Cari Berita

Breaking News

Catatan Pembuka: Taman dan Sungai di Dunia Puisi Isbedy Stiawan ZS

Dibaca : 0
 
Rabu, 01 Januari 2025

 
Oleh Denny JA

Mengapa Taman dan Sungai acapkali hadir dalam puisi yang reflektif? Renungan ini yang datang ketika saya membaca kumpulan puisi Isbedy Stiawan ZS, yang mengambil dua tema besar: Taman dan Sungai.

Taman dan sungai dalam tradisi puisi dunia mewakili dualitas kehidupan manusia. Taman adalah tempat keteraturan, keindahan, dan pengharapan. Ia melambangkan surga duniawi, ruang intim tempat manusia merenungkan hubungan dengan yang ilahi, cinta, dan alam. 

Sementara itu, sungai adalah metafora perjalanan hidup, waktu yang mengalir tanpa henti, serta transformasi. Sungai menggambarkan dinamika hidup yang penuh arus, membawa harapan, kehilangan, dan kelahiran kembali.

Dalam puisi, taman seringkali menjadi tempat pelarian dari kekacauan dunia, merefleksikan keindahan yang bersifat sementara. 

Taman bukan sekadar tempat fisik; ia adalah ruang spiritual yang menjanjikan kedamaian di tengah badai kehidupan. 

Sebaliknya, sungai adalah pengingat akan ketidakkekalan, bahwa setiap arus membawa kita lebih jauh dari awal, menuju akhir yang tak terelakkan. 

Kombinasi keduanya menawarkan keseimbangan: ketenangan taman dan pergerakan sungai mencerminkan dualitas hidup manusia—kedamaian dan perubahan.

-000-

Isbedy Stiawan ZS usai jadi moderator disambut Denny JA/dok. Festival Puisi Esai Jakarta 2 di PDS HB Jassin, 14 Desember 2024

Contoh yang menonjol adalah puisi “Kuburan di Taman” karya Walt Whitman. Dalam puisi ini, taman menjadi simbol kehidupan yang berlanjut meski kematian hadir. 

Whitman menulis:

“Taman ini di atas tubuhmu yang tenang;
Mereka tumbuh, mereka hidup, dan dari kematian, kehidupan muncul.”

Pesan dari puisi ini adalah bahwa taman, meski dibangun di atas kematian, menjadi tempat regenerasi. Ia mengajarkan bahwa hidup dan mati bukanlah akhir, melainkan siklus yang saling melengkapi. 

Taman adalah representasi dari harapan di tengah kefanaan.

Sungai mendapat perwujudan puitis yang luar biasa dalam puisi “The Negro Speaks of Rivers” karya Langston Hughes. Ia menulis:

“I’ve known rivers:
Ancient, dusky rivers.
My soul has grown deep like the rivers.”

(Aku telah mengenal sungai-sungai:
Sungai kuno, temaram dalam keabadian.
Jiwaku telah tumbuh sedalam sungai-sungai itu.)

Hughes menggunakan sungai sebagai simbol sejarah, identitas, dan kebijaksanaan yang diwariskan melalui generasi. 

Sungai menjadi saksi bisu perjalanan panjang manusia, dari penderitaan hingga kebangkitan. Pesannya adalah bagaimana sungai mewakili sejarah kolektif yang dalam dan tak terhapuskan, sebuah pengingat bahwa kita adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar dari diri kita sendiri.

-000-

Mengapa Taman dan Sungai Beresonansi?

Puisi sering kali lahir dari refleksi mendalam terhadap hidup, dan taman serta sungai memberikan medium alami untuk ekspresi ini. 

Keduanya adalah fenomena universal yang dapat dirasakan dan dipahami di seluruh budaya. Dalam taman, manusia menemukan harmoni; dalam sungai, manusia menerima ketidakpastian.

Taman menawarkan simbol keabadian dalam keteraturan—mengingatkan kita pada surga yang dijanjikan. Sungai, sebaliknya, menyoroti pergerakan waktu, bahwa perubahan adalah satu-satunya hal yang pasti. 

Dalam keduanya, puisi menemukan ruang untuk mengolah kompleksitas hidup dengan cara yang sederhana namun abadi. 

Itulah sebabnya, taman dan sungai akan selalu hidup dalam puisi, menawarkan pelipur lara dan kebenaran kepada manusia di sepanjang zaman.

-000-

Karya Isbedy Stiawan ZS ini adalah kitab puisi yang membagi pengalaman manusia melalui dua elemen: taman dan sungai. 

Buku ini adalah perjalanan imajinatif dan reflektif, menggali cinta, kehilangan, sejarah, serta kenangan yang mengalir seperti sungai dan berakar dalam taman. 

Dalam setiap puisinya, Isbedy memadukan keindahan lanskap alam dengan renungan personal yang mendalam. Sebagai Paus Sastra Lampung, ia menghadirkan suara lirih namun kuat, yang memeluk sejarah, melawan lupa, dan merawat harapan.

Dalam puisi “Taman Sari”, 
taman dilukiskan sebagai metafora untuk cinta dan surga yang melindungi dari keringnya dunia luar.

Kubawa kau ke sini, tiga kolam tersedia,
boleh kau pilih: bawah, ataupun di atas.

Undakan itu untukmu melangkah,
para dayang tak lelah melayani, tangan gemulai dan cekatan.

Bait ini menggambarkan taman sebagai tempat perlindungan dan harmoni, dengan kolam sebagai simbol pilihan hidup yang menyegarkan.

Dan dayang-dayang mewakili keseimbangan serta cinta yang penuh perhatian. Puisi ini selaras dengan metafora taman sebagai oasis cinta dan keindahan di tengah dunia yang melelahkan.

Taman Sari dalam puisi ini bukan hanya tempat fisik, melainkan ruang intim untuk melindungi cinta dari panas dan hiruk-pikuk. 

Kolam menjadi simbol pilihan, dayang-dayang mewakili harmoni, dan bisikan kasih menjadi pelipur hati di tengah dunia yang lelah. 

Puisi ini mengingatkan bahwa meski hidup fana, cinta mampu menciptakan oasis abadi.

Dalam puisi “Way Arum Selalu Begitu”, membawa pesan keberulangan hidup, seperti arus sungai. Ia menciptakan kenangan yang mengundang pulang.

Way Arum selalu begitu, mengundang
orang datang kemudian dibiarkan pulang,
dibawanya kenangan, atau sekadar ciuman
aroma deras air. 

Bait ini menggambarkan sungai sebagai simbol keberulangan hidup, arusnya mengalir membawa kenangan dan pengalaman yang tak pernah benar-benar hilang. 

Pesan ini mengingatkan bahwa meski kehidupan terus bergerak, jejak-jejaknya tetap ada, mengundang kita untuk merenungi asal dan perjalanan kita.

Sungai Way Arum menjadi saksi perjalanan manusia. Meski arusnya membawa orang pergi, ia tetap menyimpan jejak cerita. 

Ini adalah meditasi tentang waktu, bagaimana setiap pengalaman berulang menjadi fragmen kisah yang melukiskan hubungan manusia dengan alam. Ada pesan mendalam untuk kembali menghargai akar dan asal.

Dalam puisi, “Seperti Cinta Kita kepada Ibu,” Cinta kepada ibu adalah kenangan yang terus hidup meski waktu berlalu.Puisi ini merangkum cinta yang tak lekang oleh zaman. 

Seperti cinta kita kepada ibu,
kepada seluruh puak yang hidup
maupun sudah tiada,
tak lekang oleh tugu, seruit,
dan cuit riuh orang-orangnya.

Bait ini menggambarkan cinta kepada ibu sebagai warisan yang melekat dalam budaya dan kenangan, melampaui batas waktu. 

Ibu adalah penjaga nilai-nilai, tempat semua puak bersandar, menjadi simbol cinta abadi yang tak pernah pudar meski zaman terus berubah.

Kota, tugu, dan simbol masa lalu adalah kenangan kolektif yang diwariskan. Ini panggilan untuk mengingat ibu sebagai penjaga budaya, penjaga identitas, dan penjaga kasih yang abadi. Seperti cinta seorang ibu, kenangan menjadi kekuatan untuk melanjutkan hidup.

Kitab puisi Isbedy Stiawan ZS ini membantu kita istirah, untuk jeda sejenak dari rutinitas kehidupan, dan merenungkan hal- hal esensial dalam hidup.

“Kitab puisi ini seperti taman yang sunyi, di mana kita diajak duduk, merenung, dan menghidupkan kembali percakapan dengan jiwa.”****

Jakarta 1 Januari 2025

LIPSUS