Cari Berita

Breaking News

Denny JA Terbitkan 3 Buku Puisi Esai dan 1 Buku Non-Fiksi

Dibaca : 0
 
Kamis, 16 Januari 2025

INILAMPUNG.COM, Jakarta – Memasuki 2025, Komunitas Puisi Esai difasilitasi Denny JA Foundation menerbitkan tiga buku puisi esai karya Ahmadie Thaha, Isbedy Stiawan ZS, dan sebuah buku non-fiksi soal puisi esai karya Reiner Emyot.


Hal itu dikatakan Denny JA, penggagas puisi esai, dihubungi melalui WA, Rabu 15 Januari 2025.


Denny JA mengatakan, ketiga buku puisi esai itu adalah Terowongan Iman karya Ahmadie Thaha, Elegi Galian Tambang karya Isbedy Stiawan ZS, Mereka Yang Tersingkir di Negerinya Sendiri (Ahmad Gaus).


Menurut Denny JA, penerbitan buku puisi esai dan non-fiksi soal esai ini merupakan kepedulian Komunitas Puisi Esai dan Denny JA Foundation sekaligus sumbangsih bagi dunia literasi, khususnya pada sastra Indonesia.


“Keempat buku tersebut akan menjadi menambah literasi bagi  sastra Indonesia,” kata dia.


Selain itu, tutur Ketua Umum Satupena Denny JA, membuktikan puisi esai masih diproduksi dan bahkan semakin berkembang. Komunitas ini telah dua kali menggelar Festival Puisi Esai Jakarta tahun 2023 dan 2024. 


“Menerbitkan buku puisi esai karya para adik asuh dan kakak asuh

dari Sabang hingga Merauke,” imbuh konsultan politik dari LSI Denny JA.


Terpisah, Isbedy Stiawan ZS menjelaskan buku puisi esai karyanya ditulis pada 2024-2025. Puisi esai dalam bukunya itu bertema dampak dari galian tambang, baik lingkungan hidup maupun sosial dan lainnya.


Ia juga berterima kasih pada Denny JA penggagas puisi esai dan Denny JA Foundation memfasilitasi penerbitan ini. Meski berbentuk PDF. 


“Saya berharap dengan menghimpun 12 puisi esai saya ini, masalah sosial, kritik, dan peristiwa yang diakibatkan dari galian tambang bisa dibaca dan dimaknai arif oleh banyak orang,” katanya.


Ia juga mengusulkan kepada Komunitas Puisi Esai, ketiga buku puisi esai ini dapat dibahas di beberapa daerah. “Usul saya sih ketiga buku kami dikenalkan dan dibahas. Boleh dinamakan programnya, Roadshow,” ujar Isbedy.


Usulan sastrawan Lampung itu, tampaknya disepakati Ahmad Gaus. Melalui WA ke Isbedy, Gaus sangat setuju Roadshow Puisi Esai ke beberapa provinsi.


Catatan Denny JA 


Denny JA memberikan catatan pembuka untuk ketiga buku puisi esai tersebut.


Mereka Yang Tersingkir di Negerinya Sendiri (Ahmad Gaus).

Kumpulan 15 puisi esai Ahmad Gaus ini mungkin yang pertama di dunia, yang mengolah hasil riset diskriminasi atas agama leluhur di Indonesia, dan diekspresikan dalam satu buku khusus puisi.

Puisi esai berjudul “Pelangi di Mata Irena” karya Ahmad Gaus mengisahkan pengalaman Irena, seorang anggota suku Nuaulu di Pulau Seram.

Ia terpaksa mencantumkan agama lain di KTP-nya demi melanjutkan pendidikan. Puisi ini menyoroti diskriminasi yang dialami oleh penganut kepercayaan leluhur yang tidak diakui secara resmi.



Elegi Galian Tambang (Isbedy Stiawan ZS)


Lain lagi dengan puisi esai: “Air Mata Duka di Lumbung Batubara.” Puisi ini adalah elegi terhadap ketidakadilan dan pengorbanan seorang guru, Ansah, yang berjuang melawan keserakahan pengusaha tambang batubara.


Ansah menjadi simbol perjuangan rakyat kecil yang terpinggirkan oleh kekuasaan dan kapitalisme. Pesan utamanya adalah pentingnya keberanian melawan kesewenang-wenangan demi keadilan sosial, meskipun perjuangan tersebut dapat berujung tragis.


“Langit jadi kelam

para bodyguard kepal tangan

hari itu 9 Februari 2004, suaminya dibantai.”


Terowongan Iman (Ahmadie Thaha)


Dalam puisi esa “Ibu Menangis, Anak Pindah Agama”, Ahmadie Thaha menggambarkan  sisi emosi seorang ibu yang bergulat dengan dilema batin. Perang berkecamuk antara kesetiaannya pada iman dan cinta tanpa syarat kepada anaknya.

Puisi  esai ini menghadirkan emosi yang mendalam. Bukan hanya tentang kehilangan atau konflik, tetapi tentang penerimaan karena cinta.

Sang ibu memahami bahwa cinta kepada anaknya tidak membutuhkan kesamaan keyakinan. Justru, ia menemukan dimensi baru dalam hubungannya dengan Tuhan melalui perjalanan spiritual anaknya.

“la memilih percaya, cinta seorang ibu akan selalu menjadi jembatan, meskipun mereka berbeda haluan.

“Laut mungkin tak lagi tenang, tapi sang ibu tahu, hatinya telah menjadi dermaga penuh karang.”

“Lautnya boleh bergelora, tapi pelabuhan cinta seorang ibu tak pernah goyah.”

Puisi esai  ini adalah salah satu dari 15 karya Ahmadie Thaha dalam buku Terowongan Iman. Buku ini membahas bagaimana cinta dan iman sering kali bertemu pada persimpangan yang sulit.(bd/inilampung)







LIPSUS