Mereka Yang Mulai Teriak Merdeka (6)
Oleh Denny JA
Di tahun 1912, tiga tokoh membentuk partai politik pertama: Partai Hindia. Walau berumur pendek, api partai ini terus menjalar. (1)
-000-
“Mereka yang haus keadilan,
datang dari arah yang tak satu.
Jawa, Tionghoa, Indo,
semua tertindas di bawah bendera yang salah.”
“Di ladang-ladang tebu yang membakar tubuh,
di tambang-tambang yang memakan nyawa,
tak ada yang bertanya:
agama apa yang kau sembah?
suku mana yang kau bawa?”
“Kita semua adalah kaki yang terluka
dari perjalanan yang sama.
Budi Utomo hanya untuk Priyayi Jawa.
Serikat Islam hanya untuk Muslim.
Tapi Hindia yang tertindas
adalah kita semua.”
“Kita perlu bangun sebuah nyala:
Partai Hindia (2).
untuk semua yang bernapas
di tanah yang sama.”
Tepuk tangan membuncah.
Petani, buruh, kaum terpelajar,
Pribumi, Tionghoa, orang Arab,
histeris bersorak.
Aku ada di sana,
menjadi saksi,
kobaran api yang dinyalakan
Tiga serangkai:
Douwes Dekker, Tjipto Mangunkusumo, Ki Hajar Dewantara.
Hatiku ikut melonjak,
terbang menjadi burung yang bebas di udara,
setelah terkurung seabad lamanya.
Untuk pertama kalinya,
Tumbuh pohon untuk semua,
tak hanya untuk Jawa,
tak hanya untuk Muslim.
Dari pekik buruh di pabrik-pabrik,
hingga bisik nelayan di pinggir pantai,
nama Partai Hindia menyala di setiap hati yang lelah.
Ia besar,
karena ia tak bertanya siapa kamu,
melainkan: apa yang bisa kita perjuangkan bersama?
Di Indonesia yang beragam,
ia adalah api yang menyatukan abu.
Bumi Indonesia,
luka yang terbuka,
mengerang tanpa suara,
di bawah kaki penjajah.
Kini menemukan jalan:
Partai Hindia!
-000-
Tapi, oh tapi,
usia partai ini seperti fajar yang terhenti,
sebelum sempat melahirkan pagi.
Belanda, dengan bayang-bayang ketakutannya,
menganggap cahaya ini terlalu terang.
Partai Hindia dilarang,
sebelum semangatnya mengakar.
Para pejuang mengetuk pintu kolonial,
protes,
berunding,
ingin meyakinkan,
bukan dengan suara yang memohon,
tapi dengan gemuruh penderitaan ribuan jiwa.
Namun Belanda selalu berkata: Tidak!
Kucari tahu, di balik tirai istana,
mengapa nyala Hindia tak pernah diakui?
Jawabnya: “Partai kalian terlalu panas.
Sedangkan istana kami dibuat dengan jerami.”
-000-
Tiga serangkai pun diasingkan ke Belanda.
Mereka dicabut dari tanah leluhur,
terapung di lautan menuju pengasingan: Negeri Belanda.
"Di negeri asing, sunyi lebih tajam dari salju,
meretakkan tulang-tulang yang merindukan tanah air.
Namun, pena tiga tokoh menari dalam kelam,
mengukir mimpi dengan tinta kepedihan,
agar fajar tak pernah padam."
Dekker menulis dengan hati menggigil:
“Jika ini akhirku, biarlah Indonesia membaca namaku di bintang-bintang.”
Tjipto menggenggam kitab suci di tangannya:
“Apakah Tuhan mendengar suara yang tercekik di lautan asing?”
Ki Hajar memejamkan mata,
mendengar suara anak-anaknya memanggil dari kejauhan:
“Kelak mereka akan tahu,
Ayah mereka di sini untuk kemenangan yang lebih besar.”
Mereka menyadari.
kesedihan ini milik pejuang.
Hadir.
Selalu.
“Apakah mimpi ini terlalu besar?”
Tanya Tjipto.
Ki Hajar menjawab, dengan suara getir:
“Mungkin. Tapi mimpi besar,
adalah satu-satunya yang layak diperjuangkan.”
-000-
Ketika Partai Hindia gugur di usia muda,
roda dunia terus berputar,
seolah tak peduli.
Tapi partai itu hanya mati di atas kertas.
Gelora merdeka tak pernah diukur dengan dokumen.
Spiritnya berhembus seperti angin malam,
tak terlihat, tapi terasa,
merasuk dalam.
Ia berpindah dari hati ke hati,
memantik nyala yang lebih besar.
Jauh lebih besar.
Meski namanya dilupakan penjajah,
Partai Hindia adalah seruling sunyi.
Ia terus berbunyi dalam diam.
Hari ini, satu abad lebih berlalu.
Partai Hindia tinggal nama dalam buku sejarah.
Tapi spirit partai ini mengajari kita:
Mimpi yang benar,
walau dipaksa hilang,
akarnya tetap hidup.***
Jakarta, 25 Januari 2025
CATATAN
(1) Puisi esai ini dramatisasi lahirnya partai politik pertama di Indonesia, Partai Hindia
https://www.cnnindonesia.com/edukasi/20231005094705-569-1007365/indische-partij-latar-belakang-pendiri-tujuan-akhir-perjuangan/amp
(2) Hindia adalah istilah yang digunakan pada masa kolonial untuk merujuk kepada wilayah yang sekarang dikenal sebagai Indonesia. Istilah ini berasal dari bahasa Belanda Indië, yang merupakan bentuk adaptasi dari kata India, yang dahulu digunakan oleh bangsa Eropa untuk menyebut seluruh wilayah di Asia Selatan dan Asia Tenggara.