ORASI PUISI GEMILANG
setiap diri membawa kampung
dan kebiasaan-kebiasaan adiluhung
leluhur, ke mana ia merantau
itulah tanda, mungkin juga marwah
--pesenggiri dalam bahasa Lampung—
maka, amat elok apabila terus digelorakan
apa saja yang telah jadi kesepakatan leluhur
selagi tak bertentangan dengan keyakinan
yang diantar oleh agama
itulah budaya – kebudayaan – di dalamnya
adat-istiadat yang juga membentuk manusia
memiliki ciri serta kekuatan bahwa manusia
dilahirkan dibesarkan oleh kebiasaan
yang dilihat dirasa maupun diajarkan sejak kecil
suku-suku serta adat-adat itu yang menjadikan
hidup berwarna namun tetap dalam persatuan
bukan satu! melainkan ragam yang menjadikan
taman terlihat indah. itulah seni; coba kita amati
sebuah lukisan, akan terlihat indah lantaran
perpaduan warna di sana. bacalah puisi, nikmati
rima bahasa yang menjadikan kalimat berirama
dan punya lagu. menerbangkan imajinasi sebab
di dalam puisi ada metafora, simbol, serta daya
yang membuat khayal kita melayang
juga musik, dengarlah dengan telinga yang
tidak tuli. bagaimana musisi membangun
suasana agar pendengaran, rasa, hati, imaji
kita seakan hendak mengikuti perjalanan irama
demikian pula; konstruksi rumah, bangunan untuk
ibadah, dan sebagainya. dibangun oleh rasa
yang memiliki nilai-nilai keindahan. bahkan, semesta
juga dicipta oleh Pencipta yang Mahakarya. tiada
setitik zarah pun ciptaan-Nya sisa-sia
bahkan fii ahsani taqwiim
--sebaik-baik ciptaan—
(ke)budaya(an) dan agama itu menetap dalam setiap diri
dan keduanya dibawa ke mana diri itu merantau. puisiku,
“Aku Tandai” sejatinya telah merekamnya. begini:
aku tandai tahi lalatmu dari dunia kanak-kanak
yang tak akan pernah terhapus bilangan
sampai hapal benar
aku pada lekuk dan gerakmu, seperti aku mengenal
tubuhku sendiri
dari akar dan batang rumputan yang pernah kita
petik dulu, kini telah pula jadi pohon:
menahan terik, menepis gerimis supaya tak sampai
menggores tanda di tubuhmu – tahi lalat itu – yang
senantiasa kuingat dan jadi ciri ke mana kau merantau
...
ya. aku tandai tahi lalatmu yang masih kukenang dari
dunia kanak-kanak kita. seperti sebuah album,
sebagaimana kita menyatu dalam rumah tangga
besar. lalu bercakap-cakap tentang terik dan gerimis
dalam hidangan di piring saat pagi dan petang
(Lampung, 2001)
puisi tersebut hendak menggambarkan betapa
“tahi lalat” sebagai penanda bagi kita
akan selalu terkenang dan dikenang. puisi ini,
sedikit-banyak terinspirasi pertikaian dua etnis
di Sampit pada 2001. bahwa ada yang diabaikan,
manusia tak mampu menandai manusia lainnya
baik sebagai penduduk bumi, sebangsa
dan setanah air: “kita menyatu dalam rumah tangga
besar’ bernama Indonesia. di dalam rumah tangga
itu manusia Indonesia saling bercakap, bahkan
menyantap hidangan yang sama, “saat pagi dan petang’
*
setiap diri membawa kampung-kampung
juga setia melekat dalam dirinya dari
ajaran yang diterima leluhur bernama agama
cermati, tentang bagaimana kolonisasi pertama
masuk daerah ini. bagelen. itu nama yang dipetik
dari nama daerah di Jawa – tepatnya di Kabupaten
Purworejo – dan hingga kini wilayah yang berada
di Kabupaten Pesawaran itu, jadi penanda
lalu, nama-nama lain dari nama daerah dan desa
di seberang, dibawa ke sini pada saat terjadi
transmigrasi semasa kepemimpinan Soeharto
tak pelak! ini juga kian diwarnai oleh saudaraku
dari etnis Bali, manakala mereka berdatangan
mengolah hidup agar lebih baik di daerah baru
sebagai “perantau” dengan membawa kampung
dan segala yang membentuknya di tanah asal
budaya – kebudayaan – memperkuat tatanan
hidup manusia. aku, kita, menjadi karena ada
budaya; ia yang membentuk kita. kita tahu
aturan-aturan baik maupun salah, halal-haram,
sebab agama yang menanamkan nilai-nilai itu
tapi, apakah aku sudah mengenal kebudayaan
yang membentuk diriku? apakah yang kuketahui
hanya permukaan; soal nilai diri dengan sebutan
“menjaga marwah” serta “merasa dilecehkan”
atau terjadi “penghinaan” atas adat? sementara,
nilai-nilai kebersamaan, persatuan, persaudaraan
dan sejenis itu, begitu sulit mengejawantah
dalam (ke)hidup(an) sehari-hari
mungkin, aku –kita—kerap gagap memaknai
Sumpah Pemuda yang diikrarkan pada 1928:
“Kami putra dan putri Indonesia, mengaku
bertumpah darah
yang satu, tanah air Indonesia.
Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa
yang satu, bangsa Indonesia
Kami putra dan putri Indonesia menjunjung
bahasa persatuan, bahasa Indonesia"
ya, bertanah air satu tanah air Indonesia,
berbangsa satu bangsa Indonesia
dan berbahasa persatuan, yakni bahasa Indonesia
di sinilah, aku memaknainya bahwa Indonesia
yang satu, mampu memersatukan tiap-tiap
diri ini dengan diri-diri lainnya. objek kita
ialah bangsa, tentu tanpa meniadakan budaya-budaya
yang telah membentuk sejak buaian di rahim bunda
betapa pun aku berbeda pandangan, baik politik,
pilihan berpolitik, cara memandang kau di depanku
yang tak sehaluan dalam beragama; tak lantas
kita berbeda, apatah lagi “berpecah belah”. bahkan,
dalam soal kaya dan miskin, lalu “berseberangan”
dan saling tikai. kebudayaan, sekali lagi, sejatinya
dapat mempererat perbedaan-perbedaan yang ada
di padang kurusetra perpolitikan, meski dapat
memanaskan situasi semampunya dapat diredam
dengan cara, baragkali, kembali kepada sumpah
yang diikrarkan para pemuda di kala 1928 itu;
tiada yang lebih elok daripada persatuan
kebersamaan, persaudaraan, ukhuwah
di atas negeri dan tanah air Indonesia
kau boleh tak sama dalam urusan pilihan
aku juga boleh bersikap dalam urusan itu
tapi, kita bisa segera berpelukan seusai
pesta berlangsung. membangun terlalu
sulit dikerjakan, tinimbang meruntuhkan
bangsa ini sudah terlalu mahal membayar
persatuan-kesatuan, jelang-jelang reformasi
sebab 32 tahun kita dihipnotis oleh hanya
“bangunlah badannya” lalu lupa pada
“bangunlah jiwanya” (lagu “Indonesia
Raya”, ciptaan WR. Supratman)
pembangunan bertumpu hanya pada
kemolekan kota, bangunan ditinggikan,
jalan dilayangkan, dan sebagainya
sementara “membangun jiwa” bagi warga
negara ini kerap terabaikan. berapa persenkah
pelajaran kebudayaan (moral dan adab) sejak
sekolah dasar sampai perguruan tinggi?
adakah pengenalan tentang kebudayaan
atau istiadat di tanah pribumi, saat negara
memindahkan warga dari satu wilayah
ke lain daerah? barangkali, ya ini mungkin,
tiada. selain mereka yang mau bermigrasi itu
dibekali “pacul dan parang”. lalu, “olahlah
bumi yang baru ditempati itu...”
*
pada akhirnya, tiap diri membawa
kampung-kampung ke mana ia pergi
namun kampung terbaik ialah kampung
bersama, di bawah langit luas, dari pohon
yang satu, album bersama, meja besar,
rumah tangga besar. di sana,
“bercakap-cakap tentang terik dan gerimis/
dalam hidangan di piring saat pagi dan petang”
aku membayangkan, dan berdoa, suasana
damai, nyaman, tanpa huru-hara apalagi amok
segera datang dan kupeluk erat-erat
kita tak perlu lagi bawa badik, sekin, kapak
untuk menyelesaikan hal-hal yang justru merusak
tatananan sesanak; bahwa kita benar-benar bersaudara
telah berkorban bagi Indonesia merdeka,
hari ini kita rayakan. Segemilang-gemilangnya...*
salam
Indoensia, 16 Agustus 2024