Oleh, DR Wendy Melfa
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor perkara 62/PUU-XXII/2024 terkait penghapusan syarat mengajukan calon Presiden dan Wakil Presiden bagi Partai Politik peserta Pemilu atau yang disebut ambang batas pencalonan Presiden (Presidential Threshold) yang merupakan angin segar bagi tumbuh dan berkembangnya demokrasi Indonesia.
Menurut ‘teori kecenderungan’ berimplikasi pada unsur-unsur pada ‘rumpun’ sistem politik Indonesia lainnya, diantaranya kearah penghapusan ambang batas Parlemen (parliamentary threshold) sebesar 4 % bagi Partai Politik peserta Pemilu yang dapat dinyatakan lolos dan mendapatkan kursi perwakilannya.
Kecenderungan ini berbasis pada Putusan MK Nomor perkara 116/PUU-XXI/2023 yang dibacakan pada Kamis 29/24/2024 dengan amar Putusan yang pada intinya “menyatakan ambang batas Parlemen 4 % dinyatakan konstitusional sepanjang tetap berlaku dalam Pemilu 2024 dan konstitusional bersyarat untuk diberlakukan pada Pemilu DPR 2029 dan Pemilu berikutnya”.
Pertama, didalam pertimbangan MK menyebutkan bahwa penghapusan ketentuan ambang batas Parlemen sebesar 4 % sebagaimana diatur dalam UU 7/2017 tentang Pemilu, karena tidak sejalan dengan prinsip kedaulatan rakyat, keadilan Pemilu, dan melanggar kepastian hukum yang dijamin Konstitusi.
Kedua Putusan MK terkait ketentuan Pemilu tersebut merupakan ‘lonceng’ perbaikan iklim demokrasi penyelengaraan Pemilu 2029 dan berikutnya melalui penataan ketentuan UU Pemilu yang mengisyaratkan kepada pembuat UU yaitu Presiden dan DPR (open legal ) untuk menghapus dan memperbaiki ketentuan tentang ambang batas pemilihan Presiden (Presidential Threshold) dan ambang batas Parlemen (Parliamentary Threshold), sekaligus ‘lonceng’ dan entry way bagi perbaikan peraturan perundangan pada rumpun UU Politik yang hilirisasinya pada perbaikan sistem politik dan kualitas demokrasi Indonesia.
Profesional dan Inklusif
Adanya ketentuan tentang ambang batas Parlemen ini menjadi unsur penting dari sistem Pemilu yang berimplikasi pada konversi menjadi suara, dimana dalam praktik penyelenggaraannya ditemukan adanya suara pemilih yang menitipkan aspirasi politiknya pada Partai-Partai yang dinyatakan tidak lolos Parliamentary Threshold (PT) menjadi ‘hilang’ dan tidak berhak mendapatkan kursi di Parlemen karena tidak memenuhi rumus bilangan pembagi meskipun perolehan suara calon Anggota Legislatifnya melampaui perolehan calon Anggota Legislatif yang dinyatakan memperoleh kursi dari Partai Politik yang memenuhi atau dinyatakan lolos PT atas akumulasi perhitungan perolehan kursinya.
Ambang batas Parlemen berimplikasi terhadap konversi suara sah menjadi jumlah kursi DPR/D yang berkaitan dengan proporsionalitas hasil Pemilu, dimana terdapat ketidak selarasan jumlah suara yang diperoleh Partai Politik peserta Pemilu dengan kursi yang diraih di Parlemen agar hasil Pemilunya proporsional.
Hal ini bukan saja merugikan Partai Politik peserta Pemilu (keadilan Pemilu) tetapi juga memasung prinsip dan tidak berkesesuaian dengan prinsip kedaulatan rakyat dalam bentuk hangus (sekitar 17 juta suara hasil Pemilu Legislatif 2024 hangus: data Perludem, disajikan Kompas.com) dan tidak digunakannya hak konstitusional pemilih yang telah digunakan dalam Pemilu dengan alasan penyederhanaan Partai Politik sebagaimana maksud diterapkannya ambang batas (PT) tersebut.
Penghapusan ketentuan ambang batas selain juga memberikan kepastian hukum bahwa aspirasi pemilih yang disalurkan pada Pemilu kepada calon Anggota Legislatif yang juga merupakan perwakilan Partai Politik akan terwakili untuk membawa aspirasinya melalui Parlemen (yang memenuhi syarat bilangan pembagi), juga dapat berimplikasi pada kehidupan ber-Partai Politik yang menyeluruh, melibatkan dan mengikutsertakan semua golongan Partai Politik peserta Pemilu yang mendapatkan suara pemilih, tanpa membeda-bedakan idiologi dan basis dukungan Partai Politik (inklusif).
Dalam perspektif semangat Bhineka Tunggal Ika, kehidupan politik melalui berpartai politik yang dimaknai sebagai Pilar demokrasi, sarana penjaring dan perjuangan aspirasi masyarakat, wadah perkaderan dan kepemimpinan nasional/ daerah yang inklusif tersebut dimungkinkan untuk terbangunnya sistem politik dan demokrasi Indonesia yang semakin baik. Bangsa yang beruntung itu apabila kita merasakan dan mengupayakan bahwa hari ini lebih baik dari hari kemarin, itulah tandanya Indonesia menjadi Negara yang lebih baik.(*)
DR Wendy Melfa
* Staf Pengajar Universitas Bandar Lampung
* Direktur Ruang Demokrasi