pergudangan dan penyimpanan, 1 unit.
27. Perkebunan buah kelapa sawit, 1 unit.
28. Perkebunan tebu, 1 unit.
Siapkah Bapenda Lampung melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi guna mendongkrak PAD dan apa saja strateginya? Sayangnya, sampai berita ini ditayangkan belum didapat penjelasan dari Plt Kepala Bapenda, Slamet Riadi. (fjr)