INILAMPUNGCOM --- Keputusan MK No 62 tentang dihapuskanya Presidential Threshold 20 persen, masih menjadi polemik para politisi senayan.
Wakil Ketua DPR RI, Adies Kadir mengatakan perubahan nilai ambang batas parlemen atau Parliamentary Threshold 4 persen, bukan sesuatu yang perlu dirisaukan.
Terlebih lagi, lanjut Adies Kadir, partai partai senior (termasuk Golkar) sudah punya pengalaman menghadapi situasi politik dari beberapa pemilu.
"Golkar ini kan selalu siap dengan segala cuaca. Jadi, mau cuaca suhu apa ya kita siap,” kata Adies Kadir ditanya sikapnya selaku Wakil Ketua Umum DPP Golkar di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin 13 Januari 2025.
Namun begitu, dia enggan berspekulasi mengenai kemungkinan putusan MK terkait penghapusan PT 20 persen tersebut akan dimasukkan dalam RUU Omnibus Law Politik.
Menurutnya, semua kemungkinan itu tergantung pada hasil pembahasan DPR dan pemerintah nanti. Sebab, DPR dan pemerintah akan menindaklanjuti putusan MK yang bersifat final dan mengikat tersebut.
“Ya itu nanti akan dibahas. Semua kemungkinan bisa terjadi", kata Adies Kadir
Adies Kadir yang juga Plt. Ketua Golkar Lampung itu berpendapat, putusan MK 62, menyangkut dengan pemilu legislatif, pilkada, dan juga pilpres.
"Nanti seperti apa akan dibuat rekayasa-rekayasa konstitusional, kita serahkan dari Komisi II dan para stakeholder terkait,” tandas Adies.
Ibarat Zikir 33 Kali
Menko Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra mengibaratkan, PT atau putusan MK 62
seperti zikir karena telah diuji sebanyak 33 kali di MK.
Peryataan Yusril Ihza disampaikan saat Muktamar VI Partai Bulan Bintang, di Denpasar, Bali, Senin 13, Januari 2024, kemarin.
Keberadaan parliamentary threshold membuka kesempatan bagi perkembangan demokrasi yang sehat. Dia tidak ingin suara pemilih banyak yang terbuang jika suatu partai gagal menempatkan wakilnya di Senayan karena terbentur ambang batas.
“Seperti pada pemilu tahun 2019, sebagai suatu contoh, itu parpol-parpol yang tidak memenuhi parliamentary threshold digabung, jumlahnya besar sekali. Oleh karena itu, suara rakyat banyak yang terbuang,” jelas Yusril.
Tentangi kekhawatiran gemuknya jumlah fraksi apabila ambang batas dihapuskan, pakar hukum tatanegara itu mengusulkan dibentuknya suatu fraksi gabungan (koalisi).
Tujuannya agar partai yang hanya punya sedikit perwakilan bisa tetap bergabung ke dalam parlemen.
“Lebih baik dibatasi jumlah fraksi di DPR. Jadi kalau partai itu kurang dari 10 persen, dia bisa membentuk suatu fraksi gabungan." Dia menegaskan.
Sebelumnya, MK terbitkan putusan perkara nomor 62/PUU-XXI/2023 yang mengabulkan pengujian Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Dengan putusan tersebut, ketentuan ambang batas pencalonan presiden dan calon wakil presiden resmi dihapus. (bi)