Oleh Denny JA
"Tapi Jakarta lebih kejam daripada Belanda!"
Sampai kini warga tak juga mengantongi tanda warga negara.
Di Register 45 kini sudah terdapat lima dusun: Moroseneng, Morodadi, Morodewe, Sukamakmur, dan Asahan.
Pemerintah tetap saja tak mengakui kewarganegaraannya.”
Ini penggalan puisi esai, dalam buku “Dari Moro Moro
(Negeri Asing Itu)
hingga Tanah Jiran (2018). Penulisnya Isbedy Stiawan. Ketika esai ini ditulis (6/6- 2024), sang penyairnya sedang berulang tahun ke 66.
Isbedy mengekspresikan kisah masyarakat Moro Moro di Kabupaten Mesuji, Lampung. Mereka mulai menempati lahan Register 45 pada tahun 1996-1997. Itu terjadi akibat desakan ekonomi saat krisis moneter.
Mereka, sekitar 3.000 jiwa, mengelola 2.444 hektar tanah untuk tanaman karet dan singkong. Tidak memiliki dokumen kependudukan, mereka dianggap penduduk ilegal dan "perambah hutan".
Hal ini menyebabkan mereka tidak mendapatkan hak dasar seperti layanan kesehatan, pendidikan, dan hak partisipasi politik.
Meski telah berusaha membangun komunitas sendiri, mereka terus menghadapi ancaman penggusuran dan ketidakpastian hukum.
-000-
Cukup tersentak saya membaca kisah masyarakat Moro- Moro dalam ekspresi puisi esai Isbedy.
Saya mengenal sang penulisnya, Isbedy, sudah jauh lebih lama. Tapi tulisannya soal Moro- Moro ini membuat saya memperhatikan Isbedy lebih jauh.
Tiga hal ini yang terasa kuat pada Isbedy. Kesan pertama adalah sikap bebasnya sebagai penulis. Ketika serangan atas genre puisi esai begitu kerasnya, Isbedy rileks saja menulis puisi esai.
Atas reaksi bermusuhan banyak teman dekatnya, Isbedy menyatakan ia seornang penulis profesional. Ia bisa dan tak sungkan menulis apa saja. Menulis puisi esai pun ia anggap sebagai bagian eksplorasinya atas dunia penulisan.
Kesan kedua adalah daya tahannya sebagai penulis. Sudah sekitar 50 tahun Isbedy menulis sejak masa SMP dan SMAnya.
Sementara kita tahu, di masa kini, menulis bukanlah profesi yang basah secara ekonomi. Kita banyak mendengar kisah sedih para penulis senior di masa tuanya. Secara ekonomi, banyak penulis senior yang tidak hidup dalam batas yang layak.
Di masa tua bagi penulis, zaman terasa kejam. Jika bagi masyarakat Moro- Moro Jakarta lebih kejam dari Belanda, bagi banyak penulis tua, masa kini jauh lebih kejam dibandingkan Jakarta.
Tapi Isbedy terus saja menulis. Sejak tahun 1982, Isbedy sudah menerbitkah buku. Bahkan sejak tahun 2003, hampir setiap tahun ia menerbirkan buku. Pernah di tahun 2005, Isbedy menerbitkan lima buku. (1)
Semua bukunya umumnya kumpulan sajak dan kumpulan cerpen.
Kesan ketiga adalah kuatnya hati penyair Isbedy. Bahkan dalam tugasnya selaku wartawan/jurnalis, ia hidupkan dan bangun sense of poetry dalam kerja jurnalistiknya.
Laporan berita yang ditulis Isbedy terasa renyah dan sastrawi.
Selamat ultah, teman. Semoga panjang umur, panjang berkarya Paus Sastra Lampung. ***
Jakarta 6 Juni 2024
CATATAN
(1) List buku karya Isbedy Stiawan
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Isbedy_Stiawan_ZS