Cari Berita

Breaking News

Mudik: Perjalanan Spiritual Menuju ‘Hablum Minannas’

Dibaca : 0
 
Minggu, 07 April 2024

Oleh Isbedy Stiawan ZS


SAYA buka tulisan ini dengan puisi “Cukup Tangan Ibu” – ditulis April 2024 – tentang mudik, yang lahir dari pengalaman spiritual (setidaknya pengalaman pribadi):


CUKUP TANGAN IBU


aku pulang 

ingin basuh

seluruh tubuh

cukup tangan ibu

seperti dulu

ketika masih gagu

kaki tak bisa berdiri


aku mudik 

padamu ibu

banyak daki

kuingin kau 

yang lepaskan

hanya dengan 

bahasa + senyum


ibu. lebih wangi

dari segala pasta


aku mudik 

kutinggalkan 

segala perjalanan

cuma untuk 

jalan yang baru 

padamu ibu


ibu, aku mudik saja

jika kau sudah tiada

ke mana lagi pulangku?


lagu pun sumbang

2024


Arus puncak mudik untuk merayakan Idul Fitri 1445 sudah dimulai Sabtu 6 April 2024. Semua pintu perjalanan – terutama pelabuhan penyeberangan laut – padat; bahkan mengakibatkan macet sekira 12 km menuju Pelabuhan Merak. 


Peristiwa lain, kecelakaan tunggal dengan korban meregang nyawa. Semoga kecelakaan tidak terjadi lagi di waktu atau di hari lain – baik arus mudik maupun arus balik – harapan kita demikian.


Kita juga berharap para pemudik tetap gembira walaupun melelahkan di perjalanan, berdesak-desakan, atau malah seperti cerita sekeluarga yang tertinggal kereta di Stasiun Senen, Jakarta. Keluarga ini gagal mudik.


Ada cerita tetangga yang harus bermalam di Bandara Soekarno-Hatta. Keluarga ini dari Medan ke Lampung. Mungkin tiket konekting Medan-Lampung, dan untuk penerbangan ke Lampung harus esok hari. 


Semua itu adalah kisah perjalanan mudik. Para pemudik, rela berpeluh, lelah, mengantuk, dan seterusnya. Hanya untuk merengkuh keriangan di kampung (halaman) ibu atau keluarga.


Lalu apa mudik? Mengutip KBBI dalam wikipedia mengartikan, mudik disinonimkan dengan istilah pulang kampung adalah kegiatan perantau/pekerja migran untuk pulang ke kampung halamannya.


Di Indonesia mudik identik dengan tradisi tahunan yang terjadi menjelang hari raya besar keagamaan, misalnya menjelang Idul Fitri, Idul Adha, Natal dan Tahun Baru. 


Pada saat itulah ada kesempatan untuk berkumpul dengan sanak saudara yang tersebar di perantauan, selain tentunya juga sowan dan sungkeman dengan orang tua. 


Transportasi yang digunakan antara lain pesawat terbang, kereta api, kapal laut, bus, dan kendaraan pribadi seperti mobil dan sepeda motor, bahkan truk dapat digunakan untuk mudik.


Jadi, mudik dapat dimaknai sebagai perjalanan (spiritual) para perantau atau pekerja di kota/wilayah lain yang bisa saja jauh dari kampung kelahiran (rumah ibu). Para migran ini selama setahun bekerja untuk hidup keluarga, boleh jadi sebagian penghasilan dari kerjanya untuk biaya pulang kampung di saat Lebaran. 


Perjalanan spiritual ini sebagai bentuk hablum minannas – hubungan sesama manusia, atau hubungan sosial dan kemanusian. Dalam Islam hal ini dianjurkan, yakni mempererat silaturahim. Tali persaudaraan yang mungkin renggang atau malah putus! 


Mudik menyambung kembali. Mudik pula melepas kerinduan setelah hampir 12 bulan terpisah. Dengan mudik, segala keterpisahan terikat lagi. Pada saat mudik, rasa-rasanya dapat menghapus dosa antarmanusia. Khususnya pada ibu (orang tua/saudara yang dituakan), para mudik kembali “meminta” restu dan ikhlas di perantauan. Ada ajaran, restu orang tua (utamanya ibu) dapat melancarkan usaha dan cita-cita.


Mudik bisa pula diartikan sebagai pulang kepada ibu. Sebah, ibu adalah magnet yang mengajak perantau pulang/mudik. 


Inilah yang saya gambarkan dalam bait puisi di atas: aku pulang/ingin basuh/seluruh tubuh/cukup tangan ibu/seperti dulu/ketika masih gagu/kaki tak bisa berdiri.//aku mudik/kutinggalkan/segala perjalanan/cuma untuk/jalan yang baru/padamu ibu.


Ibu dalam ajaran Islam (bagi muslim) adalah “orang kedua” yang wajib dihormati (ditaati) saat di dunia. Kita – sebagai anak – dilarang membantah, selagi bukan untuk berbuat syirik atau mensekutukan Allah.


Maka ketika ada sahabat Rasulullah bertanya, siapa yang wajib dihormati di dunia, kanjeng Nabi Muhammad menyebut Ibu sampai tiga kali. Setelah itu, “ayahmu.”


Betapa pentingnya ibu dalam kehidupan seseorang (anak). Maka benar bahwa kesuksesan seorang anak tergantung dari ridho ibu.


Maka jutaan manusia di bumi ini akan melakukan perjalanan jauh dan melelahkan hanya demi menemui ibu dan sungkem di tubuhnya. Meminta maaf sekaligus keikhlasan jika anak khilaf.


Di tangan seorang ibu seakan takdir kematian seorang anak. Ada kisah seorang anak sulit melepas napas terakhirnya, karena satu kesalahannya pada ibu. Akhirnya dipanggil dan dibawa sang ibu itu dan diminta untuk memaafkan anaknya. Setelah dimaafkan dan diikhlaskan oleh sang ibu, anaknya pun wafat.


Peristiwa mudik senyampangnya bukan saja di jazirah Nusantara, melainkan di negara-negara lain. Pernah viral gambar bagaimana pemudik di Indonesia berimpitan di dalam kereta api, bahkan berdesakan di atap kereta. Hanya untuk mencapai kampung halaman.


Ibu adalah magnet mengapa seseorang atau lebih orang melakukan perjalanan dari satu ke kota lain atau disebut mudik. Biarpun lelah, peluh, ngantuk, atau berisiko besar di perjalanan. Demi mencium tangan ibu, sungkem, peluk kasih sayangnya. 


Selain itu, berkunjung ke jiran di kampung, bertemu kerabat atau karib sewaktu anak-anak dan remaja. Mengenang masa-masa itu, tertawa, dan bisa saja membawa seseorang saat balik ke kota. Untuk menambah perantau.


Dan ini bagian dari hubungan (baik( sesama) manusia: kerabat, jiran, dan lainnya (juga mantan?) sebagai bentuk anjuran kepada kita: hablum minannas setelah menunaikan hubungan kepada Allah –  hablum minallah – yaitu dengan tunduk & tawadhu berserah diri, melalui ibadah dan mengamalkan yang baik.


Ah, ihwal ibu, teringat pada puisi “Ibu” karya (ustadz) D. Zawawi Imron. Saya turunkan (sebagian) sebagai penutup:


kalau aku merantau lalu datang musim kemarau

sumur-sumur kering, daunan pun gugur bersama reranting

hanya mata air air matamu ibu, yang tetap lancar mengalir

bila aku merantau

sedap kopyor susumu dan ronta kenakalanku

..

kalau aku ikut ujian lalu ditanya tentang pahlawan

namamu, ibu, yang kan kusebut paling dahulu

lantaran aku tahu

engkau ibu dan aku anakmu

bila aku berlayar lalu datang angin sakal

Tuhan yang ibu tunjukkan telah kukenal

ibulah itu bidadari yang berselendang bianglala


Selamat mudik, lanjutkan tradisi ini, sekaligus dianjurkan menjalin hubungan antarmanusia & sosial, yakni hablum minannas: spiritual perjalanan hidup manusia.***

Sabtu-Minggu, 6-7 April 2024

_______

*) Isbedy Stiawan ZS adalah sastrawan dan wartawan, menetap di Lampung.

LIPSUS