DR Wendy Melfa |
INILAMPUNGCOM --- Kondisi keuangan Pemprov Lampung layak disebut paceklik –atau pailit- serius.
“Kondisi keuangan Pemprov Lampung yang saat ini bisa dibilang paceklik atau pailit, membuat Mirza-Jihan menghadapi pilihan sulit dalam mewujudkan program-program sebagaimana visi misinya,” kata pengamat hukum tata negara dan pemerintahan daerah, Dr. Wendy Melfa, Selasa (28/1/2025) pagi.
Mantan Bupati Lampung Selatan ini menilai, persoalan pendapatan daerah yang relatif masih sedikit, tingginya angka defisit keuangan riil, rendahnya dividen dari BUMD, dan tidak tertatanya pengelolaan dan penggunaan anggaran sehingga “terpaksa” memakai dana alokasi umum (DAU) untuk membiayai belanja yang tidak sesuai peruntukan.
Pada tahun 2023 lalu saja -- ada Rp 105.222.701.726,98 merupakan pekerjaan rumah tersendiri bagi Mirza-Jihan untuk mengurainya satu persatu sebelum melancarkan program-program prorakyat.
“Adanya fakta bahwa pada 31 Desember 2022 neraca utang Pemprov Lampung pada angka Rp 949,1 miliar dengan posisi kas daerah Rp 292,7 miliar, dan neraca utang per 31 Desember 2023 sebanyak Rp 1.534,2 miliar dengan kas daerah hanya Rp 125,1 miliar, merupakan kenyataan yang tidak bisa dianggap sepele,” kata Wendy Melfa menerangkan.
Dikatakan, pendapatan daerah dalam dua tahun terakhir juga terus mengalami penurunan. Dimana pada tahun 2021 dari anggaran Rp 7.538.150.777.809,50, realisasi pendapatan daerah Rp 7.469.346.029,05, tahun 2022 target diturunkan di posisi Rp 6.915.251.441.290,74, realisasinya Rp 6.836.946.972.193,71, dan pada tahun 2023 dianggarkan Rp 8.093.971.284.382,17, realisasinya Rp 6.987.319.981.739,03. Sedangkan tahun 2024 kemarin, pendapatan daerah berkisar pada angka Rp 7 triliunan.
“Masih rendahnya pendapatan daerah ini tentu menjadi persoalan tersendiri. Apalagi dengan telah berlakunya opsen pada PKB, BBNKB, pajak MBLB, PBBKB, dan PAP, dipastikan akan sangat berpengaruh pada PAD yang selama ini tidak pernah mencapai angka Rp 4 triliun,” imbuh akademisi Universitas Bandar Lampung (UBL) ini.
Mengenai defisit keuangan riil di Pemprov Lampung yang meningkat pesat pada tahun anggaran 2023, menurut Wendy Melfa, akan berimbas pada besaran defisit di tahun-tahun berikutnya bila tidak ditangani secara tersistem.
“Defisit keuangan riil di tahun 2022 sebesar Rp 548.710.195.978,42 saja sudah cukup tinggi, ditambah pada tahun anggaran 2023 menjadi Rp 1.408.450.654.898,52, atau mengalami kenaikan Rp 859.740.458.920,20 (157%), dan di tahun 2024 juga tidak jauh beda angkanya, tentu merupakan masalah serius yang perlu penanganan sejak dini,” ucapnya.
Sedangkan dividen dari BUMD baru pada tahun 2024 kemarin mengalami peningkatan. Hal ini pun memerlukan kemasan yang baik. Jangan sampai kembali menurun. Pasalnya, pada tahun 2021 silam, dari yang dianggarkan Rp 225.327.175.290,14 realisasi dividen BUMD hanya Rp 33.335.927.752,08 atau 14,79% saja.
Pada tahun 2022 dividen BUMD dianggarkan Rp 307.388.042.356,74, lanjut Wendy Melfa, realisasinya Rp 45.568.658.794,74 atau 14,82%. Dan di 2023 dianggarkan sebanyak Rp 496.138.511.099,39, yang tercapai hanya Rp 51.110.035.229,39 atau 10,30%.
Kondisi keuangan Pemprov Lampung yang paceklik ini, menurutnya, membuat Mirza-Jihan menghadapi pilihan yang sulit.
“Sebenarnya, semua sektor patut mendapat porsi perhatian, cuma kan anggarannya terbatas betul. Ekonomi lagi melemah. Ini menjadi circle problem buat Mirza-Jihan, mau pilih yang mana dulu. Mau benahi ini dan itu, anggarannya terbatas, karena pemprov memang lagi paceklik atau pailit,” lanjut tokoh senior Partai Golkar Lampung ini.
Mantan Sekretaris DPD KNPI Lampung ini menilai, diantara pilihan sulit itu, yang paling realistis dilakukan oleh Mirza-Jihan adalah menyentuh hal yang bisa mendorong pertumbuhan ekonomi melalui iklim investasi yang kondusif dan sehat. Juga meningkatkan daya beli masyarakat.
“Ya memang harus cermat, tepat, dan cepat kebijakan yang mesti diambil Mirza-Jihan ditengah keterbatasan anggaran saat ini,” kata Wendy Melfa seraya menyarankan Gubernur-Wagub Lampung periode 2025-2030 itu untuk selalu transparan terkait dengan kondisi keuangan pemprov, sehingga masyarakat juga memahami bila masih belum bisa terwujud apa yang menjadi visi misi keduanya saat kampanye lalu.
Sebelumnya, Ketua Partai Perindo Provinsi Lampung, Gunawan Hamid Rahmatullah, SH, MH, menyatakan prioritas program yang disampaikan Mirza- Jihan adalah membenahi infrastruktur, sebagai pilihan yang tepat.
“Kita harus mendukung program prioritas Mirza-Jihan meningkatkan pembangunan infrastruktur jalan di Provinsi Lampung. Dan kami minta, Gubernur-Wagub kedepan harus berkonsentrasi pada pemenuhan mandatory spending urusan infrastruktur ini, karena faktanya dari tahun ke tahun justru anggaran untuk infrastruktur terus menurun,” kata Gunawan Hamid, Senin (27/1/2025) malam.
Dijelaskan, sesuai dengan UU Nomor: 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah dinyatakan bahwa alokasi belanja infrastruktur pelayanan publik paling rendah 40% dari total belanja APBD diluar belanja bagi hasil dan/atau transfer kepada daerah dan/atau desa.
Fakta yang terjadi, pada APBD tahun 2022 silam, jumlah belanja daerah dikurangi belanja bagi hasil dan/atau transfer kepada daerah dan/atau desa sebesar Rp 5.744.310.844.123,37 yang digunakan untuk belanja infrastruktur daerah oleh Pemprov Lampung hanya Rp 1.900.840.430.112,44 atau 33,09%.
Pada tahun anggaran 2023, lanjut Gunawan Hamid, dari anggaran belanja APBD Lampung sebesar Rp 6.609.850.896.522,09 setelah dikurangi belanja bagi hasil dan/atau transfer ke daerah dan/atau desa, yang digunakan untuk belanja infrastruktur daerah Rp 1.863.913.737.719,01 atau 28%.
Dan pada APBD TA 2024, jumlah belanja daerah dikurangi belanja bagi hasil dan/atau transfer ke daerah dan/atau desa senilai Rp 6.580.095.836.237,79, yang digunakan untuk belanja infrastruktur daerah hanya Rp 1.530.079.374.042,00 atau 23,25% saja.
“Adanya trend penurunan belanja infrastruktur daerah selama tiga tahun anggaran berturut-turut ini harus dievaluasi dengan serius oleh Gubernur-Wagub Lampung mendatang. Beruntung, UU Nomor: 1 Tahun 2022 memberikan waktu lima tahun, atau sampai tahun 2027 nanti, seluruh pemerintah daerah baru wajib memenuhi mandatory spending urusan infrastruktur sekurang-kurangnya 40%, sehingga masih ada dua tahun anggaran yang bisa dikemas untuk memenuhi ketentuan perundang-undangan tersebut,” urai Ketua Partai Perindo Lampung berlatarbelakang praktisi hukum ini.
Mengapa politisi low profile ini meminta Mirza-Jihan berkonsentrasi memenuhi mandatory spending urusan infrastruktur? “Kita tahu, mandatory spending dalam tata keuangan negara merupakan belanja atau pengeluaran negara yang sudah diatur oleh undang-undang. Tujuan mandatory spending juga jelas, yaitu untuk mengurangi masalah ketimpangan sosial dan ekonomi daerah. Itu sebabnya, prioritas RMD-Jihan mengenai perbaikan infrastruktur sudah tepat dan harus sama-sama kita dukung. Namun, tetap harus berkonsentrasi memenuhi mandatory spending minimal 40% pada 2027 karena ini perintah undang-undang,” tuturnya.
Gunawan Hamid berharap, Mirza-Jihan dapat memenuhi mandatory spending sesuai ketentuan perundang-undangan dalam kepemimpinannya. Dan harus mengevaluai kesungguhan jajaran terkait untuk mewujudkannya.
“Sebab, sampai penetapan APBD tahun 2024 kemarin, TAPD belum menetapkan kebijakan terkait upaya untuk memenuhi mandatory spending urusan infrastruktur ini secara bertahap. Karenanya tidak perlu heran jika dalam tiga tahun anggaran terakhir, besaran belanja bidang infrastruktur terus turun. Bisa jadi, pimpinan OPD-nya juga tidak paham adanya ketentuan memenuhi mandatory spending paling rendah 40% dengan batas waktu maksimal pada tahun 2027 nanti,” ujar Gunawan Hamid. (fjr)