Cari Berita

Breaking News

Tirto Adhi Soerjo: Bara Api yang Kesepian

Dibaca : 0
 
Selasa, 21 Januari 2025

Mereka Yang Mulai Teriak Merdeka (3)


Oleh Denny JA

1907, pena Tirto menorehkan tinta perlawanan, lahir Medan Prijaji,  media pertama pribumi. Jika takdir tak merenggutnya di usia muda, mungkin ia akan melampaui semua bapak bangsa?


-000-

Di Bacan, Halmahera,  1913, pulau di ujung dunia,
Tirto menjalani masa pembuangan.


Koran Medan Prijaji  yang dilahirkannya itu hujan pertama di tanah kering.

“Setiap tetes tinta  di koranmu
menghidupkan akar perlawanan!,” ujar opsir penjajah.

Pena Tirto menjahit luka rakyat menjadi suara,
tapi bagi penguasa,
itu adalah petir mengancam tahta.”

Di bawah langit  Maluku Utara  yang sepi,
Ia sempat ragu:
“Sia-siakah perjuanganku?
Terhentikah aku di sini?

Mata Tirto memang masih menyimpan perlawanan,
marah atas penjajahan,
murka pada ketidak- adilan.

Tapi di balik itu semua,
ada ruang kosong,
tempat  Siti berdiri,
gadis ningrat,
yang selalu setia menemani,
dalam derita,
dalam sunyi,
yang khawatir akan kesehatannya.
Selalu.

Di ruang kosong itu pula,
kerinduan pada Ibu berdiam.

Sepi adalah musuh yang tak bisa ia taklukkan,
hingga air matanya jatuh.

Tetesnya lebih jujur,
dibandingkan semua kata yang pernah ia tulis.”


-000-

Langit malam di Halmahera
melukis jalan hidupnya,
di masa lalu.

Tergambar pena di tangannya.
Kata adalah obor,
menerangi jalan pedagang kecil,
petani yang terbungkuk, 
dan priyayi yang lelah bermimpi.

Medan Prijaji,
ia bangun dari darah dan keringat,
menjadi suara untuk mereka yang tak bersuara.

Ia tak hanya menulis berita,
tapi spirit perlawanan yang berdenyut di setiap kata.

Ia tak hanya membuat kata,
tapi gelorakan harapan, 
di setiap aksara,
agar pribumi berani bermimpi.

Ia dorong  Sarekat Dagang Islam,
menganyam persaudaraan para pedagang Muslim,
menyulam solidaritas menjadi kekuatan.

Budi Utomo ia dukung,
Serikat Priyayi ia bentuk.

Tirto adalah penggerak, tanpa lelah.

Ia sungai yang tak henti mengalir,
melintasi Jawa,
melewati gunung harapan,
menyebrangi laut cita-cita,
membangunkan desa dan kota dari tidur panjang,

Ia adalah komet di langit perjuangan,
membakar terang melawan gelap yang tak berujung.

Namun, terang itu,
ternyata mengorbankan dirinya.

Api menguncup, 
sebelum ia sempat melihat
cahaya fajar,
yang ia impikan.

Siti, dengan mata berkaca, berbisik,
"Kanda, kau adalah api yang tak pernah padam, tapi membakar habis dirimu sendiri."

Tapi bagi Tirto,
sungainya mengalir lambat,
tak berpacu dengan arus  yang cepat.


Ia ingin kaum priyayi, 
kaum pribumi, 
pedagang,
buruh,
petani,
bergerak bagai gelombang pasang, menyapu segala rintangan.

Mereka menjadi riak yang berpadu, 
gelombang yang tak tertahankan.
 
-000-

Tapi revolusi yang ia nyalakan
justru memakannya.

Dari kamar sunyi, ia dihantui utang-utang,
surat kabarnya terbakar api kebangkrutan.

Gaung sorak memeluknya seperti  tanda kemenangan.
Tapi di balik riuh itu, ia terpuruk.

Masalah-masalah menyusup seperti bayang,
menariknya ke jurang,
tempat ia berdiri sendirian.”


Tirto  melawan badai penjajahan, 
tapi kakinya rapuh bergetar.

Kepada Siti, Tirto sering mencurahkan isi hati.

“Pikiranku melesat jauh melampaui ragaku yang  letih,
melampaui keuangan yang serba kurang.”

Penyakit pelan- pelan memangsanya.

1918, ia wafat di usia 38 tahun,
lebih muda dari usia perjuangannya.

Di makamnya,
Siti  berdoa.

Ia teringat percakapan terakhirnya dengan Tirto.

Saat itu Tirto minta Siti melantunkan Tembang Jawa, Macapat, 
dengan lirik kebijaksanaan hidup.

Siti melantunkannya,
kata bercampur air mata.

Keterasingan dan kesulitan adalah badai yang sangat kuat,
menerpanya,
memintanya menyerah kalah.

Tapi api di dadanya tak kunjung padam.
Ketidakadilan memaksanya bertahan,
meski tubuhnya mulai retak.

Bukan mati benar yang Tirto takuti.
Tapi mati yang sia-sia.

Alam menjawab.
Di pusara Tirto,
bayangan penanya melesat ke langit,
menari di angin,
menuntun tangan-tangan muda di zaman kemudian,
menuliskan sejarah baru.

Ya, Tirto memang mati muda,
tapi tak sia- sia,
karena jejaknya terus memberi inspirasi.***

Jakarta 21 Januari 2025

(1) Puisi esai ini dramatisasi dari kisah hidup Tirto Adhi Soerjo


Kompas.comhttps://www.kompas.comRM Tirto Adhi Soerjo: Kehidupan dan Kiprahnya

LIPSUS