Oleh, Dalem Tehang
“KENDALIIN diri aja. Karena kehebatanmu akan hilang saat kamu tidak percaya pada diri sendiri. Pede ajalah. Apalagi seperti katamu, sidang yang kamu ikuti kan cuma formalitas. Jadi, nggak ada alasan buat kamu nge-drop,” tanggapku, sambil menepuk-nepuk bahu anak muda tersebut.
“O iya, maaf. Om ini kena kasus apa?” tanya Niko, sambil kami memandang kawan-kawan yang turun mobil tahanan dengan pola satu persatu. Dimulai dari kendaraan terdepan.
“Sama dengan kamu. 378 dan atau 372,” jawabku, pendek.
“Ah, masak iya. Kalau ngelihat gaya om yang santai dan tanpa ekspresi gini, paling nggak om ini tersangkut kasus pembunuhan. Sebab gaya om kan dingin gitu,” ucap Niko, dan memandangku dengan tatapan serius.
“Jangan cepet ambil kesimpulan cuma dengan ngelihat tampilan orang, Niko. Karena apa yang tampak di mata, belum tentu sesuai dengan kenyataan sebenernya. Bahkan bisa berbalik 380 derajat,” jawabku, seraya tersenyum.
“Ya bener juga sih itu, setelah ngelihat gaya om. Aku inget pesen ayahku waktu dia besukan beberapa hari lalu. Dia bilang, hati-hati ketemu orang yang kalau ngomong nggak nunjukin emosi, intonasi bicaranya lambat, dan sampein pertanyaan dengan rileks, karena orang seperti itu punya kepribadian yang sangat sulit ditebak, bahkan bisa lakuin hal-hal yang nggak diduga,” kata Niko, dengan tetap menatapkan pandangannya ke arahku.
“Pesen ayahmu itu nggak salah, Niko. Namanya kamu lagi di penjara. Dunia dalam dunia yang bisa setiap saat munculin hal-hal nggak diduga. Tapi, nggak semua orang dengan kriteria ayahmu itu, adalah orang nggak bener. Nggak bagus juga kalau over protektif,” ujarku.
“Gimana om bisa jaga ketenangan selama ini?” tanya Niko dengan cepat.
“Sederhana aja kok. Hidup akan lebih tenang kalau orang lain nggak banyak tahu tentang diri kita. Simpelkan,” jawabku.
“Om sepakat nggak, kalau ketenangan itu segalanya?” tanya Niko lagi.
“Sepakat. Aku kasih tahu ya, kalau ada orang yang ngomong negatif tentang kamu, nggak usah bereaksi. Diemin aja. Karena mereka emang nunggu kamu bertindak agresif. Sebaliknya, kalau kamu nggak nunjukin emosi, mereka akan nilai kamu sebagai orang yang berbahaya. Pahami itu dan praktikin selama kamu di dalem,” uraiku, dan mengingatkan Niko untuk bersiap-siap turun dari mobil tahanan.
Seiring turunnya puluhan tahanan dari kendaraan yang membawa mereka, keluarga para pesakitan pun bergerak. Banyak yang duduk di kursi panjang yang disediakan di depan tempat ruangan tahanan sementara. Sebagian lainnya mendekat ke jeruji besi. Berbincang dengan anggota keluarganya. Sambil memberikan makanan yang mereka bawa.
Siang itu, aku turun dari mobil merupakan tahanan yang terakhir, setelah 64 orang lainnya telah keluar terlebih dahulu. Aku melihat istriku Laksmi dan adikku Laksa menunggu di dekat tangga. Wajah keduanya tampak tegang.
Dengan langkah cepat, aku mendekat. Ku cium dan peluk Laksmi dengan penuh rasa cinta berbalut kerinduan yang sangat dalam. Ku rangkul Laksa dengan keeratan rasa bangga. Sambil menuruni tangga menuju sel sementara, terus ku peluk istriku. Dengan sesekali mencium pipinya.
Petugas Kejaksaan Negeri yang telah hafal dengan kami, langsung berjalan ke arah ruangan sel bagian belakang. Selama mengikuti persidangan, aku memang selalu menempati sel tersendiri. Terpisah dari kawan-kawan yang lain. Yang berkumpul di dalam ruangan dengan jumlah puluhan orang. Dengan posisi sel terpisah, membuatku bisa bebas bertemu dengan keluarga. Dan tentu saja, semua fasilitas semacam ini tidaklah gratis. Tetap ada “uang sepemahaman”. Adikku Laksa yang mengatur semuanya.
“Ayah sehat-sehat aja kan. Ini sidang terakhir lo, ayah tetep tenang ya,” ucap Laksmi, sambil membuka kotak makanan.
“Alhamdulillah, ayah sehat kok, bunda. Yakin aja, ayah siap ngadepi apapun keputusan majelis hakim nanti. Toh, kita sudah dapet informasi berapa lama vonis buat ayah. Nggak usah jadi beban juga buat bunda,” sahutku, dan kembali memeluk Laksmi.
“Ayah yakin, informasi itu bener?” tanya Laksmi, menatapku dengan serius.
“Bukan yakin, tapi percaya. Hanya buat Allah yang namanya keyakinan. Yang pasti, dengan percaya sama informasi soal vonis itu, ayah jadi lebih tenang. Sudah tergambar, apa aja yang mau dikerjain selama jalani masa hukuman. Dan sudah ayah mulai sejak beberapa hari belakangan. Inshaallah, semuanya positif,” kataku, dengan tersenyum.
“Bunda seneng kalau ayah tetep tenang, sabar, dan ikhlas. Bunda sama anak-anak, terus doain yang terbaik buat ayah,” ucap Laksmi dan memelukku dengan erat.
Aku tahu, di balik ketegarannya, istriku Laksmi menyimpan sejuta kegundah-gulanaan yang sangat dalam pada sudut batinnya. Perasaan penuh ketidaktenangan yang acapkali memunculkan kepedihan dan ketidakpercayaan dirinya.
“Ini terakhir kali ayah keluar rutan. Selanjutnya, ayah cuma aktivitas di dalem. Bunda atur aja waktu sama anak-anak kalau mau dateng. Bisa kapan aja. Ayah jadi tamping bagian umum itu kan buat mempermudah kalau bunda mau besukan. Kita nikmati, syukuri, dan jalani aja kehidupan seperti ini. Dan kita mesti inget, terlalu banyak orang yang lebih nelongso dari kita,” tuturku, seraya memeluk erat Laksmi.
Cukup lama kami berpelukan. Mengungkap sejuta kepedihan yang mengendap di dalam jiwa. Meringankan segala beban yang ada. Meramu dalam kemasan kebersamaan atas nama cinta dan kasih sayang sepasang anak manusia.
Adikku Laksa mengeluarkan nasi bungkus dari kantong plastik yang dibawanya. Kami pun makan siang bersama. Aku menyuapi Laksmi. Yang tetap menempelkan badannya ke tubuhku. Tiba-tiba istriku membuka tasnya. Mengeluarkan selembar kertas.
“Tadi, nduk ayah nitip ini. Katanya buat ayah,” ucap istriku dan menyerahkan kertas ke tanganku.
Dengan perlahan, ku buka kertas yang terlipat rapih tersebut. Terdapat tulisan tangan anak gadisku, Bulan. Sangat rapih tulisannya.
“Nasihat Imam Syafi’i. 1. Bersabarlah yang baik, niscaya kelapangan itu begitu dekat. 2. Barangsiapa mendekatkan diri kepada Allah untuk lepas dari kesulitan, maka ia pasti akan selamat. 3. Barangsiapa yang begitu yakin dengan Allah, ia pasti tidak merasakan penderitaan. 4. Barangsiapa yang selalu berharap kepada Allah, maka Ia pasti akan memberi pertolongan,” begitu rangkaian kata yang ditulis Bulan.
Lama aku memegang kertas berisi tulisan Bulan tersebut, dan berulang kali aku membaca isinya. Bergetar badanku. Haru dan bangga menyatu. Begitu indah cara nduk-ku memasukkan ajaran kehidupan bagi ayahnya. (bersambung)