Cari Berita

Breaking News

Petani Milenial yang Gagal

Dibaca : 0
 
INILAMPUNG
Rabu, 18 Oktober 2023


Endriyono

Esais, Tinggal di Bandarlampung


DI TENGAH Pelajaran ilmu keuangan yang menjelaskan nasehat, don’t

put all your eggs in one basket saya sampai di Gamping. Melihat ongkos ojek daring pagi itu hanya 8 ribu. Tak seberapa jauh. Demi irit, atau berusaha mengejawantahkan nasehat kuno tentang teori jangan letakkan telur dalam satu keranjang, saya berjalan kaki dari Gamping ke Wirobrajan. Melewati Ngestiharjo. Di sebelah kiri, orang-orang tandur itu, teriak; "Jangan moto-moto bokong!" 


Kaget, setengah takut sembari terus memotret, saya berjalan cepat. 


Baru berjalan beberapa meter. Di sebelah kanan, juga di samping rumah tembok berpagar tinggi, orang panen padi. Juga saya foto. Tentu tanpa permisi. Hanya sebagai kenangan bahwa analisa tentang petani muda, program yang gagal dibangun itu, sekarang ini faktanya, dunia pertanian masih digeluti orang-orang tua. Proteksi kebijakan pada para petani, sebatas omong kosong. Pun kebijakan perberasan, dinilai banyak kalangan masih compang-camping. Contoh nyatanya, bagaimana mungkin, pemerintah menerapkan penggunaan aplikasi untuk layanan pupuk bersubsidi misalnya, sementara petani sendiri, gaptek. Jangankan untuk order pupuk, uang digital, menerapkan IoT, dlsb. Sekadar untuk videocall saja, petani kita yang butuh subsidi pupuk dan bibit itu, banyak yang tidak bisa. 


Bisa disebut, sampai sekarang ini nyaris tidak ada anak milenial bekerja di tengah sawah. Sebab, anak-anak muda itu cerdas dan tak mau bekerja untuk merugi sebagaimana selama ini dilakoni para tetua kampung. Yang hidupnya tetap dililit kemiskinan dan dicepit berbagai kekurangan. Masuk ke lumpur sawah, dianggap hanya menegaskan garis lingkar kemiskinan. Yang bisa kaya bukan yang sibuk bercocok tanam dan memanen komoditas pertanian, melainkan yang mampu menguasai sektor pasarnya. Misalnya, jadi tengkulak atau yang jual pupuk, pestisita, dan aneka alat pertanian.


Yang pasti, orang tua di ladang itu, bukan empunya tanah. Mereka adalah tetangga yang berpikir kreatif dan punya kemampuan linuwih dalam mengolah sawah. Yang punya sawah, sibuk urusan kantor. Setengah tahun sekali, selalu dapat pembagian hasil. Awalnya empunya sawah diberi beras, tapi karena hasil panen sawahnya tak sepulen dan sewangi kualitas beras premium yang biasa dimakan keluarganya, juragan tanah tak mau diberi beras lagi. Cukup diberi uang, berapa pun hasilnya. 


Setahun bisa panen dua kali, sekali panen kadang dapat 700ribu, kadang 900ribu. Tanpa tenaga, tanpa modal, rutin 6 bulan sekali dari beberapa petak sawah di samping rumah, yang dikelola dua keluarga tua tetangganya, empunya sawah selalu dapat uang setoran hasil panen. 


Tentu empunya sawah masih berfikir rugi jika diperbandingkan dengan dibuat ruko. Sementara buruh taninya, hasil panen itu hanya cukup untuk pangan sampai musim koret berikutnya. Tepat ketika padi njebul, guna memenuhi kebutuhan pangan keluarga, kebanyakan buruh tani itu sudah berhutang lagi. 


Soal aplikasi khusus untuk petani, selain gegayaan pemerintah yang koar-koar sudah menerapkan era digital, hanya dimainkan para penyuluh, tengkulak, dan beberapa anak muda yang melek tekhnologi. 


Sangat wajar, jika belakangan ada sawah di pinggir-pinggir jalan kini jadi perumahan dan atau toko untuk beragam layanan jasa maupun niaga. Membandingkan sewa ruko dengan hasil panen sawah, seperti membandingkan harga secangkir kopi hitam di starbak dengan harga segelas kopi di angkringan. Njomplang sekali. 


Lantas, bagaimana membuat stimulan agar anak muda mau ke sawah atau alih profesi, dari para tetua kampung yang turun ke ladang menjadi kaula muda? Agar ada perubahan besar dalam komoditas maupun modernitas pertanian kita? Jawabnya, hanya satu. Ada jaminan kesejahteraan dan keuntungan hasil jika panen. Kalau pun gagal, jangan sampai rugi. 


Artinya, subsidi sektor pertanian mesti di arahkan ke personalia petani muda. Bukan pupuk, apalagi bibit, yang selama ini sudah terbukti, gagal. 


Sebenarnya, nyaris semua petani yang punya lahan meski satu hektare, dapat dipastikan mulia hidupnya, tidak melarat meski juga tidak kaya. Sekadar cukup untuk sejahtera sewajarnya masyarakat desa. Plus membiayai anak sekolah sampai kuliah.


Baiklah, itu di Jawa. Yang petaninya tua-tua. Kalau saudara masuk ke pedalaman Sumatera, jauh lebih radikal. Hutan pada era 90an ke bawah, jadi ladang palawija dan sawah tadah hujan. Yang sudah reja, bermetamorfosis jadi permukiman. Yang masih perdesaan, jadi ladang sawit atau karet. Dan pemiliknya kian mengerucut ke elit-elit desa. Haji Waluyo misalnya, sudah punya 500 ha lebih kebun sawit. Pak Tri, punya puluhan hektare kebun karet. 


Sementara Pak Min, hanya jadi buruh dodos. Nasib model buruh dodos sawit dan buruh deres karet inilah pencaharian mayoritas warga. 


Anak Haji Waluyo jadi dokter, sederet ruko di jalan protokol kecamatan sudah dimiliki, waralaba modern sampai beragam jenis mobil mewah semua punya. Anak Pak Min, hanya lulus SMA, lalu kerja ke Jabodetabek, lazimnya angkatan kerja baru. Setor tiga juta agar bisa kerja di pabrik yang menerapkan kontrak dua tahun. Gini rasio atau ketimpangan sosial di perdesaan kian tajam. Sebab, luas lahan antarwarga, juga berbeda-beda. Artinya, subsidi atas sektor pertanian pasti tak menyentuh urat nadi dan substansi buruh tani karena ada persoalan dalam reforma agraria yang hingga kini belum juga terselesaikan secara komprehenshif. 


Teman saya yang jadi buruh nderes karet dan ndodos sawit berkata, dimana keadilan dan hadirnya negara untuk kemakmuran rakyat? Saya jawab, di jari anak-anak muda yang duduk di gardu sembari miringkan ponsel sambil mengundi nasib, mengocok takdir. Yaitu, main slot. Klik dadu pragmaticplay. Yang tak punya modal untuk deposit judi online, main game candu model mobil lejen, pubg, atau epep.  


Satu-satunya yang menyatukan ketimpangan anak juragan tanah dengan buruhnya hanya kepemilikan medsos. 


Anak juragan, konten medsosnya pamer kekayaan, anak buruh tani, isi medsosnya, keluh kesah dan meratap-ratap. Lalu skrol video pendek untuk sekadar bisa mengumbar tawa.(*)

LIPSUS