Cari Berita

Breaking News

Jika Buku Gratis, Buat Apa Menulis?

Dibaca : 0
 
Sabtu, 04 Januari 2025


Oleh Elza Peldi Taher

Denny JA hari ini berusia 62 tahun. Makin berumur makin produktif. Tiap hari menulis dan mengirimkannya ke berbagai media sosial. Tulisannya mencerahkan karena selalu disertai riset data mutakhir.  Belakangan  Denny JA  juga makin  rajin membagikan buku karyanya  dalam format PDF  kepada publik secara luas secara gratis. 

Terakhir ia membagikan karyanya “ Mereka Yang terbuang Di Tahun 60-an”. Buku ini, mengangkat sejarah kelam tahun 60-an tentang diskriminasi terhadap sejumlah orang di Indonesia. Menulis buku ini memerlukan waktu, tenaga dan pikiran,  memerlukan  riset, minimal riset perpustakaan, terutama karena topiknya berkaitan dengan peristiwa sejarah yang kompleks. Apalagi, dalam buku puisi esai tersebut terdapat catatan kaki yang menambah kedalaman dan validitas informasi yang disajikan.

Sebelumnya, Satupena juga meluncurkan buku terbarunya yang luar biasa tebal, lebih dari 1000 halaman. Buku berjudul “ Suara Penulis Soal Pemilu dan Demokrasi 2024”, sesuai  kebijakan yang diterapkan oleh Denny JA sebagai ketua Umum Satupena, juga disebarkan dalam format PDF secara gratis, sehingga siapa saja bisa membacanya tanpa biaya. Padahal buku ini  mendapat penghargaan dari MURI karena rekor jumlah penulisnya 221 orang. Buku penting ini  membahas secara mendalam peristiwa politik sepanjang tahun 2024, khususnya mengenai demokrasi, pemilu, dan dampaknya bagi Indonesia. Tentu saja, para pecinta buku merasa senang karena dapat menikmati karya berharga ini tanpa harus mengeluarkan uang sepeser pun, cukup dengan membuka ponsel mereka.

Membanjirnya buku digital yang bisa dibaca secara cuma cuma,  muncul pertanyaan mendalam: untuk apa menulis? Jika tulisan-tulisan yang dibuat denggan kerja keras, memerlukan waktu yang lama, bisa dibaca publik secara cuma-cuma, tanpa sepeser pun imbalan materi bagi penulisnya. Apa yang tersisa bagi sang pengarang selain rasa lelah dan waktu yang hilang?  Buku, yang dulu bisa membuat seorang penulis menjadi kaya raya, kini   menjadi barang gratisan di dunia maya.

Buat penulis  seperti Denny JA, itu mungkin tak masalah, karena ia sudah berkecukupan secara materi. Tapi bagaimana dengan penulis lain yang selama ini mengggantungkan hidupnya dari menulis ? Bagaimana mereka bisa bertahan hidup jika karya mereka tidak lagi menghasilkan materi Untuk apa menulis  jika tak mendapatkan imbalan dalam bentuk  materi? Untuk apa menulis? 

#####

Kini telah datang  era ketika karya penulis dapat dengan mudah tersebar secara gratis melalui format digital seperti PDF atau platform online lainnya, termasuk bajakan, yang membuatnya dapat diakses oleh publik secara luas. Hal ini menyebabkan pencetakan dan penjualan buku menjadi semakin sulit, karena begitu sebuah buku terdistribusi secara digital, buku tersebut langsung bisa dinikmati oleh banyak orang tanpa biaya, berkat kemajuan teknologi digital. Dampaknya akan terasa kepada penulis yang berharap karyanya dihargai secara materi.

Pemerintah atau lembaga yang peduli terhadap dunia kepenulisan, seperti Satupena, sebenarnya dapat  membantu penulis menerbitkan karya-karya mereka. Setiap buku yang diterbitkan akan melalui proses seleksi, di mana hanya karya yang dianggap layak dan berkualitas yang akan diterbitkan. Dengan dukungan lembaga seperti Satupena, penulis dapat memperoleh imbalan materi yang pantas atas karya mereka, meskipun karya tersebut kemudian beredar secara gratis di publik. Hal ini memastikan bahwa penulis tetap mendapatkan penghargaan yang sesuai, sementara karya mereka tetap dapat dinikmati oleh masyarakat luas tanpa hambatan.

Tapi saya merasa pesimis bahwa ide ini akan berjalan dengan baik, mengingat perhatian pemerintah yang cenderung terfokus pada urusan politik, sementara  filantropi yang mendukung dunia literasi masih sangat terbatas. Banyak pihak yang belum sepenuhnya menyadari pentingnya buku sebagai sarana untuk membangun peradaban. Peradaban itu sendiri tercipta oleh individu yang memiliki waktu dan kesempatan untuk menulis, terutama dalam bentuk buku. Penulis perlu mendapat dukungan agar mereka bisa menghasilkan karya-karya yang berpotensi mengubah peradaban. Buku-buku karya Karl Marx, hingga kini masih memengaruhi banyak orang di seluruh dunia, juga  karya-karya Mahatma Gandhi, Bunda Teresa, dan sejumlah penulis besar lainnya yang telah memberikan kontribusi signifikan dalam membentuk sejarah dan peradaban manusia.

Kembali ke inti masalah, meskipun karya kita dibaca oleh banyak orang, jika tidak ada imbalan materi yang sebanding, untuk apa kita menulis? Menulis ibarat menanam benih dalam tanah yang gersang—tanpa nutrisi yang memadai, benih itu sulit tumbuh menjadi pohon yang bermanfaat. Penulis, sebagai penjaga cahaya peradaban, seharusnya mendapatkan penghargaan yang layak agar mereka terus mampu menyalakan api kreativitas dan memberikan dampak positif bagi masyarakat. Tanpa imbalan yang pantas, semangat untuk menulis bisa meredup, seperti api yang kekurangan kayu bakar.***


Pondok Cabe Udik 4 januari 2025

Elza Peldi Taher adalah penulis dan Ketua Koord. Kreatif Era AI dan aggota Penulis Satupena

LIPSUS