Ilustrasi. Ist. |
Oleh: Indra – Sekjen Relawan Perkebunan Nusantara
INILAMPUNG - Lahan perkebunan merupakan salah satu aset penting bagi BUMN. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, lahan perkebunan BUMN kerap diduduki oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Hal ini tentu menjadi permasalahan serius yang harus segera diatasi.
Penegakan hukum terhadap okupan lahan BUMN perkebunan masih terbilang lemah. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya kasus okupasi lahan yang tidak terselesaikan. Bahkan, dalam beberapa kasus, oknum okupan lahan justru berani melakukan perlawanan terhadap petugas yang ingin melakukan pengosongan lahan.
Lemahnya penegakan hukum terhadap okupan lahan BUMN perkebunan menjadi salah satu permasalahan yang menghambat produktivitas dan kinerja BUMN perkebunan. Okupan lahan, baik secara perorangan maupun kelompok, sering kali melakukan aksi penyerobotan lahan perkebunan tanpa izin. Aksi ini dapat menyebabkan kerugian materiil dan nonmateriil bagi BUMN perkebunan.
Berdasarkan data dari Kementerian BUMN, terdapat sekitar 2 juta hektar lahan perkebunan BUMN yang telah diserobot oleh okupan. Kerugian yang dialami BUMN perkebunan akibat penyerobotan lahan ini mencapai triliunan rupiah. Selain itu, penyerobotan lahan juga dapat mengganggu produksi dan produktivitas perkebunan.
Pengelolaan lahan Perusahaan BUMN telah diatur dalam mengatur Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan (UU Perkebunan). Undang-undang ini mengatur tentang pengelolaan tanah perkebunan, baik yang dikelola oleh BUMN maupun swasta.
Pasal 38 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 menyebutkan bahwa BUMN perkebunan dapat diberikan Hak Pengelolaan (HPL) atas tanah perkebunan. HPL adalah hak untuk menggunakan dan memanfaatkan tanah yang dikuasai langsung oleh negara untuk kepentingan pembangunan suatu usaha perkebunan. Hanya saja UU Perkebunan memiliki beberapa kelemahan yang membuat perusahaan BUMN sulit menghadapi penyerobotan tanah. Kelemahan-kelemahan tersebut antara lain:
• Tidak adanya definisi yang jelas mengenai penyerobotan tanah. UU Perkebunan hanya menyebutkan bahwa penyerobotan tanah adalah tindakan yang dilakukan oleh orang atau kelompok orang dengan cara menduduki, menguasai, atau memanfaatkan tanah milik orang lain tanpa izin dari pemiliknya. Namun, definisi ini masih terlalu luas dan tidak memberikan kepastian hukum bagi perusahaan BUMN untuk bertindak.
• Proses hukum yang berbelit-belit. Proses hukum untuk mengusir penyerobot tanah di Indonesia sangat berbelit-belit dan memakan waktu lama. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, seperti banyaknya pihak yang terlibat dalam proses hukum, kurangnya aparat penegak hukum, dan ketidakjelasan regulasi yang mengatur tentang penyerobotan tanah.
• Kurang adanya dukungan dari pemerintah. Pemerintah masih belum memberikan dukungan yang memadai kepada perusahaan BUMN dalam menghadapi penyerobotan tanah. Hal ini terlihat dari minimnya anggaran yang dialokasikan untuk penanganan penyerobotan tanah, serta kurangnya sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat tentang bahaya penyerobotan tanah.
Kelemahan-kelemahan tersebut menyebabkan perusahaan BUMN kesulitan untuk mengusir penyerobot tanah dan melindungi asetnya. Akibatnya, penyerobotan tanah masih menjadi masalah yang serius di Indonesia, termasuk bagi perusahaan BUMN.
Berikut adalah beberapa hal yang dapat dilakukan untuk memperkuat UU Perkebunan dalam menghadapi penyerobotan tanah:
• Menambahkan definisi yang lebih jelas mengenai penyerobotan tanah. Definisi yang jelas akan memberikan kepastian hukum bagi perusahaan BUMN untuk bertindak.
• Menyederhanakan proses hukum. Proses hukum harus disederhanakan dan dipercepat agar perusahaan BUMN dapat mengusir penyerobot tanah dengan lebih mudah dan cepat.
• Memberikan dukungan yang lebih besar dari pemerintah. Pemerintah harus memberikan dukungan yang lebih besar kepada perusahaan BUMN, baik berupa anggaran, sosialisasi, maupun edukasi.
Dengan adanya perbaikan-perbaikan tersebut, diharapkan UU Perkebunan dapat menjadi instrumen yang lebih efektif untuk melindungi perusahaan BUMN dari penyerobotan tanah. (*)