Wiyoso yang didampingi Ady Setia Kristiawan Kasubag. Tanaman Regional 7 menyatakan secara kultur teknis dan operasional, budidaya karet di Thailand tidak berbeda dengan di Indonesia.
“Saya melihat tidak ada perbedaan signifikan dari aspek kultur teknis dan agronomis. Yang sangat berbeda adalah regulasi pemerintah terhadap komoditas ini. Mereka punya Lembaga atau Badan khusus yang mengurusi karet yang bertanggung jawab langsung kepada Perdana Menteri. Dan yang lebih penting lagi, semua aspek dalam tata kelola karet ini dalam kendali lembaga itu. Nama lembaga itu RAOT. Menurut saya, kita butuh adanya Badan Karet Nasional seperti itu,” kata dia di Bandar Lampung, Senin (8/7/24).
Ekshibisi ke Thailand ini diinisiasi Kementerian Kordinator Bidang Perekonomian dipimpin oleh Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Agrobisnis, Dida Gardera. Ikut dalam rombongan, Direktur Pemasaran PTPN III (Persero) Holding Perkebunan Nusantara Dwi Sutoro, Asisten Deputi Pengembangan Agribisnis Perkebunan Moch. Edy Yusuf, dan beberapa analis ahli dari Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian RI.
Wiyoso menambahkan, peran RAOT dalam tata kelola komoditas karet di Negara Penghasil karet nomor satu di dunia itu sangat dominan. Seluruh regulasi yang berlaku dalam bisnis karet negara dikendalikan oleh RAOT secara ketat. Lembaga non departemen ini juga menangangi aspek sosial, dampak lingkungan, standar harga, hingga tata niaga karet di dalam negeri.
“Kita bisa maklumi karena Thailand adalah negara Kerajaan. Jadi, semua relatif lebih mudah dalam satu kendali. Padahal, di sana 70% karet dikelola rakyat, tetapi semua patuh dengan regulasi yang dikeluarkan RAOT,” kata Bang Yos, sapaan akrabnya.
Tentang teknis dan aspek agroklimat di Thailand, Wiyoso menyebut relatif sama dengan di Indonesia pada umumnya. Namun, secara produksi dan produktivitas, karet di Thailand lebih unggul. Produktivitas karet di Thailand tercatat 1,5 s/d 2 ton per hektare per tahun.
“Kalau produksi dan produktivitasnya kita belum mencapai. Karet milik kita (PTPN I Regional 7) paling banter di angka 1,6 ton per hektare per tahun. Perkiraan saya, faktornya ada pada kesehatan tanaman. Mereka tidak terserang penyakit daun pestaloptiosis. Kebunnya teduh, gelap karena daunnya sehat. Mungkin karena di sana suhu udaranya lebih panas, ya. Jadi, jamur Pestalotiopsis tidak berkembang,” kata dia.
Wiyoso mengakui, efek jamur pestaloptiosis kepada produksi dan produktivitas karet sangat besar. Sedangkan sejak tujuh tahun lalu hingga saat ini, hampir semua kebun karet milik PTPN I Regional 7 terserang Pestalotiopsis.
“Kita tahu efek serangan jamur pestalotiopsis mengakibatkan penurunan produksi 30-40 persen. Artinya, secara kalkulasi kalau tanaman kita tidak kena pestalotiopsis, itu produksinya juga relatif sama dengan di Thailand. Sementara hingga saat ini jamur itu belum ada obatnya. Beberapa treatmen yang kami lakukan juga belum membuahkan hasil yang menggembirakan,” kata dia.
Meskipun demikian, Wiyoso mengaku mendapat banyak masukan dari kunjungan tiga hari di Thailand itu. Beberapa aspek teknis dan perlakuan khusus dia dapatkan informasinya dari RAOT yang juga menjadi pusat riset karet nasional Thailand itu.
“Saya kira banyak manfaat dari benchmarking ke RAOT, antara lain bahwa penguatan kondisi kesehatan tanaman menjadi hal yang paling utama dalam upaya memperoleh hasil produksi karet yang optimal dengan melakukan pemupukan secara rutin. Kedua, strategi menciptakan laba dengan pemilihan Klon karet dengan metabolisme rendah (Slow Starter) dan mengkombinasikannya dengan pola penyadapan frekwensi rendah (Low Tapping Frekwensi) dengan efisiensi biaya tenaga kerja. Ketiga, pembinaan dan pendampingan petani karet sehingga dapat menghasilkan bokar kualitas terbaik dan harga yang lebih bersaing dengan menghubungkan langsung antara petani karet dan perusahaan pengolahan karet”.(*)