Mereka Yang Terbuang Tahun 1960-an
Oleh Denny JA
(Menjadi orang terbuang karena prahara politik tahun 1960-an, Gunarto akhirnya berpisah dengan retorika revolusi)
-000-
Di sudut ruang praktik dokter yang sunyi,
Gunarto duduk menatap hujan di Paris,
alirannya membawa kenangan,
tahun-tahun yang hilang dalam pekik revolusi, terasa hampa.
Berdebu.
Dulu, tangannya menggenggam senjata,
bergetar dengan keyakinan penuh bara.
Seruan ideologi membelah langit malam.
Setiap kata membakar dirinya.
namun tersisa hanya abu.
Kini, ia mengangkat pisau bedah dengan ketenangan.
Setiap luka yang ia sembuhkan mengingatkan.
Hidup bukan tentang pertempuran tanpa akhir.
Ini tentang menyembuhkan yang terluka,
meninggalkan kasih dalam tiap sayatan yang pulih.
-000-
Angin di Paris berembus di dada yang kosong,
menerbangkan pikirannya ke Pyongyang,
di saat ia berdiri di barisan depan,
dengan hati terbakar oleh mimpi besar,
namun bumi yang ia jejaki kini hanya bekas luka.
Di Pyongyang, ia berbicara dengan api,
dalam pidato yang menggema,
setiap kata adalah peluru,
menembus malam dengan harapan baru.
Namun yang tersisa hanya debu di ingatan.
Gunarto mengingat awal perjalanan.
Bung Karno mengirimnya jauh, sekolah ke luar negeri,
memetik cahaya dari negeri asing,
membangun harapan di tanah air.
Namun Bung Karno runtuh.
Raksasa membakar langit,
menghancurkan naga yang dulu terbang gagah di angkasa.
Di tengah kobaran api itu, Gunarto terbakar pula,
paspor dicabut,
identitasnya ditiadakan.
Ia menjadi bayang yang hilang,
warga tanpa negara, melayang-layang tanpa tanah,
terasing dalam sunyi yang menua bersama waktu.
Tahun pertama Bung Karno jatuh, Gunarto berteriak melawan,
seperti badai yang memecah laut dengan riak gelombang.
Ia kerahkan jiwa, gemakan kata, berharap revolusi meledak.
Namun jeritan itu terserap bumi yang bisu,
meresap ke dalam tanah tanpa bekas,
dan akhirnya, hanya sunyi yang tersisa,
seperti abu yang bertebaran di angin tak tentu arah.
Di Moskow, lorong-lorong retorika menelannya,
suara lantang yang ia ucapkan terasa kosong,
gemanya tak menjangkau hati yang ia tuju,
hanya bergaung di dinding asing,
menghilang seperti bayangan yang kabur.
Gunarto tinggalkan semua,
memilih jalan yang tenang.
Ia menyebrang ke Paris
-000-
Di Paris, ia hanya ingin menyelami heningnya meja bedah,
menitipkan hidup dalam setiap luka yang terjahit rapi.
Di ruang praktik yang tenang itu,
Gunarto dulu berdiri dengan dua wajah—
seorang dokter, penyembuh yang merawat luka,
dan seorang pejuang yang masih memegang sisa-sisa suara revolusi.
Namun seiring waktu, ia sadar. Itu dua wajah itu tak bisa bersanding.
Ideologi yang dulu membakar, kini terasa asing,
seperti pakaian yang tak lagi pas di tubuhnya.
Ia lepaskan beban kata-kata yang pernah memanggilnya ke medan pertempuran,
membiarkannya jatuh satu per satu,
seperti daun-daun kering yang gugur di musim dingin.
Kini, yang tersisa hanya panggilan sederhana,
pisau bedah yang mengulurkan kasih tanpa suara,
menyentuh luka dengan keheningan yang lebih bermakna dari teriakan.
Ia tak lagi tergerak oleh gemuruh revolusi,
yang dulu ia kira panggilan suci,
namun kini terasa hanya gema asing,
jauh dari kedalaman yang benar-benar ia cari.
Di meja bedah, ia temukan ketenangan,
pisau bedah menggantikan senjata,
sayatan yang dalam menjadi bisikan,
setiap luka yang ia tutup dengan jahitan,
meninggalkan kasih yang dulu hanya mimpi.
Pisau bedahnya menjadi puisi.
Setiap luka yang pulih adalah prosa.
Sayatan demi sayatan adalah bait cinta,
dan jahitan menjadi lagu yang lembut,
meninggalkan jejak kasih di tubuh yang sembuh.
Kini, Gunarto temukan arti hidup,
dalam setiap luka yang bisa ia pulihkan.
Sampai akhir hayatnya,
ada yang tetap menggenang di ujung matanya,
kerinduan yang tak sampai, pulang ke tanah,
yang dulu menjemput kelahirannya.
Indonesia, yang pernah ia bela dalam kata dan darah, kini hanya bayang samar di senja yang memudar.
la terpisah selamanya, bukan oleh jarak, melainkan oleh prahara yang membakar di usia muda,
dan mimpi yang terkubur dalam abu kenangan.
Ia adalah daun yang jatuh,
jauh terbuang dari pohonnya,
tak pernah kombali mendekat ke akar,
yang membesarkannya.***
Jakarta, 8 Oktober 2024
CATATAN
(1) Puisi ini adalah fiksi, terinspirasi oleh perjalanan hidup seorang dokter Indonesia, Waloejoe, yang menjadi eksil akibat prahara politik. Dalam perjalanannya, ia melintasi berbagai negara, merenungkan pilihan hidupnya dan penyesalan yang menyertai setiap langkah.
https://19651966perpustakaanonline.wordpress.com/2019/12/03/waloejo-sedjati-orang-buangan-yang-berhasil-meraih-gelar-doktor-dan-juga-dokter-spesialis-bedah-cemerlang-orang-buangan-dari-pyongyang-hingga-moskwa-dan-paris-1960-2013-eksil/