INILAMPUNG.COM, Yogyakarta – Sastrawan Lampung, Isbedy Stiawan ZS menggaet Fitri Angraini membacakan petikan cerpen “Amberjil, Tiga Kali Kita Bertemu di Tiga Museum” di Sastra Bulan Purnama, Sabtu 26 Oktober 2024 petang.
Acara yang dihelat di halaman Museum Sandi Yogyakarta itu serangkaian peluncuran kumpulan cerpen “Cerita dari Museum” menandai 13 tahun Sastra Bulan Purnama yang digawangi Ons Oentoro.
Cerpen “Amberjil, Tiga Kali Kita Jumpa di Tiga Museum” menurut Isbedy, berlatar musem di Belanda yang pernah dikunjunginya. “Saya kesulitan kalau bicara soal museum di Indonesia, apalagi di Lampung. Ide saya mampet,” katanya.
Ia menambahkan ihwal mengapa ia menulis cerpen bertema museum. Katanya, “Sewaktu Ons Oentoro menggagas program ini, saya tak mengatakan siap. Tetapi kedua kaki ia bertanya, baru saya nyatakan siap asal lokalitas cerita di Belanda, apakah boleh? Ons bilang boleh, akhirnya saya buat cerpen berlatar museum di Belanda,” jelasnya lagi.
Kehadiran Isbedy di Sastra Bulan Purnama atas dukungan sejumlah tokoh/koleganya di Lampung, seperti Denny JA, Junaidi Auli, Gilang Ramadhan, Fauzi, Arief Mulyadin, Tommy Yordan, Abdul Hakim, Bustami Zainuddin, Ahmad Bastian, Yozi Rizal, Iskardo Panggar, Oddy Marsha, dan Hasanuddin Alam.
Inilah petikan cerpen “Amberjill, Tiga Kali Kita Bertemu di Tiga Museum” karya Isbedy Stiawan ZS:
Aku masih mencari orang yang bisa membantu untuk mengambil momen di depan stasiun dan bandara terbesar di Belanda. Syukur-syukur warga Indonesia, demi memudahkan percakapan. Terus terang aku tak fasih berbahasa Inggris, apalagi Netherland. Cuma yang kuharapkan belum pula kudapati.
“Anda mau foto? Saya lihat dari tadi, anda hanya selfie. Pasti hasilnya tak baik untuk dokumentasi. Saya bantu mengambilnya.”
Seseorang menawari untuk memotretku. Perempuan pirang. Bule tentunya. Tetapi, mengapa ia begitu fasih berbahasa Indoensia?
“Anda heran saya bisa bahasa Indonesia? Dua tahun saya studi dan tinggal di Yogya. Program beasiswa doktor,” katanya segera, setelah tahu aku heran.
“Dari tadi saya cari-cari orang yang bisa menolong ambil saya foto di tempat ini. Anda malaikat bagi saya, yang turun darI kahyangan di bumi yang dingin ini...” jawabku.
Aku mulai bergurau. Demi keakraban semata. Untuk pertemuan dan perkawanan jadi cair.
“Anda bisa saja, saya peri. Yang akan menggodamu nanti!”
Lalu kami tersenyum. Serentak. Kemudian tertawa.
“O ya, lupa, belum tahu nama... Siapa tahu nanti kita jumpa lagi, mungkin di Belanda ini atau di Indonesia,” kutawarkan diri. “Namaku Farhan, panjangnya Farhan Oentoro.”
“Nama yang bagus. Good. Aku, Amberjill,” jawabnya.
“Wow! Permata yang berharga, sebuah doa yang baik dari kedua orang tuamu. Kudoakan semoga terwujud harapan orang tuamu. Aamiin...”
“Amen!”
Setelah basa-basa itu, ia mengambil handhponeku yang sudah kubuka aplikasi kameranya. Beberapa klik suaranya kudengar. Ia sekaligus menjadi pengarah gaya. Soal ini, ia berujar; “Aku pernah magang di fashion dan studio foto sewaktu SMA di sini.”
“Kau tinggal di mana?”
“Aku di Gouda.”
“Yang kutahu, kota itu penghasil keju terbesar di sini.”
“Wah, kau tahu itu? Benar,” balas Amberjiil bangga.
Dari Tropen Museum, Ambirjill mengajakku ke Gouda. Jelang pukul 22.00 aku tiba di kota itu. Di sini rumah dia. Kuputari Gouda, kucari kafe untuk meminum kopi. Amberjill kubiarkan memesan minuman beralkohol. Diiringi instrumen musik Paddy Murphy (1913-1992), bapak pendiri musik konsertina Irlandia modern.
Kulihat Amberjill mulai ngelangut. Badannya mengayun-ayun, dekat sekali di bahu kananku. Meski ia masih juga menambah minuman di gelas setiap kosong. Sekira pukul 3 pagi kami begeser. Ia memesan taksi. Menuju rumahnya di barat Gouda.
Tiga kali aku bertemu Amberjil di Museum. Seperti tak sengaja, namun sejatnya terencana. Artinya tak kusadari saat ia memancing esok pagi mau ke mana dan kujawab tujuanku, itu terekam baik di kepalanya. Tiba-tiba ia sudah di belakangku, atau sudah menantiku di depan pintu dengan dua tiket masuk museum.
*
dan jemarimu makin erat digenggam
langkahmu pelan, seperti ingin
kembali memunguti kacang
yang mungkin pernah tercecer...
Ah! Betapa indah kenangan-kenangan itu bersamamu, Amberjill. Kau begitu “angsa bagiku di kolam bening dan dingin” dan kau memang peri jadi teman perjalanan.(bd/inilampung)