Cari Berita

Breaking News

Orasi Puisi Isbedy Stiawan ZS Meriahkan Peluncuran Gemilang

Dibaca : 0
 
Sabtu, 17 Agustus 2024


ORASI PUISI GEMILANG


setiap diri membawa kampung 

dan kebiasaan-kebiasaan adiluhung 

leluhur, ke mana ia merantau

itulah tanda, mungkin juga marwah

--pesenggiri dalam bahasa Lampung—


maka, amat elok apabila terus digelorakan

apa saja yang telah jadi kesepakatan leluhur

selagi tak bertentangan dengan keyakinan

yang diantar oleh agama


itulah budaya – kebudayaan – di dalamnya

adat-istiadat yang juga membentuk manusia 

memiliki ciri serta kekuatan bahwa manusia 

dilahirkan dibesarkan oleh kebiasaan 

yang dilihat dirasa maupun diajarkan sejak kecil


suku-suku serta adat-adat itu yang menjadikan 

hidup berwarna namun tetap dalam persatuan


bukan satu! melainkan ragam yang menjadikan 

taman terlihat indah. itulah seni; coba kita amati

sebuah lukisan, akan terlihat indah lantaran 

perpaduan warna di sana. bacalah puisi, nikmati

rima bahasa yang menjadikan kalimat berirama

dan punya lagu. menerbangkan imajinasi sebab 

di dalam puisi ada metafora, simbol, serta daya

yang membuat khayal kita melayang


juga musik, dengarlah dengan telinga yang 

tidak tuli. bagaimana musisi membangun 

suasana agar pendengaran, rasa, hati, imaji 

kita seakan hendak mengikuti perjalanan irama


demikian pula; konstruksi rumah, bangunan untuk

ibadah, dan sebagainya. dibangun oleh rasa 

yang memiliki nilai-nilai keindahan. bahkan, semesta

juga dicipta oleh Pencipta yang Mahakarya. tiada 

setitik zarah pun ciptaan-Nya sisa-sia 

bahkan fii ahsani taqwiim

--sebaik-baik ciptaan—


(ke)budaya(an) dan agama itu menetap dalam setiap diri

dan keduanya dibawa ke mana diri itu merantau. puisiku,

“Aku Tandai” sejatinya telah merekamnya. begini:

aku tandai tahi lalatmu dari dunia kanak-kanak

yang tak akan pernah terhapus bilangan

sampai hapal benar 

aku pada lekuk dan gerakmu, seperti aku mengenal

tubuhku sendiri


dari akar dan batang rumputan yang pernah kita 

petik dulu, kini telah pula jadi pohon:

menahan terik, menepis gerimis supaya tak sampai

menggores tanda di tubuhmu – tahi lalat itu – yang

senantiasa kuingat dan jadi ciri ke mana kau merantau

...

ya. aku tandai tahi lalatmu yang masih kukenang dari

dunia kanak-kanak kita. seperti sebuah album,

sebagaimana kita menyatu  dalam rumah tangga 

besar. lalu bercakap-cakap tentang terik dan gerimis

dalam hidangan di piring saat pagi dan petang

(Lampung, 2001)


puisi tersebut hendak menggambarkan betapa

“tahi lalat” sebagai penanda bagi kita 

akan selalu terkenang dan dikenang. puisi ini,

sedikit-banyak terinspirasi pertikaian dua etnis

di Sampit pada 2001. bahwa ada yang diabaikan,

manusia tak mampu menandai manusia lainnya

baik sebagai penduduk bumi, sebangsa

dan setanah air: “kita menyatu dalam rumah tangga

besar’ bernama Indonesia. di dalam rumah tangga

itu manusia Indonesia saling bercakap, bahkan 

menyantap hidangan yang sama, “saat pagi dan petang’


*


setiap diri membawa kampung-kampung 

juga setia melekat dalam dirinya dari

ajaran yang diterima leluhur bernama agama


cermati, tentang bagaimana kolonisasi pertama

masuk daerah ini. bagelen. itu nama yang dipetik

dari nama daerah di Jawa – tepatnya di Kabupaten

Purworejo – dan hingga kini wilayah yang berada

di Kabupaten Pesawaran itu, jadi penanda 


lalu, nama-nama lain dari nama daerah dan desa 

di seberang, dibawa ke sini pada saat terjadi 

transmigrasi semasa kepemimpinan Soeharto


tak pelak! ini juga kian diwarnai oleh saudaraku

dari etnis Bali, manakala mereka berdatangan

mengolah hidup agar lebih baik di daerah baru

sebagai “perantau” dengan membawa kampung

dan segala yang membentuknya di tanah asal


budaya – kebudayaan – memperkuat tatanan

hidup manusia. aku, kita, menjadi karena ada 

budaya; ia yang membentuk kita. kita tahu 

aturan-aturan baik maupun salah, halal-haram,

sebab agama yang menanamkan nilai-nilai itu


tapi, apakah aku sudah mengenal kebudayaan 

yang membentuk diriku? apakah yang kuketahui

hanya permukaan; soal nilai diri dengan sebutan

“menjaga marwah” serta “merasa dilecehkan”

atau terjadi “penghinaan” atas adat? sementara,

nilai-nilai kebersamaan, persatuan, persaudaraan

dan sejenis itu, begitu sulit mengejawantah

dalam (ke)hidup(an) sehari-hari


mungkin, aku –kita—kerap gagap memaknai 

Sumpah Pemuda yang diikrarkan pada 1928:

 

“Kami putra dan putri Indonesia, mengaku 

bertumpah darah 

yang satu, tanah air Indonesia.
Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa 

yang satu, bangsa Indonesia
Kami putra dan putri Indonesia menjunjung 

bahasa persatuan, bahasa Indonesia"


ya, bertanah air satu tanah air Indonesia,

berbangsa satu bangsa Indonesia

dan berbahasa persatuan, yakni bahasa Indonesia


di sinilah, aku memaknainya bahwa Indonesia 

yang satu, mampu memersatukan tiap-tiap 

diri ini dengan diri-diri lainnya. objek kita

ialah bangsa, tentu tanpa meniadakan budaya-budaya

yang telah membentuk sejak buaian di rahim bunda

betapa pun aku berbeda pandangan, baik politik,

pilihan berpolitik, cara memandang kau di depanku

yang tak sehaluan dalam beragama; tak lantas 

kita berbeda, apatah lagi “berpecah belah”. bahkan,

dalam soal kaya dan miskin, lalu “berseberangan”

dan saling tikai. kebudayaan, sekali lagi, sejatinya 

dapat mempererat perbedaan-perbedaan yang ada


di padang kurusetra perpolitikan, meski dapat 

memanaskan situasi semampunya dapat diredam

dengan cara, baragkali, kembali kepada sumpah 

yang diikrarkan para pemuda di kala 1928 itu;

tiada yang lebih elok daripada persatuan 

kebersamaan, persaudaraan, ukhuwah

di atas negeri dan tanah air Indonesia


kau boleh tak sama dalam urusan pilihan

aku juga boleh bersikap dalam urusan itu

tapi, kita bisa segera berpelukan seusai 

pesta berlangsung. membangun terlalu

sulit dikerjakan, tinimbang meruntuhkan


bangsa ini sudah terlalu mahal membayar 

persatuan-kesatuan, jelang-jelang reformasi

sebab 32 tahun kita dihipnotis oleh hanya

“bangunlah badannya” lalu lupa pada

“bangunlah jiwanya” (lagu “Indonesia 

Raya”, ciptaan WR. Supratman)


pembangunan bertumpu hanya pada 

kemolekan kota, bangunan ditinggikan,

jalan dilayangkan, dan sebagainya

sementara “membangun jiwa” bagi warga 

negara ini kerap terabaikan. berapa persenkah

pelajaran kebudayaan (moral dan adab) sejak

sekolah dasar sampai perguruan tinggi?


adakah pengenalan tentang kebudayaan 

atau istiadat di tanah pribumi, saat negara 

memindahkan warga dari satu wilayah 

ke lain daerah? barangkali, ya ini mungkin,

tiada. selain mereka yang mau bermigrasi itu

dibekali “pacul dan parang”. lalu, “olahlah 

bumi yang baru ditempati itu...” 


*


pada akhirnya, tiap diri membawa 

kampung-kampung ke mana ia pergi

namun kampung terbaik ialah kampung

bersama, di bawah langit luas, dari pohon

yang satu, album bersama, meja besar,

rumah tangga besar. di sana, 

“bercakap-cakap tentang terik dan gerimis/

dalam hidangan di piring saat pagi dan petang”


aku membayangkan, dan berdoa, suasana 

damai, nyaman, tanpa huru-hara apalagi amok

segera datang dan kupeluk erat-erat


kita tak perlu lagi bawa badik, sekin, kapak

untuk menyelesaikan hal-hal yang justru merusak

tatananan sesanak; bahwa kita benar-benar bersaudara

telah berkorban bagi Indonesia merdeka,

hari ini kita rayakan. Segemilang-gemilangnya...*


salam


Indoensia, 16 Agustus 2024






LIPSUS