Cari Berita

Breaking News

FESTIVAL PUISI ESAI DAN KELAHIRAN ANGKATAN PUISI ESAI

Dibaca : 0
 
Selasa, 17 Desember 2024


Oleh Dr. Ipit Saefidier Dimyati, dosen teater ISBI Bandung


Tanggal 13 sampai 14 Desember yang lalu telah diselenggarakan Festival Puisi Esai di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Yassin. Dalam acara tersebut ada berbagai kegiatan yang signifikan dalam menandai perkembangan dan sejarah kehidupan sastra di Indonesia, bahkan mungkin juga di beberapa negeri jiran, seperti Malaysia dan Singapura. 


Ada tiga puluh tujuh buku yang terbit dan diluncurkan dalam acara tersebut. Buku-buku itu berisi karya puisi-puisi esai dari generasi Z, dan yang tampaknya sangat penting, empat buku tebal tentang munculnya angkatan baru, yakni Angkatan Puisi Esai.


Tiga buku berisi karya-karya puisi esai dari sejak awal terbit hingga yang terakhir sebelum peristiwa festival itu dilaksanakan. Buku keenpat tentang wacana di sekitar puisi esai yang ditulis dari berbagai kalangan, baik seniman, akademisi, dan juga pengamat sastra Indonesia. Yang terlibat secara langsung dalam penyusunan keempat buku tersebut adalah Agus R. Sarjono, Jamal D. Rahman, Ahmad Gaus AF, Irsyad Mohammad, Joni Ariadinata, Jonminofri Nazir, Berthold Damashauser, Mahwi Air Tawar, dan Ipit Saefidier Dimyati.


Hal menarik yang perlu disimak adalah alasan mengapa lahir Angkatan Puisi Esai. Puisi Esai, kalau dihitung dari terbitnya buku pertama karya Denny JA, “Atas Nama Cinta”, di tahun 2012 hingga sekarang (2024), masih terbilang muda, yakni 12 tahun. Apakah 12 tahun cukup untuk melahirkan sebuah angkatan?


Menurut Agus R. Sarjono, persoalan waktu dalam menentukan angkatan bersifat cair 2024: 5), artinya tidak bisa terlalu dijadikan sebagai patokan, karena bisa saja suatu angkatan lahir lebih pendek dari yang dipatok H.B Yassin, yakni 15 tahun, atau mungkin juga lebih panjang dari itu.


Namun jika kita mematok dari tahun 2000, yakni kemunculan angkatan terakhir kali yang diungkapkan Korrie Layun Rampan, maka tampaknya pantas bahwa di Indonesia semestinya sudah muncul angkatan yang baru. Lalu, mengapa pilihannya pada puisi esai? Bukankah puisi esai itu sebuah genre atau bentuk penciptaan puisi yang relatif baru, bukan tahun?


Berthold Damashauser, dalam sebuah perbincangan, mengatakan, justru penamaan angkatan dengan suatu genre yang muncul yang notabene menawarkan estetika relatif baru, hal yang tepat. Bila sebelumnya penentuan angkatan hanya berdasarkan kemunculan orang-orang yang baru dalam khasanah sastra, Angkatan Puisi Esai berlandaskan pada bentuk dengan pilihan tema (terutama) diskriminaai sosial, maka ia menjadi lintas generasi. 


Lagi pula, sebuah angkatan dipatok dengan  angka tahun dalam kesusastraan Indonesia begitu problematis, sebab angka-angka yang dipilihnya umumnya berdasarkan peristiwa politik, bukan kecenderungan estetika baru sebagai landasan pilihan menciptakan karya sastra.


Hal yang tampaknya perlu digaris bawahi yang terungkap dalam buku Angkatan Puisi Esai, bahwa puisi esai merupakan suatu gerakan, baik disadari maupun tidak sadari, yang melawan kecenderungan romatik yang lebih konsentraai terhadap bentuk. Di samping itu, puisi esai pun bisa dilihat sebagai perlawanan terhadap gerakan realisme yang berlandaskan mimetik, yang terlalu konsentrasi pada persoalan isi, sehingga karya puisi menjadi ‘kering’. 


Puisi esai berada di tengah-tengah, yakni: bentuk itu penting agar para pembaca bisa terhibur, tapi isi pun penting, sebab seni memang semestinya memiliki manfaat untuk masyarakat.*









LIPSUS