![]() |
Rahmad Mirzani, dan wagub Jihan Nurlela (dok.net) |
Catatan Pinggir, Fajrun Najah Ahmad
Bila pada dua bagian sebelumnya menyingkap transparan keterlibatan “orang dalam” –yakni lemahnya pengelola keuangan dan pimpinan OPD serta amat tidak cermatnya BPKAD dalam memverifikasi- sehingga terjadi “kebocoran” anggaran Rp 658.997.354,72 pada belanja pegawai, selanjutnya dibeberkan kolaborasi antara “orang dalam dan orang luar”. Yaitu berupa kegiatan yang melibatkan pihak diluar ASN Pemprov Lampung alias rekanan.
Untuk diketahui, pada kegiatan jasa konsultansi konstruksi di 2024 hingga 31 Oktober, terdapat pekerjaan dengan nilai kontrak Rp 2.057.940.734 dilakukan oleh enam penyedia jasa, yang sebagiannya telah dibayar sebesar Rp 99.733.000.
Dari enam paket jasa konsultansi konstruksi itu tiga kegiatan di Dinas BMBK, yaitu pengawasan teknis rehabilitasi jalan provinsi – 10 senilai Rp 384.890.000 dengan penyedia jasa CV DC dan personel SFY. Lalu pengawasan teknis rekonstruksi jalan (DAK) – 2 senilai Rp 582.015.100 sebagai penyedia jasa adalah CV MP dengan personel ES dan TBY. Serta pengawasan teknis rekonstruksi jalan provinsi – 5 senilai Rp 775.422.024 dengan penyedia jasa CV MK dan personel HA.
Adakah “kebocoran” anggaran pada tiga paket pekerjaan jasa konsultansi konstruksi di Dinas BMBK ini? Hasil pemeriksaan secara uji petik, BPK menemukan fakta bahwa terdapat personel konsultan yang melaksanakan pengawasan dengan paket lainnya alias beririsan dengan pekerjaan lain.
Atas temuan itu BPK menyimpulkan seharusnya penyedia jasa konsultansi tidak mendapatkan pembayaran sebesar Rp 110.397.100. Dengan perincian: jasa FY dari CV DC sebanyak Rp 30.077.100 tidak sesuai ketentuan, jasa ES dari CV MP sebesar Rp 34.242.000 juga TBY senilai Rp 9.658.000, dan jasa HA dari CV MK sebesar Rp 36.420.000 juga tidak sesuai ketentuan.
Terkait hal ini BPK merekomendasikan kepada Pj Gubernur Samsudin agar memerintahkan Kepala Dinas BMBK, M. Taufiqullah, memproses potensi kelebihan pembayaran sebesar Rp 110.397.100 kepada ketiga penyedia jasa konsultansi konstruksi tersebut. Sudahkah hal itu ditindaklanjuti? Tentu saja belum, dan uang rakyat itu pun termasuk dalam “kebocoran” APBD TA 2024.
Diketahui, dua paket jasa konsultansi konstruksi di Dinas PSDA juga membawa “kebocoran” anggaran, jumlahnya Rp 61.886.500. CV TJK yang menjadi penyedia jasa pengawasan pembangunan/rehabilitasi infrastruktur SDA – lokasi 1 dengan personel BI, diketahui yang bersangkutan hanya hadir saat MCO. Karenanya nilai jasa sebesar Rp 36.893.500 yang didapatnya tidak sesuai ketentuan.
Sementara CV ND yang menangani pengawasan DED rehabilitasi jaringan – lokasi 39 dengan personel RK dan AS juga bermasalah. Dimana keduanya diketahui tidak terlibat dalam pelaksanaan pekerjaan dan tidak dapat dihubungi. Karenanya, nilai jasa atas nama RK sebesar Rp 9.655.500 dan AS Rp 15.337.500 tidak sesuai ketentuan.
Atas hal ini BPK merekomendasikan kepada Pj Gubernur Samsudin agar memerintahkan Kepala Dinas PSDA, Budhi Darmawan, untuk memproses potensi kelebihan pembayaran kepada CV TJK sebesar Rp 36.893.500 dan CV ND mengembalikan kelebihan pembayaran Rp 24.993.000 serta menyetorkannya ke kas daerah. Sudahkah “kebocoran” anggaran Rp 61.886.500 dari dua paket pekerjaan jasa konsultansi konstruksi pada Dinas PSDA ini diselesaikan? Dipastikan belum. Setidaknya sampai 20 Desember 2024 lalu.
Sedangkan satu paket pekerjaan jasa konsultansi konstruksi pada Dinas KPTPH berupa pengawasan kegiatan DAK Fisik di UPTD BBI TP dan Alsintan yang ditangani CV PL dengan personel MRG, diketahui telah mengalami kelebihan bayar Rp 18.438.000. Mengapa demikian? Karena yang bersangkutan hanya melaksanakan tugas di lokasi pengawasan selama dua bulan dari tiga bulan dalam kontrak.
Ironisnya, di saat keuangan Pemprov Lampung memasuki era defisit berat, dari enam paket ini saja ada Rp 190.721.600 dana APBD TA 2024 yang “hilang” dan seharusnya masuk kembali ke kas daerah.
Ada juga praktik “mengadali” anggaran yang lebih parah tetapi memang lazim selama ini dimainkan. Apakah itu? Tidak lain memanipulasi data pembelian BBM dengan menunjukkan nota SPBU. Dari dua perangkat daerah saja, yaitu Dinas Kehutanan dan Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) terdapat “kebocoran” –yang oleh BPK ditulis dengan kalimat halus; “selisih”- sebesar Rp 60.366.680,10.
Pada surat pertanggungjawaban (SPj) Dinas Kehutanan mencatatkan angka Rp 122.486.811,10 yang digunakan untuk membeli BBM. Dan Bapenda melaporkan Rp 53.306.400. Setelah dilakukan pemeriksaan ke SPBU yang notanya dilampirkan, ternyata nota tersebut palsu, pun saat dilakukan penghitungan atas penggunaan randis bersangkutan tampak ketidakwajarannya. Maka, BPK menyimpulkan telah terjadi manipulasi anggaran.
Apa kesimpulan BPK atas persoalan pembelian BBM ini? Senyatanya anggaran yang digunakan Dinas Kehutanan untuk pembelian BBM hanyalah Rp 67.821.922,61. Dengan demikian terdapat selisih Rp 54.664.888,39 dari SPj yang disampaikan. Sedangkan Bapenda, dari SPj senilai Rp 53.306.400, hasil pemeriksaan ditemukan fakta yang sesungguhnya dipergunakan sesuai peruntukan sebesar Rp 47.604.608,29. Selisihnya Rp 5.701.791,71.
“Kebocoran” anggaran sebesar Rp 249.138.924,39 juga terjadi di Dinas PKPCK atas 17 paket pekerjaan sumur bor. Angka tersebut akumulasi dari nilai kekurangan volume Rp 239.492.999,39 dan ketidaksesuaian atas spesifikasi Rp 9.645.925.
Atas temuan adanya “kebocoran” APBD TA 2024 pada proyek 17 paket sumur bor ini BPK merekomendasikan kepada Pj Gubernur Samsudin agar memerintahkan Kepala Dinas PKPCK, Thomas Edwin, segera memproses kelebihan pembayaran sebesar Rp 249.138.924,39 tersebut pada delapan penyedia jasa dan menyetorkannya ke kas daerah.
Siapa saja penyedia jasa 17 proyek sumur bor di Dinas PKPCK yang “bermasalah” dan harus mengembalikan kelebihan pembayaran ke kas daerah? Pertama: CV RBT. Harus mengembalikan “kebocoran” anggaran sebesar Rp 31.712.070,19. Kedua: CV CAT. Wajib mengembalikan Rp 36.808.196,75. Ketiga: CV Z. Punya kewajiban menyetor ke kas daerah sebanyak Rp 33.686.647,65.
Keempat: CV BC. Wajib mengembalikan Rp 38.916.886,57. Kelima: CV CAS. Harus menyetorkan dana Rp 8.614.813,28 ke kas daerah. Keenam: CV C. Sebesar Rp 7.483.614. Ketujuh: CV MB. Mempunyai kewajiban mengembalikan ke kas daerah sebanyak Rp 37.162.262,14. Kedelapan: CV SMB. Harus mengembalikan ke kas daerah Rp 54.754.433,41.
Sudahkah “kebocoran” anggaran Rp 249.138.924,39 atas 17 proyek sumur bor di Dinas PKPCK itu dikembalikan ke kas daerah? Sampai 20 Desember 2024 lalu, belum satu rupiah pun yang kembali menjadi “nafas kehidupan” Pemprov Lampung.
“Kebocoran” anggaran juga terjadi pada tiga paket pekerjaan di Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD). Pekerjaan pencegahan bencana Sungai Way Sandaran senilai Rp 1.014.473.401 yang ditangani CV SGI diketahui kekurangan volume sebesar Rp 71.172.398.
Sementara pekerjaan pencegahan bencana Sungai Way Pegantungan senilai Rp 1.987.807.627 yang dikerjakan CV JLA diketahui terjadi ketidaksesuaian spesifikasi sebesar Rp 80.012.291,42. Dan proyek pencegahan bencana Sungai Way Buatan senilai Rp 1.008.827.185,77 dengan penyedia jasa CV SLK, terdapat kekurangan volume Rp 94.131.851,95.
Dari ketiga proyek dengan anggaran dari APBD TA 2024 sebanyak Rp 4.011.108.213,77 tersebut, terdapat “kebocoran” sebesar Rp 245.316.541,45. Dan ketiga penyedia jasa yang wajib mengembalikan kelebihan pembayaran atas pekerjaannya itu ke kas daerah. Sudahkah Kepala BPBD, Rudi Syawal Sugiarto” “mengawal” rekomendasi BPK tersebut? Hingga 20 Desember, belum ada pengembalian sama sekali.
Bila dijumlahkan “kebocoran” anggaran dari 20 paket pekerjaan -17 di Dinas PKPCK dan tiga di BPBD- maka terdapat dana yang seharusnya masuk kembali ke kas Pemprov Lampung sebesar Rp 494.455.465,84.
Sementara, enam paket pekerjaan di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 2024 pun bermasalah. Proyek dengan nilai total Rp 15.564.179.304 itu diketahui telah terjadi “kebocoran” anggaran sebanyak Rp 227.925.611,68. Terdiri dari kekurangan volume sebesar Rp 126.589.580,43, dan ketidaksesuaian atas spesifikasi proyek Rp 101.336.031,25.
Adanya “kebocoran” penggunaan APBD TA 2024 pada enam proyek di Disdikbud ini diketahui setelah tim BPK RI Perwakilan Provinsi Lampung melakukan pemeriksaan atas dokumen kontrak, back up data, shop drawing, as built drawing, laporan kemajuan pekerjaan, dan foto dokumentasi serta pengujian fisik secara uji petik bersama PPK, penyedia jasa konstruksi, serta konsultan pengawas.
Mau tahu apa saja enam proyek di Disdikbud yang senyatanya telah merugikan keuangan daerah setidaknya Rp 227.925.611,68 itu?
Ini rinciannya:
1. Pekerjaan konstruksi bidang SMA (Negeri) 2 Bandar Lampung Wilayah II (DAK Fisik 2024). Proyek senilai Rp 3.744.309.962 ini ditangani CV AA. Ditemukan kekurangan volume pekerjaan sebesar Rp 7.830.687,40.
2. Pekerjaan konstruksi bidang SMA (Negeri) 1 Gading Rejo, Pringsewu (DAK Fisik 2024). Proyek beranggaran Rp 1.590.975.028 yang dikerjakan CV AJ tersebut diketahui terdapat kekurangan volume sebesar Rp 18.131.990,44.
3. Pekerjaan konstruksi bidang SMA (Negeri) 1 Kota Agung, Tanggamus Wilayah 2 (DAK Fisik 2024). Proyek senilai Rp 2.603.170.289 yang ditangani CV PGM ini terdapat kekurangan volume sebesar Rp 22.717.058,18 dan ada ketidaksesuaian spesifikasi mencapai Rp 54.496.609,61.
4. Pekerjaan konstruksi bidang SMA (Negeri) 1 Pesisir Utara, Pesisir Barat (DAK Fisik 2024). Adalah CV SAM yang mengerjakan proyek beranggaran Rp 1.634.680.799 itu. Diketahui terdapat kekurangan volume pekerjaan sebesar Rp 22.792.291.
5. Pekerjaan konstruksi bidang SMK (Negeri) 7 Bandar Lampung (DAK Fisik 2024). Proyek dengan anggaran Rp 3.761.001.153 yang ditangani CV RPJ itu mengalami kekurangan volume sebesar Rp 49.044.924,53.
6. Pekerjaan konstruksi bidang SMK (Negeri) 1 Candipuro, Lampung Selatan (DAK Fisik 2024). CV DAP yang menangani proyek senilai Rp 2.230.012.073 itu. Hasilnya? Ada kekurangan volume sebesar Rp 8.072.628.888 dan ketidaksesuaian spesifikasi Rp 25.592.988.
Dari nilai “kebocoran” anggaran sebesar Rp 227.925.611,68 atas enam proyek di Disdikbud tersebut, empat penyedia jasa yaitu CV AA, CV AJ, CV SAM, dan CV DAP telah mengembalikan kelebihan pembayarannya secara total mencapai Rp 99.667.019,36 ke kas daerah. Sisanya sebanyak Rp 128.258.592,32 menjadi tanggung jawab CV PGM sebesar Rp 79.213.667,79 dan CV RPJ Rp 49.044.924,53. Hingga saat ini kedua rekanan OPD pimpinan Sulpakar itu belum mengembalikan kelebihan pembayarannya ke kas daerah.
Dan yang juga patut dicatat, hingga 31 Oktober 2024 lalu, dari 22 paket pekerjaan jalan tahun 2023 dan 2024 pada Dinas BMBK telah terjadi “kebocoran” anggaran sebesar Rp 6.626.078.675,20. Terdiri atas kekurangan volume Rp 2.570.557.505,21, dan ketidaksesuaian spesifikasi Rp 4.055.521.169,99.
Bila dijumlahkan dari sepenggal data –baru tujuh item- yang diungkap dalam LHP Kepatuhan Atas Belanja Daerah Tahun Anggaran 2024 pada Pemerintah Provinsi Lampung, Nomor: 47/LHP/XVIII.BLP/12/2024 tanggal 20 Desember 2024, setidaknya terdapat anggaran sebesar Rp 8.158.878.368,18 yang “bocor” dan hingga kini masih bertaburan.
Demikian besarnya nominal “kebocoran” anggaran tahun 2024 hanya dalam tujuh data temuan BPK yang diungkap ini, menurut pengamat politik pemerintahan dari PUSKAP Wilayah Lampung, Gunawan Handoko, hendaknya mendapat perhatian khusus dari RMD-Jihan seusai keduanya resmi menjabat Gubernur-Wagub Lampung.
“Dalam kondisi keuangan pemprov defisit berat saat ini, RMD sebagai Gubernur dan Jihan selaku Wagub hendaknya cermat-cermat mengevaluasi pimpinan OPD. Artinya, besarnya tunggakan pengembalian kelebihan pembayaran kepada pihak ketiga atau kelebihan gaji, harus menjadi salah satu faktor dalam evaluasi kinerja mereka,” kata Gunawan Handoko, Sabtu (25/1/2025) malam.
Menurut mantan birokrat Pemkot Bandar Lampung ini, RMD-Jihan harus berani mengambil pola kepemimpinan yang radikal.
Maksudnya? “Kalau dulu santer disebut-sebut yang mau mendapat jabatan harus memberikan sesuatu, sebaiknya kedepan polanya adalah yang ingin bertahan ditempatnya saat ini harus bisa mengembalikan semua kerugian keuangan daerah dalam waktu tertentu dan ditarget mampu mendapatkan program serta kucuran anggaran dari pemerintah pusat dalam waktu tertentu. Dengan pola tersebut, bila dilakukan secara konsisten, persoalan defisit anggaran yang semakin berat akan teratasi secara komprehensif,” urai politisi Partai Ummat ini.
Gunawan menambahkan, yang juga harus dicermati RMD-Jihan kedepan adalah OPD penangguk pendapatan asli daerah. Siapapun yang menempati posisi kepala OPD harus diminta membeberkan strateginya meningkatkan PAD dalam kurun waktu tertentu.
“Jika tidak memenuhi target, ya harus diganti. Beri kesempatan para ASN untuk bersaing dalam hal program meningkatkan PAD. Yang diyakini paling rasional dengan terobosan-terobosan program inovatif, beri dia kesempatan. Sudahi praktik menempatkan ASN dalam jabatan-jabatan strategis karena kedekatan. Sebab, kondisi keuangan Pemprov Lampung saat ini benar-benar sangat memprihatinkan. Hanya dengan hadirnya orang-orang berkompeten, memiliki dan mampu melaksanakan program secara rasional, serta tidak memiliki beban masa lalu dalam persoalan ‘kebocoran’ anggaran, pemerintahan RMD-Jihan kedepan akan survive. Sebaliknya, jika yang ditempatkan pada pos penangguk PAD atas dasar kedekatan dengan menafikkan kualitas atau kompetensinya, maka mengatasi defisit keuangan riil membutuhkan waktu yang relatif lebih lama,” lanjut Gunawan Handoko.
Mampukah RMD-Jihan dalam waktu singkat –setelah resmi menjabat Gubernur dan Wagub Lampung- mengembalikan miliaran uang pemprov yang “bocor” dan bertaburan tidak karuan selama ini? Biarlah waktu yang membuktikan. (habis)