Cari Berita

Breaking News

‘Madilog’: Tanda yang Mengajak Kita Berpikir

Dibaca : 0
 
Kamis, 19 September 2024

                  Hudan Hidayat

Oleh Hudan Hidayat *)


Nama menjadi sesuatu, yang penting. Semiotik mengucapkannya sebagai tanda, nama itu. Ruang kini agak lain dengan ruang dulu, ruang kelisanan, bukan ruang tulisan lagi. Nama itu tanda, tanda itu nama.

Apa artinya kalau disebut Total Politik? Atau: Keren Cadas. Apa artinya kalau disebut Bocor Alus? Apa pula Indonesia Lawyers Club? Close The Door Close Gorden?
Bagaimana dengan Video Legend? Atau FNN?

Apa pula artinya: Forum Keadilan yang, disentuh oleh nama legendaris itu: Madilog, menjadi pengiring Forum Keadilan.

Kita ingat majalah, di mana Karni Ilyas dulu menjadi pemimpinnya, majalah Forum Keadilan. Tapi ini podcast dengan Indra J Piliang, menjadi salah satu moderatornya. Satunya lagi Budhius Piliang. Nama, yang penting itu, kadang bergeser menjadi lambang, atau simbol.

Gambar misalnya, melambangkan makna di balik nama. Forum Keadilan TV ini kecuali mengusung nama "Madilog", juga memajang gambar Tan Malaka. Gambar lain: Sukarno bermuka-muka dengan Suharto.

Gambar lain: novelis Pramoedya Ananta Toer dan Chairil Anwar. Kedua sastrawan ini posenya: lagi ngudut. Ayik.

Kita mengamati kelisanan, seperti kita mengamati tulisan. Cara bertutur lisan sama menariknya dengan cara bertutur tulisan. Mereka itu seni: ada style di dalamnya. Tentu: ada materi, logika, dan dialektika. Ada "Madilog". Ada pesan yang hendak disampaikan.

Pesan ini yang membuat kita menghubungkan antara Forum Keadilan dengan Madilog. Apa maknanya mengirimkan "Tan Malaka" saat ini? Tan Malaka itu sebuah cara berpikir, dan cara berpikir itu adalah cara materialisme, logika, dan dialektika.

Apakah pesannya: bahwa negeri kita saat ini telah dikuasai alam materialistik? Sehingga untuk membalikkannya dibutuhkan logika, dan dialektika yang dipandu oleh logika yang kuat. Logika apa yang bisa membalikkan keadaan materialistik ini?

Jadi buku Tan Malaka, Madilog, diambil oleh Forum Keadilan TV bukan pada keseluruhan isinya, tapi lebih kepada kesanggupan Tan Malaka membuat lambang. Bahwa Madilog itu adalah dunia perlambangan, seperti yang sedang kita artikan.

Ia di satu arti. Di arti lain, kita bisa meremes Madilog demi mengambil rohnya: adalah berpikir ilmiah. Madilog itu adalah karya besar Tan Malaka, saripatinya adalah "berpikir ilmiah".

Berpikir menurut ilmu, akal sehat, bukan berpikir menurut perasaan, karena perasaan ini buta. Tidak bisa berpikir. Perasaan menyala, membakar bukan menerangi.

Obor itu memang di pikiran, di akal, di budi. Termasuk, oleh akal juga kita memikirkan versi yang lain adalah: permainan wacana dari sebuah puak manusia, untuk mendesak ke tengah.

Pentasnya adalah nasional, bahkan internasional. Ia semacam "desa mengepung kota" itu. Ia: desa mendesak kota. Dalam hal ini: puak Minang yang memang secara historis berpanggung nasional - bahkan internasional.

Tapi lajunya ruang, lajunya waktu, bisa membuat lupa: sang tokoh tertepikan olehnya. Tertepi tokoh, tertepi pula identitas yang, bukan hanya tokoh (baca: Tan Malaka) yang mengenakan bajunya melainkan seluruh manusia, yang menyandang identitas itu.

Ada versi lain: bahwa Indra J Piliang dan kawan-kawannya (di Forum Keadilan) memang sedang menggoda bangsanya lewat Madilog Tan Malaka ini. Jadi: buku, pemikiran, bahkan sosok kampiun sejarah dulu: Tan Malaka.

Dengan demikian ia ajakan negeri untuk tidak meninggalkan masa lalu.  Bahwa sejarah itu yang telah membawa kita sampai ke sini, dan akan mendorong kita meraih - apa yang ada di balik, jembatan emas kemerdekaan?

Versi-versi, membuat Forum Keadilan TV, Madilog, menjadi puitik. Seolah kita meraba makna sajak Isbedy Stiawan Z S yang, akhir-akhir ini, banyak menyebut kematian lewat batu sebagai diksinya, atau sungai. Isbedy memang sedang mengajak benda-benda itu naik, dengan cara menciptakan pelbagai kemungkinan arti.

Saya meraba, apa artinya "debur" dalam bentukan ini:

"pada tepi malam yang kubayangkan
di antara tanah dan sungai, ada debur 
namun bukan gemuruh air mengalir.
deras mencari muara di sana".

Saat disentuh puisi, sajak membawakan arah yang bahkan tak ada jawabnya, kecuali kita maju menjemput perbandingan ini, ihwal "debur" itu.

"aku bayangkan tegak di tepi sungai 
antara debur arus dan debar di hati".

"antara", kunci yang membuka selubung sajak - "debur arus", dan "debar di hati".

Dunia fakta bisa mengalami puisi. Ia kita rasakan dari dalam sebuah artikel politik, tetapi bahasa yang terpakai, telah membuat pikiran di situ sungguh puitik. Atau pikiran ini bergerak puitik saat menangani dunia fakta, adalah desentralisai, dan otonomi. Kalimat-kalimat menjadi filosofis, dan puitis.

Indra:

'PADA mulanya manusia adalah makhluk otonom, kecuali kepada Tuhan. Ketika Tuhan menciptakan Adam sebagai manusia pertama, ia nyaris sendirian. Siti Hawa (Eva) lalu diciptakan-Nya agar semangat otonom itu tetap, demi tujuan-Nya untuk memperindah dunia, bukan demi kesenangan Tuhan semata. Otonomi bukan demi kesendirian atau kesepian pikiran, nurani, dan akal budi, melainkan demi kemanusiaan itu sendiri dalam bingkai keimanan."

Otonomi mulai dirasa-rasakan dengan otomatisasi, yang ditujukan kepada kerutinan dan, memiliki efek negatif menurut teori sastra dari Rusia. Manusia menjadi otomatis-mesin, padahal sejatinya ia soliter, otonom, sendiri. Tetapi mengapa kini terseragamkan? Desentralisasi apa yang ia butuhkan? Menarik saat Indra berkata: manusia otonom, "kecuali kepada Tuhan", kata Indra. Jadi manusia yang bebas, otonomi, itu rupanya makhluk dependen, bukan independen, sejauh menyangkut atau, kepada penciptanya.

Kita tak bebas kapan dilahirkan, tak bebas kapan mati. Kita tak otonom. Otonomi kita hanyalah terbatas kepada tubuh terberi sendiri. Di luar itu, otonomi kita berhadapan dengan otonomi orang lain. Kekuasaan kita mulai, bukan saja terdesentralisasikan, tetapi mengalami lobi: kita menegosiasikan setiap batas yang mungkin.

Bebas 100 %, angan-angan Tan Malaka untuk negeri, yang dialihkan ke dalam podcast Madilog, dapat kita beri rumbai-rumbai pertanyaan: dari apa? Mengapa kita memerlukan kebebasan sebanyak itu? Terbelenggukah tangan kita, atau jiwa pikiran, sehingga kita mendekat kepada kebebasan ekstrem itu?

Apakah pesannya: bahwa negeri kita saat ini telah dikuasai alam materialistik? Sehingga untuk membalikkannya dibutuhkan logika, dan dialektika yang dipandu oleh logika yang kuat. Logika apa yang bisa membalikkan keadaan materialistik ini? Jadi buku Tan Malaka, Madilog, diambil oleh Forum Keadilan TV bukan pada keseluruhan isinya, tapi lebih kepada kesanggupan Tan Malaka membuat lambang. Bahwa Madilog itu adalah dunia perlambangan, seperti yang sedang kita artikan.

Kita mengamati kelisanan, seperti kita mengamati tulisan. Cara bertutur lisan sama menariknya dengan cara bertutur tulisan. Mereka itu seni: ada style di dalamnya. Tentu: ada materi, logika, dan dialektika. Ada "Madilog". Ada pesan yang hendak disampaikan. Pesan ini yang membuat kita menghubungkan antara Forum Keadilan dengan Madilog. Apa maknanya mengirimkan "Tan Malaka" saat ini? Tan Malaka itu sebuah cara berpikir, dan cara berpikir itu adalah cara materialisme, logika, dan dialektika.

Apakah pesannya: bahwa negeri kita saat ini telah dikuasai alam materialistik? Sehingga untuk membalikkannya dibutuhkan logika, dan dialektika yang dipandu oleh logika yang kuat. Logika apa yang bisa membalikkan keadaan materialistik ini? Jadi buku Tan Malaka, Madilog, diambil oleh Forum Keadilan TV bukan pada keseluruhan isinya, tapi lebih kepada kesanggupan Tan Malaka membuat lambang. Bahwa Madilog itu adalah dunia perlambangan, seperti yang sedang kita artikan.


Ia di satu arti. Di arti lain, kita bisa meremes Madilog demi mengambil rohnya: adalah berpikir ilmiah. Madilog itu adalah karya besar Tan Malaka, saripatinya adalah "berpikir ilmiah".

Berpikir menurut ilmu, akal sehat, bukan berpikir menurut perasaan, karena perasaan ini buta. Tidak bisa berpikir. Perasaan menyala, membakar bukan menerangi.

Obor itu memang di pikiran, di akal. Termasuk, oleh akal juga kita memikirkan versi yang lain adalah: permainan wacana dari sebuah puak manusia, untuk mendesak ke tengah.

Pentasnya adalah nasional, bahkan internasional. Ia semacam "desa mengepung kota" itu. Ia: desa mendesak kota. Dalam hal ini: puak Minang yang memang secara historis berpanggung nasional - bahkan internasional.

Tapi lajunya ruang, lajunya waktu, bisa membuat lupa: sang tokoh tertepikan olehnya. Tertepi tokoh, tertepi pula identitas yang, bukan hanya tokoh (baca: Tan Malaka) yang mengenakan bajunya melainkan seluruh manusia, yang menyandang identitas itu.

Ada versi lain: bahwa Indra J Piliang dan kawan-kawannya (di Forum Keadilan) memang sedang menggoda bangsanya lewat Madilog Tan Malaka ini. Jadi: buku, pemikiran, bahkan sosok kampiun sejarah dulu: Tan Malaka.

Dengan demikian ia ajakan negeri untuk tidak meninggalkan masa lalu.  Bahwa sejarah itu yang telah membawa kita sampai ke sini, dan akan mendorong kita meraih - apa yang ada di balik jembatan emas kemerdekaan?

Versi-versi itu yang membuat Forum Keadilan TV, Madilog, menjadi puitik. Seolah kita meraba makna sajak Isbedy Stiawan ZS, yang.akhir-akhir ini, banyak menyebut kematian lewat batu sebagai diksinya, atau sungai. Isbedy memang sedang mengajak benda-benda itu naik, dengan cara menciptakan pelbagai kemungkinan arti.

Saya meraba, apa artinya "debur" dalam bentukan ini:

"pada tepi malam yang kubayangkan
di antara tanah dan sungai, ada debur 
namun bukan gemuruh air mengalir.
deras mencari muara di sana".

Saat disentuh puisi, sajak membawakan arah yang bahkan tak ada jawabnya, kecuali kita maju menjemput perbandingan ini, ihwal "debur" itu.

"aku bayangkan tegak di tepi sungai 
antara debur arus dan debar di hati".

"antara", kunci yang membuka selubung sajak - "debur arus", dan "debar di hati".

Dunia fakta bisa mengalami puisi. Ia kita rasakan dari dalam sebuah artikel politik, tetapi bahasa yang terpakai, telah membuat pikiran di situ sungguh puitik. Atau pikiran ini bergerak puitik saat menangani dunia fakta, adalah desentralisai, dan otonomi. Kalimat-kalimat menjadi filosofis, dan puitis.

*

PADA mulanya manusia adalah makhluk otonom, kecuali kepada Tuhan. Ketika Tuhan menciptakan Adam sebagai manusia pertama, ia nyaris sendirian. Siti Hawa (Eva) lalu diciptakan-Nya agar semangat otonom itu tetap, demi tujuan-Nya untuk memperindah dunia, bukan demi kesenangan Tuhan semata. Otonomi bukan demi kesendirian atau kesepian pikiran, nurani, dan akal budi, melainkan demi kemanusiaan itu sendiri dalam bingkai keimanan.

Otonomi mulai dirasa-rasakan dengan otomatisasi, yang ditujukan kepada kerutinan dan, memiliki efek negatif menurut teori sastra dari Rusia. Manusia menjadi otomatis-mesin, padahal sejatinya ia soliter, otonom, sendiri. Tetapi mengapa kini terseragamkan? Desentralisasi apa yang ia butuhkan? Menarik saat Indra berkata: manusia otonom, "kecuali kepada Tuhan", kata Indra. Jadi manusia yang bebas, otonomi, itu rupanya makhluk dependen, bukan independen, sejauh menyangkut atau, kepada penciptanya.

Kita tak bebas kapan dilahirkan, tak bebas kapan mati. Kita tak otonom. Otonomi kita hanyalah terbatas kepada tubuh terberi sendiri. Di luar itu, otonomi kita berhadapan dengan otonomi orang lain. Kekuasaan kita mulai, bukan saja terdesentralisasikan, tetapi mengalami lobi: kita menegosiasikan setiap batas yang mungkin.***

______
Hudan Hidayat adalah seorang cerpenis, penyair, sekaligus eseis sastra kelahiran Yogyakarta yang kini tinggal di Jakarta telah bersedia berpartisipasi sebagai juri pada kegiatan MataKataKita. HUdan, yang oleh para fesbuker juga dikenal lewat fenomena Jurnal Sastratuhan Hudan, mengaku siap untuk menilai karya yang masuk, baik dari penulis mata awas (masyarakat normal) dan tunanetra.

LIPSUS