Cari Berita

Breaking News

Untuk Mereka yang Terbuang di Tahun 1960-an, Sebuah Pengantar

Dibaca : 0
 
Minggu, 06 Oktober 2024




Oleh Denny JA

“Aku menjadi perahu terdampar di pantai asing,
bertahan, tapi tak pernah benar-benar berlabuh.

Mereka memberiku atap untuk berlindung,
sejumput hak,
dan kehormatan yang dingin, seperti mantel yang melindungi tubuh,
namun tak pernah menghangatkan jiwa yang mulai rapuh.

Tapi lihatlah hatiku.
Ia tertinggal di antara sawah menguning di Wonosobo,
di bawah langit yang senantiasa berubah,
di tanah yang tak pernah benar-benar hilang dari ingatan.”

Cuplikan di atas diambil dari puisi esai berjudul “Dilema di Tanah Asing.” Ia mewakili perasaan banyak eksil, para pelajar Indonesia sejak tahun 1960-an, yang terpaksa terbuang ke luar negeri akibat dinamika politik di dekade itu. Ada yang terbuang ke Belanda, Perancis, Swedia, Jerman, dan sebagainya.

Puluhan tahun telah berlalu, namun sebagian besar dari mereka masih hidup dalam ketidakpastian, tak bisa pulang ke tanah air yang telah berubah.

Sementara mereka bertahan di negeri asing sebagai manula yang menikmati program kesejahteraan di Eropa Barat.

Namun, dilema yang mereka rasakan jauh lebih dalam daripada sekadar kesejahteraan fisik. Di masa tua mereka, usia delapan puluhan, eksil ini tetap terombang-ambing antara kerinduan akan tanah air dan keterasingan dalam lingkungan baru yang tak pernah benar-benar menerima mereka sebagai bagian dari dirinya. 

Dilema perasaan itu yang serentak terbayang setelah saya membaca berita. Pada tahun 2023, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD, mengumumkan. Sebanyak  134 eksil yang tersebar di luar negeri akan dinyatakan sebagai “bukan pengkhianat negara.” 

Mereka akan diakui sebagai orang-orang yang “tidak terlibat” dalam PKI dan tidak bersalah atas tuduhan yang selama ini melekat pada mereka. 

Langkah ini merupakan pengakuan yang sangat penting. Tetapi bagi mereka yang telah lama terasing, pertanyaan besar yang muncul adalah: Apakah pengakuan ini datang terlambat?

Eksil yang masih hidup kini berusia di atas 80 tahun. Mereka telah menghabiskan hidup dalam kerinduan yang tak tertahankan akan tanah air yang tidak bisa mereka kunjungi.

Sementara di sisi lain, mereka menghadapi ketidakpastian hidup di negeri asing. Mereka tidak pernah memiliki “sarang” yang pasti.

Negeri  yang mereka tempati tidak pernah benar-benar menyambut mereka sebagai bagian dari dirinya.

Saya tersentuh merekam suasana batin para eksil itu bukan untuk makalah akademik. Tapi itu untuk diekspresikan ke dalam sastra, melalui puisi esai. Kisah mereka layak menjadi renungan.


-000-

Tiga puluh enam tahun telah berlalu sejak jatuhnya Orde Baru pada 1998. Selama itu, reformasi politik telah mengubah wajah Indonesia. 

Namun, dalam hal rekonsiliasi dengan eksil 1960-an, tampaknya waktu tidak menyembuhkan semua luka. Mereka yang terusir dari tanah air oleh rezim Orde Baru—rezim yang mencabut kewarganegaraan mereka—belum sepenuhnya mendapat pengakuan atau hak-hak mereka dikembalikan.

Sejarah pengasingan eksil ini dimulai dari kejadian besar di tahun 1965, ketika pemerintahan Orde Baru menuding ribuan orang Indonesia yang berada di luar negeri, khususnya di negara-negara blok Timur, sebagai pengkhianat. 

Tuduhan yang dihubungkan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) langsung mencabut hak-hak dasar mereka sebagai warga negara. 

Namun, bagi banyak eksil, tuduhan itu tak pernah terbukti. Mereka adalah mahasiswa, diplomat, dan pekerja yang dikirim secara resmi oleh negara untuk menempuh pendidikan atau bertugas di luar negeri.

Meskipun kejatuhan Orde Baru di tahun 1998 membuka pintu bagi reformasi politik, rekonsiliasi antara pemerintah Indonesia dan eksil tetap terhalang. 

Di satu sisi, narasi resmi yang ditinggalkan oleh Orde Baru masih menstigma para eksil sebagai simpatisan komunis. Di sisi lain, eksil menolak stigma tersebut. 

Sebagian dari mereka adalah nasionalis yang setia kepada Bung Karno, yang saat itu masih menjadi simbol perlawanan terhadap kolonialisme dan neo-imperialisme. 

Mereka merasa dijadikan kambing hitam dalam pergolakan politik yang melibatkan perebutan kekuasaan antara Orde Baru dan Orde Lama.

Namun, kompleksitas sejarah ini tak sepenuhnya hanya soal persepsi. Ada faktor lain yang lebih mendalam. Pemerintah Indonesia, bahkan setelah reformasi, tetap kesulitan menyatukan dua kutub yang bertentangan dalam narasi politik. 

Meskipun penghapusan stigma sebagai pengkhianat negara diumumkan oleh Mahfud MD pada tahun 2023, eksil ini menuntut lebih dari sekadar rehabilitasi simbolis. 

Mereka menuntut pengakuan resmi dari pemerintah bahwa mereka adalah korban dari kebijakan represif, dan bahkan menuntut permintaan maaf atas pelanggaran hak asasi manusia yang mereka alami.

Pengalaman ini serupa dengan beberapa contoh dari sejarah dunia. Pada tahun 2008, pemerintah Australia secara resmi meminta maaf kepada suku Aborigin. 

Permintaan maaf ini, yang disampaikan oleh Perdana Menteri Kevin Rudd, secara khusus mengakui dampak kebijakan kolonial terhadap “Generasi yang Hilang”—anak-anak Aborigin yang diambil paksa dari keluarga mereka. 

Ini adalah langkah penting dalam rekonsiliasi, yang bukan hanya simbolis, tetapi juga membuka ruang bagi masyarakat untuk memperbaiki kesalahan sejarah.

Di Eropa, Jerman juga meminta maaf atas kejahatan kolonialnya. Pada tahun 2004, Jerman secara resmi mengakui genosida yang dilakukan terhadap suku Herero dan Nama di Namibia pada awal abad ke-20. 

Lebih dari sekadar kata-kata, pemerintah Jerman juga berkomitmen untuk mendukung pembangunan di Namibia sebagai bentuk penebusan.

Jika Australia dan Jerman bisa melangkah maju dengan pengakuan dan permintaan maaf resmi, apakah Indonesia siap untuk melakukan hal serupa? 

Pengakuan atas para eksil tahun 1960-an ini memang penting, tetapi tidak cukup untuk sepenuhnya memulihkan rasa identitas dan harga diri yang telah hilang selama lebih dari setengah abad.

Sebagian besar dari para eksil ini kini berusia lebih dari 80 tahun. Mereka telah menghabiskan sebagian besar hidup mereka di negeri yang bukan tanah kelahiran mereka, tanpa identitas formal dan tanpa rumah yang dapat mereka sebut milik mereka. 

Meskipun pengumuman pemerintah memberikan sedikit harapan, pertanyaan yang lebih besar tetap ada: apakah mereka dapat pulang? Apakah ada jaminan bahwa di usia tua mereka, tanah air yang telah berubah ini akan menerima mereka?

-000-

Untuk menghayati sisi batin kisah para eksil ini, saya mencari inspirasi dari karya-karya sastra internasional. Yaitu sastra  yang juga membahas tentang pengalaman hidup dalam pengasingan dan keterasingan. 

Beberapa karya menawarkan pandangan mendalam tentang bagaimana pengasingan bisa memengaruhi kehidupan seseorang di berbagai negara dan konteks.

Misalnya, dalam “The Kite Runner” karya Khaled Hosseini (2003). Novel ini bercerita tentang Amir, seorang anak dari Afghanistan yang terpaksa melarikan diri ke Amerika Serikat setelah invasi Soviet. 

Pengasingan ini tidak hanya memisahkan Amir dari tanah airnya, tetapi juga memutusnya dari masa lalu dan identitasnya. 

Kisah ini sangat relevan dengan pengalaman para eksil Indonesia yang hidup dalam bayang-bayang masa lalu, dihantui oleh tuduhan yang tidak pernah mereka lakukan, tetapi tetap terpaksa hidup jauh dari rumah.

Kemudian, “Refugee” karya Alan Gratz (2017). Novel ini menceritakan tiga kisah paralel dari tiga pengungsi yang berbeda.

Ada seorang anak Yahudi yang melarikan diri dari Nazi Jerman. Ada pula seorang anak Kuba yang melarikan diri dari rezim Castro. Juga hadir seorang anak Suriah yang melarikan diri dari perang saudara. 

Ketiga cerita ini terhubung oleh benang merah yang sama: mereka semua mencari tempat yang bisa mereka panggil rumah, tetapi dunia terus menolak mereka. 

Sementara itu, “Exile and the Kingdom” karya Albert Camus (1957) mengeksplorasi pengalaman eksil sebagai bentuk keterasingan, baik secara fisik maupun spiritual. 

Para karakternya hidup di luar hidup yang layak masyarakat biasa, terputus dari tempat dan makna hidup.

Ini menggambarkan dengan tepat pengalaman para eksil Indonesia.  Mereka terasing dari tanah air dan harus menemukan cara untuk bertahan hidup di negeri yang tidak pernah benar-benar menerima mereka.

-000-

Dalam menulis tentang para eksil ini, saya menelusuri data sejarah untuk menemukan kisah-kisah yang jarang terdengar. 

Dengan bantuan teknologi modern, saya menemukan 15 nama eksil sebagai studi kasus. Namun, untuk menjaga privasi dan memberi ruang untuk interpretasi kreatif, saya memilih untuk menciptakan fiksi tambahan.  Tapi kisah nyata hidup mereka dijadikan rujukan.

Mereka adalah individu-individu nyata, historis, yang hidup dalam pengasingan. Tetapi  dalam buku puisi esai  ini, mereka akan hidup kembali melalui karakter-karakter fiktif.

Sebagai penulis puisi esai, saya menggunakan pendekatan ini agar dapat menggabungkan realitas sejarah dengan unsur fiksi dan puisi. 

Puisi esai memberikan kebebasan untuk menyelami emosi dan pengalaman batin yang mungkin tidak bisa diungkapkan melalui prosa biasa. Namun fiksi itu dilahirkan oleh fakta, kisah sebenarnya, sebagaimana yang dapat ditelusuri dalam catatan kaki puisi esai.

Dengan format ini, saya berharap bisa menyampaikan rasa keterasingan, kerinduan, dan kehilangan yang dialami oleh para eksil ini dengan cara yang lebih mendalam dan menyentuh, sekaligus kental setting sosial kisah sebenarnya.

Buku ini adalah bagian dari rangkaian puisi esai saya yang menyoroti sejarah Indonesia dan korban-korban yang terlupakan. (1)

Buku pertama adalah “Atas Nama Cinta” (2012), yang merupakan buku puisi esai pertama yang memperkenalkan genre puisi esai di Indonesia. Buku ini merekam berbagai bentuk diskriminasi yang masih terjadi di Indonesia, meskipun negara ini telah memasuki era reformasi. 

Di dalamnya, terdapat kisah-kisah personal yang mengangkat masalah ketidakadilan sosial, cinta, dan perjuangan yang bertahan di tengah berbagai tantangan politik dan sosial di masa transisi.

Buku kedua adalah “Jeritan Setelah Kebebasan” (2022), yang mencatat konflik-konflik berdarah primordial yang terjadi di Indonesia setelah reformasi. 

Buku ini mengisahkan konflik-konflik besar, seperti pertikaian Islam vs Kristen di Maluku, konflik suku Madura vs Dayak di Sampit, kerusuhan anti-Tionghoa di Jakarta, bentrokan suku Bali dengan penduduk asli di Lampung Selatan, serta pengusiran komunitas Ahmadiyah di NTB. 

Konflik-konflik ini menggambarkan betapa rapuhnya kebebasan politik jika tidak disertai dengan keadilan sosial dan kerukunan antar-komunitas.

Buku ketiga adalah “Yang Tercecer di Era Kemerdekaan” (2024), yang menyoroti derita para korban kolonialisme dan pendudukan Jepang di Indonesia. 

Buku ini mengisahkan nasib para pekerja Romusha yang dipekerjakan paksa oleh penjajah Jepang, gadis-gadis pribumi yang dipaksa menjadi penghibur tentara Jepang, serta perempuan pribumi yang dijadikan gundik oleh tuan-tuan Belanda, yang dikenal sebagai para Nyai. 

Buku ini mengangkat suara-suara mereka yang terlupakan dalam narasi besar perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Ada juga buku puisi esai: Kutunggu di Setiap Kamis (2018). Buku ini merekam keluarga yang setiap kamis unjuk rasa dengan payung hitam, mencari anggota keluaganya, yang tak kunjung pulang.

Buku tentang eksil tahun 1960-an ini melanjutkan upaya saya untuk merekam sejarah Indonesia dari perspektif korban. Mereka tidak selalu menjadi sorotan utama dalam narasi besar sejarah nasional. 

Setiap buku dalam rangkaian ini adalah upaya untuk memberikan suara kepada mereka yang suaranya hilang dalam hiruk-pikuk sejarah.


-000-

Kembali ke Indonesia bukan hanya soal fisik. Ini adalah tentang pemulihan identitas, tentang penerimaan dari negara yang pernah menganggap mereka pengkhianat. 

Namun, tanah air yang mereka rindukan mungkin tak lagi sama. Reformasi telah membawa banyak perubahan, dan mungkin tanah itu tak lagi mengenal mereka seperti dulu.

Sejarah bukanlah milik pemenang semata. Ia juga milik mereka yang hidup di pinggiran, yang terselip di antara narasi besar yang lebih sering diingat. 

Pengakuan atas penderitaan para eksil ini bukan hanya soal keadilan sejarah, tetapi juga tentang memberikan tempat bagi mereka dalam ingatan kolektif bangsa. 

Pengakuan ini adalah langkah kecil menuju sejarah yang lebih manusiawi dan adil, di mana suara-suara mereka yang terbuang dapat didengar kembali. Tak ada kata terlambat untuk menyembuhkan luka sejarah. 

Pada waktunya, akan hadir sebuah pemerintahan yang berani menatap sejarah dengan jujur, merangkul mereka yang terbuang, dan menyembuhkan luka-luka bangsa yang telah terlalu lama dibiarkan menganga. 

Ketika kebenaran diberi tempat, dan keadilan menemukan jalannya, barulah bangsa ini benar-benar pulih, dalam satu tarikan napas yang utuh. ***

Jakarta 6 Oktober 2022

CATATAN

(1) Tentang aneka puisi esai Denny JA yang merekam sejarah, dan sudah dibuatkan video animasinya (102 video) dapat dilihat di akun Youtube KARYA TERPILIH DENNY JA

https://youtube.com/@karyadennyja6587?si=AjgPKjg4HsWLXfNK

LIPSUS