Cari Berita

Breaking News

Politik Baru: Di Balik Kemampuan Ikut Memenangkan Pilpres 5 Kali Berturut-Turut

Dibaca : 0
 
Rabu, 21 Februari 2024


Oleh Denny JA


"Bagi saya dan teman-teman LSI Denny JA, mendapatkan penghargaan ini, THE LEGEND AWARD, karena lima kali ikut memenangkan Pilpres berturut-turut (Pilpres 2004, 2009, 2014, 2019, 2024), itu seperti sampai di puncak gunung yang tinggi sekali.”


Begitu tinggi tempat itu mungkin puncak gunung itu belum pernah disentuh oleh siapapun. Karena itu, hening suasananya dan sendirian juga di sana.


Melihat sejarah di aneka negara demokrasi, memang belum pernah terjadi satu konsultan politik yang tercatat berhasil memenangkan presiden di negaranya lima kali berturut-turut. 


Memang belum pernah juga terjadi di negara demokrasi manapun, konsultan politik yang memenangkan, misalnya juga Perdana Menteri (lewat kemenangan partainya), lima kali berturut-turut. 


Namun yang membuat kita senang lagi justru  adalah GAGASAN BESAR di belakang pencapaian. Apakah itu? 


Ini adalah penanda buah yang paling manis dari datangnya politik baru. Katakanlah ini politik 2.0, kombinasi antara politik demokrasi yang dikawinkan dengan revolusi dalam ilmu sosial.


Ini pesan yang selalu kita berikan kepada siapapun yang ingin menjadi pemimpin di Indonesia, jadi Bupati, Walikota, Gubernur, apalagi Presiden. Pahamilah hukum besi dari politik baru. 


Dua prinsip utama politik baru. Pertama  adalah perilaku pemilih di era politik demokrasi: One Man One Vote. Satu warga, satu suara. Kesetaraan nilai warga negara di kotak suara.


Untuk menang dalam pertarungan politik baru, dengarlah the heart and the mind of the people. Pahami aspirasi  rakyat banyak yang jumlahnya saat ini 204 juta pemilih. 


Maka, buka telinga, tidak hanya untuk apa yang heboh di dunia elit di kota-kota besar. Tak hanya suara politisi, pengusaha, para aktivis di kota-kota besar.


Tapi juga dengarkanlah suara rakyat banyak yang ada di pegunungan dan di ujung-ujung desa. Karena dalam politik demokrasi, berlaku prinsip one man one vote.


Inilah kenyataannya. Suara satu orang profesor di universitas ternama di Jakarta sama nilainya dengan suara satu petani di ujung Papua, sana, atau di pegunungan di Aceh, yang terisolasi.


Suara para intelektual, satu aktivis yang militan di medsos sama nilainya dengan suara satu buruh di ujung-ujung kota, di Maluku, di Sulawesi, di Kalimantan.


Apalagi, mereka lah yang menentukan kemenangan. Dalam demografi populasi Indonesia, yang tak lulus SD, lulus SD, tak lulus SMP, lulus SMP, jumlah mereka 60% dari keseluruhan populasi pemilih. Begitu banyaknya.


Sementara kalangan terpelajar, mahasiswa yang tamat D3, D1, S1, S2, S3, profesor, hanya 10% populasi pemilih. Ini hukum perilaku pemilih. Ketahuilah mereka wong cilik itu, jumlahnya enam kali lebih banyak dibandingkan  wong gede atau kaum terpelajar. 


Banyak  sekali kalangan terpelajar kita, akademisi, kita, politisi, kita, yang salah memahami.  Mereka mengira apa yang heboh di kota-kota besar, apa yang heboh di medsos, di WAG yang mereka aktif, mereka mengira itulah miniatur dari pemilih Indonesia, dari Aceh, sampai Papua.


Di situlah mereka kecele dan kaget melihat hasilnya. Persepsi, pilihan, apa yang dianggap penting di kalangan wong cilik  acap kali justru berbeda dengan persepsi kalangan terpelajar.


Suara wong cilik ini “The Silent Majority, yang acapkali berbeda dengan apa yang nyaring dan ramai di medsos dan di kampus-kampus. 


Ini hukum pertamanya, perilaku pemilih. Masalahnya, bagaimana cara kita tahu? Bagaimana tahu apa yang ada dalam the heart and the mind of the people, yang 204 juta banyaknya?  Persepsi mereka pun dinamis, berubah-rubah setiap waktu. 


Ini elemen kedua dalam politik baru. Yaitu datangnya  revolusi ilmu sosial.  Ilmu pengetahuan sudah sampai di sana.  Ilmu statistik sudah tiba  di sini.


Suara 204 juta pemilih bisa kita ketahui hanya dari 1200 warga saja, yang dipilih berdasar metodelogi tertentu. Hanya  dari 1200 orang saja, kita bisa mengetahui apa yang bergema pada pemilih Indonesia, dari Aceh sampai Papua,.


Kombinasi inilah, ilmu sosial kuantitatif yang dikawinkan dengan politik praktis, membuat LSI Denny JA memiliki perangkat yang besar sekali, untuk ikut membaca peta opini, dan juga kemudian mengubah peta opini. 


Karena itu, kepada para tokoh  yang ingin menjadi pemimpin di Indonesia, apakah gubernur, bupati, walikota, apalagi presiden, ia boleh dibantu siapapun. 


Namun jika  ia ingin menang dan terpilih, ia perlu berada dalam gelombang  politik baru.


Harus dipastikan bahwa di sebelah kanannya berdiri lembaga survei, dan di sebelah kirinya berdiri konsultan politik. Tentu saja lembaga survei dan konsultan politik yang kredibel, yang jejaknya tercium dan tersimpan di internet. ***


Denny JA, konsultan politik, pendiri LSI Denny JA

LIPSUS