Cari Berita

Breaking News

Merayakan Malam Puisi, ‘Segala untuk’ Sutardji Calzoum Bachri

Dibaca : 0
 
Senin, 08 Juli 2024

INILAMPUNG.COM, Bandar Lampung - Presiden Penyair Indonesia, Sutardji Calzoum Bachri batal hadir di acara Penyair Perempuan Indonesia “Pulang ke Kampung Tradisi 4: Menyulam Kata di Tanah Lada”, Minggu 7 Juli 2024 malam.


Pukul 20.00 sejatinya acara sudah dimulai sesuai flyer atau jadwal dalam undangan. Suasana di Lamban Akas, Palang Besi, Kemiling – milik Adolf Ayatullah Indrajaya, baru di isi obrolan santai beberapa orang. Tamu, yakni peserta Pulang ke Kampung Tradisi 4 belum datang. Mungkin masih di penginapan masing-masing. 


Penyair perempuan yang meramaikan Pulang ke Kampung Tradisi, Menyulam Kata di Tanah Lada yang tersisa – lainnya sudah kembali ke kota masing-masing – tak seberapa datang di acara Merayakan Malam Puisi khusus membaca karya-karya puisi Sutardji Calzoum Bachri. Selain penyair dan penilmat puisi dari Lampung.


Sutardji dikenal dengan Presiden Penyair Indonesia. Penyair kelahiran Riau 83 tahun itu juga dikenal sebagai penulis puisi yang kembali ke akar tradisi melayu; mantra. 


Ia juga menuliskan kredo dalam penciptaan puisi. Kredo Sutardji ini pertama kali ditayangkan di majalah Horison No.12 Th.IX, Desember 1974, halaman 361. Kemudian dimuat sebagai pengantar kumpulan O (dalam O Amuk Kapak, 1981).


Bagi penciptaan puisi-puisinya, Sutardji mengatakan:  Kata-kata bukanlah alat mengantarkan pengertian. Dia bukanlah seperti pipa yang menyalurkan air. Kata-kata adalah pengertian itu sendiri. Dia bebas.// Dalam kesehari-harian kata cenderung dipergunakan sebagai alat untuk menyampaikan pengertian. Dianggap sebagai pesuruh untuk menyampaikan pengertian. Dan dilupakan kedudukannya yang merdeka sebagai pengertian.


Itulah sebagian kredo Sutardji Calzoum Bachri yang sangat dilenal. Ia membebaskan kata-kata. Karena “kata-kata adalah pengertian itu sendiri, (dan) kata-kata bukanlah alat mengantarkan pengertian.”


Kredo Sutardji itu sejak diikrarkan pada 1974 sampai kini masih diperbincangkan dan dikaji di ruang-ruang kampus dan diskusi.


Sutardji punya sendiri menyampaikan sesuatu di dalam puisinya. Maka daya dan gaya ucap puisinya sangat berbeda dari dan dengan penyair Indonesia lainnya sezaman dia ataupun muasir. Sampak bikin Dami N Toda mengandaikan jika Chairil Anwar adalah mata kanan puisi Indonesia maka Sutardji adalah mata kirinya.


Saat ini Sutardji berumur 83 tahun. Ia selalu serius, tapi juga kerap kelakar. Ia begitu humor menyela pikirannya yang selalu serius. Ketika ketua Penyair Perempuan Indonesia, Kunni Masrohanti, berujar “Beri kata-kata terakhir bang Sutardji”. Apa kata Tardji: “Taklah kata-kata teralhir, sepertinya aku mau mati.”


Kelakar lainnya, *Hei Kunni, jangan pula kau berteori-teori.” Betapa penyair ini suka bergurau. Dialog ini terjadi saat pertemuan melalui aplikasi google meet semacam zoom pada perayaan Malam Puisi khusus baca puisi Sutardji Calzoum Bachri di Lamban Akas, Mingu malam.


Merayakan Malam Puisi sejatinya untuk takzim para panitia Pulang ke Kampung Tradisi kepada Sutardji CB. Yakni pembacaan puisi karya-karya maestro Indonesia tersebut, dengan menghadirkan para penyair dan pembaca puisi di Lampung serta penyair perempuan yang masih bermalam di Tanah Lado.


Akhirnya, meski tanpa kesertaan SCB acara yang sudah digagas bertalian kegiatan pulang ke kampung tradisi tetap berlangsung. Tentu saja dengan semarak yang tak hilang sedikit pun.


Para seniman Lampung meramaikan dan merayakan. Bahkan para seniman generasi “estafet* bagi dunia literasi/seniman memenuhi bangku-bangku kafe Lamban Akas.


Pukul 20.50, acara pun dimulai. Farhan Anggi dari Komunitas Penulis Muda Lampung, ketua pelaksana, memnberi pengantar. Lalu Kunni Masrohanti, ketua PPI, memberi sambutan dan mengawali baca puisi karya Sutardji CB.


Berturut-turut tampil Isbedy Stiawan ZS duet Fitri Angraini, Salwa Pramesti Maharani, Devi Matahari, Kurnia Effendi-Jauza Imani, Iin Muthmainnah, Edy Samudra Kertagama, Siti Salmah, Anggi Farhan, TravelbyDeddy, dr. Reihana, Adolf Ayatullah Indrajaya.


Devi, Iin, Kunni, dan Siti Salmah boleh disebut “merajai” panggung Malam Puisi, pembacaan puisi-puisi Sutardji walaupun kondisi mereka tak lagi prima.


Para penyair sekaligus pembaca puisi itu memberi energi dalam pemanggungan seni di Bandad Lampung. Mereka jaid obat ketidakhadiran sang maestro puisi, Sutardji Calzoum Bachri.


Merayakan Malam Puisi ini, sebagai persembahan untuk Presiden Penyair Indonesia; segala untuk Sutardji.(bd/inilampung)




  




LIPSUS