Cari Berita

Breaking News

Mereka yang Terbuang di Tahun 1960-an: TAK KUTEMUKAN SURGA DI SANA

Dibaca : 0
 
Rabu, 02 Oktober 2024



Oleh Denny JA

(Seorang pelajar Indonesia dikirim ke Yugoslavia di tahun 1960-an oleh Bung Karno. Karena prahara politik di dekade itu, ia tak pernah pulang.)

-000-

Langit Yugoslavia, abu-abu dan bisu.  
Sejarah hilang dalam bayangan.  

Marwan, kini 85,  
punggungnya melengkung oleh beban masa lalu,  
nyeri di tubuh,  
patah di jiwa.  

Api yang dulu menyala,  
kini berpendar samar,  
ditiup angin waktu yang tak kenal belas.

Dulu, Indonesia adalah bara,  
dalam gelora Bung Karno,  
pemuda-pemuda digiring ke mimpi besar.

Marwan, salah satunya,  
dikirim ke Yugoslavia,  
negeri yang kala itu tegak,  
dengan Presiden Tito di puncak kekuasaan,  
sebuah eksperimen di simpang dunia.

Di sana, sosialisme berdiri teguh,  
di bawah bendera merah,  
revolusi bersinar di jalan-jalan,  
membangun masa depan yang berkilau.

Namun sejarah adalah pedang bermata dua,  
menggores dan menebas harapan dalam sekejap.

Bung Karno jatuh,  
Marwan kehilangan pijakan,  
tanah air tak lagi memanggil,  
paspor dicabut,  
pulang berarti menjemput kegelapan—  
penjara atau kematian.

-000-

Ia terdampar di negeri yang dulu memberinya naungan,  
tapi Yugoslavia pun pecah,  
seperti kaca yang retak di tanah keras.

Di Sarajevo, tembok-tembok bicara dengan luka,  
pintu-pintu tertutup oleh peluru dan api.  

Negeri yang teguh kini terbelah,  
dibakar kebencian,  
dihancurkan perang saudara,  
perbedaan adalah dosa  
yang ditukar dengan nyawa.

Marwan menyaksikan semuanya,  
dari jendela apartemen kecil.  
Di sini, tak ada surga yang dijanjikan.

Ia melihat tetangga menjadi musuh,  
sungai menjadi kuburan,  
dan tawa anak-anak berubah menjadi tangis.

Ia hidup di antara reruntuhan,  
terjebak dalam sejarah yang tak mengenal maaf,  
tak bisa pulang,  
tak bisa maju.

-000-

Namun, di tengah segalanya,  
rindunya pada Indonesia tetap menyala,  
meski perlahan padam dimakan waktu.

Ia ingat Sukabumi—  
tanah basah selepas hujan,  
Gunung Gede menjulang di kejauhan,  
peuyeum hangat dari pasar,  
suara jangkrik di malam yang lengang.

Rindu itu menggigit,  
tapi pulang hanyalah angan,  
seperti mimpi yang tak pernah tergapai.

"Sejarah telah menelanku,"  
gumamnya di malam-malam yang panjang.  
"Aku bagian dari revolusi yang retak,  
dari bangsa yang terlupakan."

Namun, dari reruntuhan itu,  
Marwan mencoba bangkit.  
Ia mengambil kuas,  
melukis kenangan yang tersisa,  
melukis Indonesia yang tak pernah kembali.

Gunung-gunung, sawah yang berkabut,  
senyum ibu dalam waktu yang membeku.  
Setiap goresan adalah perjalanan,  
sebuah upaya untuk pulang tanpa bergerak.

Lukisannya menjadi suara bagi yang tak bersuara,  
cerita bagi yang tersingkir.  
Karyanya sampai ke tanah air.

Anak-anak sekolah melihatnya,  
melihat tanah mereka melalui mata yang terlupakan.

-000-

"Inilah hadiahku," bisik Marwan,  
"untuk negeri yang tak pernah menerima kepulanganku."

Dan di ujung usia,  
di negeri yang jauh,  
Marwan tersenyum samar.

Meski tubuhnya terjebak dalam kubangan sejarah  
yang berantakan,  
hatinya akhirnya menemukan jalan pulang,  
melalui seni,  
melalui rasa yang tak pernah mati.

Jakarta 30 September 2024

CATATAN

*Kisah ini adalah fiksi,  terinspirasi dari pengalaman nyata pelajar Indonesia yang menjadi eksil di luar negeri setelah jatuhnya Bung Karno.*

*[Eksil, Kisah Orang-orang yang Terasing dari Negeri Sendiri - Historia](https://historia.id/politik/articles/eksil-kisah-orang-orang-yang-terasing-dari-negeri-sendiri-Dk0Ww)*

LIPSUS