Hutan kota Bandarlampung kini gundul dan kabarnya akan dibangun menjadi pusat bisnis. Foto. Ist. Oleh: Andi – Jaringan Rakyat |
INILAMPUNG.COM -- Perjalanan menuju rumah di bilangan TanjungSenang, terpaksa berhenti di pojok pertokoan Pasar Koga Bandarlampung. Air hujan yang turun deras sore itu, memaksa saya untuk menepi bersama puluh pemotor berteduh di pelataran toko. Sudah satu seminggu ini setiap sore Bandarlampung diguyur hujan.
Waktu menunjukan pukul 17.30 WIB. Air dari langit belum juga berhenti. Untuk mengisi waktu, saya bercengkrama bersama pengendara roda dua lainnya sembari menikmati sebatang rokok.
"Rokok bang..!" Tawarku pada seorang bapak berbadan gempal yang duduk sembari menikmati secangkir kopi. "Pulang kemana kyai..?" tanya bapak yang bernama Enderson, sembari menyulut sebatang rokok yang kutawarkan.
"Jatiagung, bang," jawabku sembari memandang langit berwana putih dihiasin rombongan air hujan yang turun deras.
Hujan mulai reda, pemotor yang tadi menunggu, satu persatu mulai menghidupkan kendraannya. "Dah reda mas," kata Enderson. "Mendung putih ni awet, bisa nyampe malam, selip-selip deres lagi", terangnya.
Sayapun mengkuti anjurannya. Beranjak menyalakan motor meninggalkan Enderson yang akan melanjutkan tugas menjaga toko di lokasi itu.
Jalan Teuku Umar sore itu cukup padat. Si biru motor lengent produk tahun 2005, melaju pelan karena kondisi jalan ramai kendaran. Bahkan, pemotor hanya kebagian satu jalur untuk dua pemotor, tiga jalur lainnya dipadati kendaraan roda empat.
Menaiki tanjakan depan kantor PTPN VII, kendaraan berhenti, macet. Penyebabnya, ada kendaraan parkir depan Puksesmas Kedaton yang memakan badan jalan. Ditambah kendaraan dari arah Gang PU yang akan ambil arah ke kanan dan kiri dibawah fly over Teuku Umar. Serta kendaraan dari depan mall yang memutar ke kanan dan lurus ke SPBU.
Sembari menusap helm yang mulai dipenuhi air hujan, bunyi lakson kendaraan yang saling bersautan.
Sekitar lima menit kemudina, akhirnya keluar juga dari kemacetan.Si biru bisa melaju sampai flay over Kimaja, Wayhalim, Bandarlampung. Genangan air hujan di jalan menuju Way Halim mewarnai perjalan. Tak ayal genangan itu mengenai pengendara bermotor karena semburan dari kendaraan roda empat.
Sebelum beranjak istirahat, sembari memandang langit kamar, saya berpikir: "Kota Bandarlampung tak baik-baik Saja".
Teringat pada tahun 2000 an, saat dipindah tugas ke kantor pusat di Bandarlampung. Teman yang lebih dulu tinggal di ibu kota Provinsi Lampung berujar: “Kota dengan potensi besar. Ada pelabuhan yang strategis, sumber daya alam yang melimpah, dan budaya yang kaya”.
Menelusuri Jalan Zainal Pagar Alam, Jalan Soemantri Brojonegoro, Jalan Teuku Umar merupakan area pendidikan. Terdapat fasilitas pendidikan mulai tingkat sekolah dasar sampai perguruan tinggi ada di sepanjang area itu.
Kemudian Jalan Raden Intan - Jalan Kartini menjadi area perekonomian dengan pusat perbelanjaan, pertokoan, penginapan, perbankan, sampai kuliner semua berada di sini.
Ingin menikmati area hijau dengan perumahan yang tertata rapi, dapat menelusuri Jalan Sultan Agung, Wayhalim - Baypas Seokarno Hatta.
Di daerah itu, terdapat hutan kota dan perumahan, dilengkapi fasilitas pendukung lainya. Seperti gelangang olah raga, pertokoan, perkantoran, dan pasar tradisional berikut spot kuliner.
Lokasi ini, bahkan diebut sebagai paru-paru kota. Dengan luas sekitar delapan hektare hutan kota yang ditanami berbagai jenis pohon. Tempatnya sejuk dan hijau.
Jalan Kimaja - Ratu Dibalau merupakan jalur perumahan dan perkampungan dengan petokoan, dan pasar tradisional.
Semua tertata rapih. Area pendidikan, hutan kota, ruang publik, rumah sakit, pusat perbelanjaan, pusat olahraga dan penginapan.
Transformasi vs Tata Ruang Kota dan Perkembangan Ekonomi Masyarakat
Hadirnya Jalan Tol Tras Sumatera (JTTS) yang menghubungkan Lampung - Sumatera Selatan, mendorong tumbuhnya pembangunan Kota Bandarlampung. Transformasi kota menjadi megapolitan mulai terlihat dengan bertumbuhnya mall, hotel berbintang dan tempat hiburan. Hanya kehadirannya, tidak diselaraskan dengan tata ruang kota.
Mari kita perhatikan sekarang. Area pendidikan, hijau paru-paru kota dan pusat ekonomi. Semua tak ada lagi. Area pendidikan jadi area paket lengkap anak sekolah. Ada kampus, mall, tempat hiburan, hotel, pertokoan, restoran cepat saji, tempat kuliner sampai perkantoran.
Area hijau paru- paru kota, tak lama lagi sirnah dan berubah menjadi pusat perbelanjaan, hiburan dan rupa-rupa (super blok).
Transformasi kota yang digaungkan pemerintah pun masih sebatas wacana. Rencana pembangunan infrastruktur dan penataan kota yang ambisius, nyatanya belum menunjukkan hasil signifikan.
Selain itu, pembangunan Kota Bandarlampung harus diiringi dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Salah satu indikatornya upah minimal reginonal (UMR). UMR Bandarlampung masih tergolong rendah dibandingkan dengan kota-kota besar lainnya di Indonesia.
Transformasi Kota Bandarlampung dan pertumbuhan yang kian pesat beberapa dekade ini. Memberikan pekerjaan rumah tersendiri bagi pemerintah kota. Seperti, kemacetan lalu lintas, polusi, banjir sampah, ketimpangan ekonomi dan sosial menjadi permasalahan terbesar kota ini.
Rencana pemerintah provinsi memindahkan ibu kota ke Kota Baru, sempat digulirkan dalam mengurangi beban Kota Bandarlampung. Namun, akhirnya terbengkalai menjadi gedung gedung tua.
Pertanyaannya, bagaimana kemampuan Bandar Lampung untuk menampung beban kota sebagai ibu kota provinsi?
Melihat dari potensi yang dimiliki Bandarlampung, sebenarnya masih mampu menampung beban sebagai ibu kota provinsi. Namun, perlu ada upaya serius dari pemerintah dan masyarakat untuk mengatasi berbagai tantangan yang ada.
Upaya-upaya ini harus dilakukan secara terencana dan berkelanjutan agar Bandarlampung dapat menjadi kota yang nyaman, aman, dan sejahtera bagi semua penduduknya.
Dan hal terpenting untuk diingat bahwa keputusan memindahkan ibu kota provinsi merupakan keputusan politik yang harus mempertimbangkan berbagai aspek, seperti biaya tinggi, dampak sosial, dan ketidakpastian.
Jika tidak cermat, hasilnya seperti yang terjadi saat ini. Inginnnya membangun Kota Baru, namun hasilnya bangunan terbengkali dan menjadi "kota tua". (*)