Oleh LSI Denny JA
Sepuluh tahun kepemimpinan Presiden Jokowi tidak hanya menjadi perjalanan seorang pemimpin, tetapi juga cermin dari keinginan, kepuasan ataupun kekecewaan dan kemarahan rakyat banyak.
Di akhir masa jabatannya, survei LSI Denny JA menunjukkan tingkat kepuasan pada Jokowi masih sangat tinggi, mencapai 80,8%. Tetapi di balik itu, ada 18,5% yang menyuarakan ketidakpuasan.
Esai ini mengurai bukan hanya angka, tetapi juga narasi yang kompleks tentang sebuah era yang penuh pencapaian sekaligus juga kritik.
Demikianlah hasil survei nasional LSI Denny JA, dengan 1200 responden, dengan multi stage random sampling, tatap muka, tanggal 26 September- 3 Oktober 2024. Margin of Error 2,9 persen.
Siapakah mereka yang puas? Siapakah populasi yang tak puas? Apa yang membuat mereka puas dan tak puas?
-000-
Kepuasan dan ketidak-puasan publik ini mencerminkan apresiasi luas dan kekecewaan dari berbagai lapisan masyarakat, mulai dari yang berpendidikan rendah hingga tinggi, dari yang ekonominya mapan hingga wong cilik, dari Gen Z hingga generasi baby boomers.
Tapi di setiap segmen pemilih memang memiliki gradasi dan perbedaan rasa puas dan tak puas yang berbeda.
Kepuasan terhadap Jokowi berbeda-beda berdasarkan segmen agama. Kepuasan tertinggi muncul di kalangan pemilih beragama non-Islam, mencapai 93%, sementara pada pemilih Muslim, kepuasan berada di angka 78,7%.
Di segmen usia, generasi muda (Gen Z) menyatakan kepuasan sebesar 85,9%, diikuti oleh generasi milenial sebesar 81,8%. Di kelompok Gen X dan baby boomers, kepuasan tetap di atas 75%.
Perbedaan ini mencerminkan bagaimana Jokowi diapresiasi lintas generasi, namun dengan intensitas yang berbeda-beda.
Di segmen pendapatan, dukungan terbesar datang dari mereka yang berpenghasilan di bawah Rp2 juta per bulan. Mereka yang disebut wong cilik menyatakan kepuasan sebesar 83,3%.
Di kalangan yang ekonominya lebih mapan, kepuasan berada di angka 75,5%. Di segmen pendidikan, kepuasan tertinggi datang dari masyarakat berpendidikan rendah.
Mereka yang hanya tamat SD atau di bawahnya, 81% menyatakan puas. Namun, di kalangan terpelajar, kepuasan terhadap Jokowi menurun, hanya sebesar 72,4%.
Dukungan terhadap Jokowi juga merata di berbagai konstituen partai. Di kalangan pemilih Gerindra, 91,7% menyatakan puas. Pada pemilih PDIP, kepuasan berada di angka 87,9%. Di pemilih PKS, kepuasan mencapai 55,1%, meski ketidakpuasan juga tinggi, yakni 44,9%.
Data ini menunjukkan bahwa dukungan terhadap Jokowi tidak hanya muncul dari basis partainya sendiri, tetapi juga dari berbagai partai politik lain.
-000-
Secara geografis, tingkat kepuasan terhadap Jokowi tersebar hampir merata di seluruh pulau di Indonesia.
Di Sumatera, kepuasan mencapai 75,3%, sementara di Maluku dan Papua, dukungan untuk Jokowi memuncak pada angka 93,3%. Keberagaman ini menunjukkan penerimaan yang luas terhadap Jokowi sebagai pemimpin nasional, terlepas dari latar belakang geografis.
Dari perspektif pemilih capres 2024, mereka yang mendukung Prabowo-Gibran dan Ganjar-Mahfud menunjukkan tingkat kepuasan yang tinggi terhadap Jokowi. Sebanyak 89% dari pemilih Prabowo-Gibran menyatakan puas dengan kinerja Jokowi.
Sebaliknya, mayoritas pemilih Anies-Muhaimin, sebesar 57,6%, justru merasa tidak puas. Hal ini mencerminkan bagaimana pilihan politik di Pilpres 2024 berhubungan erat dengan tingkat kepuasan terhadap kepemimpinan Jokowi.
-000-
Pertanyaan kemudian: WHY? Mengapa ada yang puas, dan ada yang gak puas?
Di balik angka kepuasan yang tinggi, muncul pertanyaan: dari mana datangnya ketidakpuasan terhadap kinerja Jokowi?
LSI Denny JA menemukan lima alasan utama.
Pertama, ketidakpuasan muncul dari mereka yang melihat kondisi nasional masih memprihatinkan dalam aspek ekonomi, politik, hukum, keamanan, dan sosial budaya.
Sebanyak 30,7% responden menilai ekonomi nasional buruk. Di aspek politik, 22,9% merasa kondisi belum memadai.
Dalam penegakan hukum, 29,1% merasa kecewa. Keamanan juga dinilai buruk oleh 10% responden, dan dalam sosial budaya, ketidakpuasan mencapai 5,8%.
Angka-angka ini menunjukkan bahwa sebagian masyarakat merasakan kegagalan pemerintah dalam merespons berbagai tantangan bangsa.
Tapi yang puas dengan ekonomi, politik, hukum dan budaya di bawah pemerintahan Jokowi jauh lebih banyak.
Kedua, ketidakpuasan juga terkait dengan karakter Jokowi. Sebanyak 16,1% responden yang mengenal Jokowi menyatakan tidak menyukai kepribadiannya.
Namun, mereka yang puas dengan kinerja Jokowi mayoritas menyukai karakternya. Sebanyak 83,9% menyatakan suka terhadap Jokowi.
Ini membuktikan bahwa personalitas presiden turut memengaruhi penerimaan masyarakat terhadap kinerjanya.
Ketiga, ketidakpuasan juga dipicu oleh pandangan bahwa Jokowi belum berhasil menjalankan tugasnya sebagai presiden.
Sebanyak 20,8% responden menilai Jokowi tidak berhasil. Di sisi lain, mereka yang merasa Jokowi berhasil mencapai 77,5%.
Persepsi ini menunjukkan bahwa kesuksesan seorang pemimpin tidak hanya diukur dari data ekonomi, tetapi juga dari bagaimana masyarakat merasakan dampak dari kebijakannya.
Keempat, ketidakpuasan mencuat dalam isu-isu sosial-ekonomi yang menyentuh lapisan bawah.
Sebanyak 63,1% responden tidak puas dengan penyediaan lapangan kerja, 55,4% tidak puas dengan penanganan kemiskinan, dan 54,2% menilai kesejahteraan petani, buruh, dan nelayan belum meningkat.
Ini adalah suara mereka yang merasakan langsung dampak dari kebijakan sosial ekonomi pemerintah.
Kelima, protes soal demokrasi menjadi alasan terakhir. Indeks demokrasi Indonesia mengalami penurunan, menjadi “rapor merah” bagi Jokowi, menurut temuan dari Economist Intelligence Unit.
Mereka yang kecewa dengan demokrasi Indonesia juga cenderung tidak puas terhadap kinerja Jokowi.
Namun, mereka yang puas melihat adanya peningkatan di bidang ekonomi. Data Bank Dunia menunjukkan kenaikan indeks produk domestik bruto dan PDB per kapita.
Indeks kebebasan ekonomi dari lembaga Heritage Foundation dan Wall Street Journal juga mengalami peningkatan, begitu pula indeks kemajuan sosial dari Social Progress Imperative.
Ketiga “rapor biru” ini membuat mereka yang terfokus pada ekonomi tetap puas.
-000-
Di akhir periode 10 tahun kepemimpinannya, Jokowi meninggalkan warisan yang kompleks. Ia dicintai oleh sebagian besar masyarakat, tetapi juga dikritik oleh sebagian lainnya.
Kepemimpinannya mencerminkan keberhasilan dalam bidang tertentu, tetapi juga kegagalan dalam bidang lain.
Di antara semua angka kepuasan dan ketidakpuasan ini, terlihat jelas bahwa menjadi pemimpin bagi bangsa sebesar Indonesia berarti menghadapi harapan dan kekecewaan yang tak pernah sederhana.
Kini, di akhir dekade kepemimpinannya, Jokowi meninggalkan warisan yang penuh nuansa. Ia dicintai oleh banyak pihak, tetapi juga dikritik oleh yang lain.
Capaian ekonomi, sosial, dan demokrasi yang dia tinggalkan bukan hanya statistik, tetapi refleksi dari perjalanan bangsa yang selalu bergerak di antara harapan dan ketidakpuasan.
Di balik setiap angka, ada wajah-wajah masyarakat yang merasakan dampak dari kebijakannya.
Apakah mereka puas atau tidak, kepemimpinan Jokowi mengajarkan bahwa menjadi pemimpin Indonesia adalah menerima kekaguman dan kekecewaan dalam satu tarikan nafas yang sama.
Namun dengan aneka catatan kritis itu, tingkat kepuasan atas kinerja Jokowi di akhir jabatan masih sekitar 80,8 persen.
Approval rating pemimpin dunia, seperti yang dikutip dari Statista (Agustus 2024), yang tertinggi adalah Narenda Modi (India): 72 persen.
Tingkat kepuasan Jokowi lebih tinggi dibandingkan Narenda Modi, apalagi pemimpin dunia lainnya. Ini akan dicatat sejarah sebagai sebuah pencapaian yang sangat tinggi bagi Jokowi. ***
Jakarta, 15 Oktober 2024.
Data dan analisa lebih detil tentang isu di atas dapat dilihat dalam link ini:
https://drive.google.com/file/d/1DMy0XNd6A6Vwv1wcldzz1jO8emIzn7iv/view?usp=drivesdk