Peristiwa penggusuran rumah warga Sabah Balau, Lampung Selatan, 12 Februari 2025 lalu, membuka mata publik, bahwa banyak aset pemerintah saat ini yang "dikuasai" pihak lain. Bahkan, puluhan aset pemerintah pun banyak yang telantar alias tidak dimanfaat.
Berikut, catatan inilampung yang ditulis dalam tiga bagian (habis)
BANDARLAMPUNG ---- Aset tanah milik Pemprov Lampung yang belum disertifikatkan dan dikuasai masyarakat tanpa perjanjian yang ke delapan juga berada di Labuhan Maringgai, Lampung Timur.
Yaitu tanah seluas 17.720 m2 dengan bangunan pembibitan ikan perolehan 23 Februari 1983 senilai Rp 22.150.000. Seperti yang lain-lain, BPKAD juga mengaku telah berupaya mengajukan sertifikat, tetapi lagi-lagi disebutkan bahwa pihak UPTD belum bisa menunjukkan batas tanah milik pemprov tersebut. Meski tidak jelas keabsahan –apalagi pendudukannya- aset ini tetap dicatat pada KIB A (intracomptable).
Yang ke sembilan, aset tanah dan bangunan pembibitan ikan seluas 2.400 m2 perolehan 23 Februari 1993 senilai Rp 65.800.000 di Desa Karta, Kecamatan Tulang Bawang Udik, Kabupaten Tulang Bawang Barat.
Lahan yang berada dibawah tanggung jawab UPTD Balai Perikanan Budidaya Air Laut dan Payau Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Lampung ini telah sepenuhnya dikuasai masyarakat. Dan tetap dengan alasan pihak UPTD belum bisa menjelaskan batas tanah, BPKAD pun mengaku upaya mensertifikatkannya mandeg. Meski begitu, tetap tercatat di KIB A (intracomptable).
Ke sepuluh adalah aset milik Dinas Ketahanan Pangan, Tanaman Pangan, dan Hortikultura berupa tanah kosong seluas 50.000 m2 perolehan 31 Agustus 1990 senilai Rp 425.100.000 yang berada di Way Urang, Kalianda, Lampung Selatan.
Untuk aset ini, BPKAD telah mengajukan sertifikat dan BPN juga sudah melakukan pengukuran. Namun, ada dokumen yang harus ditandatangani Kepala Desa, dan hingga saat ini masih dalam proses sertifikat oleh BPN. Tetap tercatat di KIB A (intracomptable).
Yang ke sebelas, aset tanah berupa perkebunan milik Dinas Perkebunan di Gunung Batin, Lampung Tengah, dengan luas 15.625 m2 perolehan 31 Maret 1980, senilai Rp 300.000.
Untuk aset ini temuan BPK mengungkapkan bahwa lokasinya belum diketahui meski telah dilakukan koordinasi dengan aparat desa setempat. Ditemukan bekas sumur bor, tetapi fisik tanah tidak sesuai dengan gambar pada surat tanah.
Ke duabelas adalah tanah seluas 500.000 m2 senilai Rp 200.000 di Desa Bujung Tenuk, Menggala, Kabupaten Tulang Bawang. Tanah milik Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan yang dijadikan lapangan pengujian dan lain-lain ini, sebagiannya telah digunakan oleh Pemkab Tulang Bawang, selain masyarakat setempat.
Di dalam LHP BPK RI Perwakilan Lampung tahun 2009 dinyatakan, bahwa dari 500.000 m2 tanah tersebut, seluas 36 hektarnya dipinjampakaikan oleh Pemkab Tulang Bawang (terdapat SK pinjam pakai), sisanya yang 14 hektar dikuasai masyarakat. Hingga saat ini belum ada upaya apapun, baik dari Pemprov Lampung maupun Pemkab Tulang Bawang, untuk memperjelas kepemilikan aset tanah tersebut.
Sementara tanah milik pemprov yang belum bersertifikat atas nama Pemprov Lampung dan telah memiliki sertifikat atas nama orang lain, atau telah diduduki, ada dua. Pertama adalah lahan seluas 28.231 m2 perolehan 31 Desember 2016 senilai Rp 1.411.600.000 di Jalan Studio TVRI, Desa Way Huwi, Kecamatan Jati Agung, Lampung Selatan.
Pada tahun 2022 lalu, Bagian Aset BPKAD Lampung melakukan pengurusan sertifikat ke BPN. Namun, tanah yang sebelumnya senilai Rp 1.00 dan dilakukan penilaian kembali tahun 2016 tersebut, ternyata telah memiliki sertifikat HGB atas nama pihak lain. Sampai saat ini, pemprov belum melakukan upaya apapun untuk menyelamatkan aset tersebut.
Yang kedua adalah tanah dan bangunan bekas rumah potong hewan seluas 920 m2 perolehan 27 September 1996 senilai Rp 44.000.000 di Jln KH A. Ghalib, Pringsewu. Meski memiliki sertifikat nomor: 10, namun faktanya telah terbit sertifikat lain.
Pada aset tanah milik Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan ini pemprov memiliki sertifikat hak pakai sejak tahun 1992, tetapi diklaim masyarakat yang mengaku juga mempunyai sertifikat tahun 2012.
Pihak yang menggunakan aset ini adalah pemilik Toko Ban Gajah Tunggal Pasar Pringsewu, dan telah dibangun ruko yang saat ini disewa untuk Kantor KPP Pajak Pringsewu. Sampai saat ini belum ada upaya hukum apapun terkait tanah tersebut. Walau dicatat dalam KIB A (intracomptable).
Puluhan aset Pemprov Lampung yang bermasalah karena ditelantarkan senilai Rp 91 miliar lebih tersebut, sebenarnya merupakan harta kekayaan yang seharusnya diurus serius. Tetapi semua memahami, untuk pengurusannya tidaklah mudah. Perlu proses panjang, selain kesungguhan.
Persoalan mendasarnya selama ini; kesungguhan pejabat terkait hal ini memang sangat rendah. Maka ya dimaklumi saja kalau sedikit demi sedikit aset pemprov bakal –dan terus- hilang. (fjr/inilampung/habis)