Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 518)

Dibaca : 0
 
INILAMPUNG
Jumat, 02 Juni 2023


Oleh, Dalem Tehang  


PROSES pengecekan di ruang terakhir menjelang keluar lokasi rutan ini pun tidak berlangsung lama. Dan setelahnya, satu persatu kami dipanggil untuk keluar gerbang dan langsung menaiki mobil tahanan. Untuk ke sekian kalinya, aku mendapat panggilan yang pertama.


Ketika keluar rutan, aku melihat ada tiga mobil tahanan yang disiapkan. Sesuai arahan petugas dari kejaksaan, aku menaiki kendaraan yang parkir tepat di depan pintu utama rutan.


Dan seperti biasa, aku menempati kursi yang berposisi membelakangi pengemudi. Sehingga, ketika mobil bergerak, layaknya aku berjalan mundur. Sekitar 25 orang yang berada pada kendaraan tahanan bersamaku. Banyak yang duduk di lantai, selain berpangkuan.


Aku memperhatikan wajah-wajah mereka. Rata-rata masih muda usia, dan cukup asing di mataku. Hanya beberapa saja yang aku mengenalinya. Menandakan banyak orang-orang baru yang terlilit kasus kriminal.


“Kamu baru sidang ini ya?” tanyaku kepada seorang pemuda yang duduk di sebelahku.


“Nggak, om. Ini sidang ketiga,” jawabnya, pendek.


“Kasus apa?” tanyaku lagi.


“Penipuan dan penggelapan, om. Kena pasal 378 dan 372,” sahutnya.


“O gitu. Emang gimana ceritanya, kok kamu bisa kena kasus itu?” tanyaku lagi. Penasaran.


“Aku kan sales, om. Karena gaji dan bonus yang dijanjiin perusahaan nggak sesuai sama yang aku terima, uang hasil penjualan, aku pakai buat urusan pribadi. Akhirnya, ya ginilah. Gara-gara kesel berujung hidup di sel,” ujar anak muda itu. Ada senyum kecut di bibirnya.


“Terus, keluargamu ngurus nggak?” kembali aku bertanya.


“Ya diuruslah, om. Bahkan, sampai urusan vonis aja sudah selesai. Sidang ini cuma formalitas. Paling dua kali sidang lagi juga sudah vonis,” jawabnya, dengan nada enteng.


“Wah, luar biasa ya. Berapa lama nanti kamu bakalan divonis,” ucapku, semakin penasaran. 


“Dua puluh bulan, om. Itu sudah disepakati. Tugasku, ya cuma hadiri sidang aja. Setelah ketok palu, aku mau usaha jualan rokok ketengan di dalem, sampai waktunya ngurus PB. Yah, paling sial  setahunlah aku di dalem,” tutur pemuda yang mengaku bernama Niko tersebut.


Mendengar pengakuan polos anak muda tersebut, aku terdiam. Begitu banyak kisah permainan hukum yang aku dapati selama menjadi penghuni rumah tahanan negara, beberapa bulan belakangan ini. 


“Berarti banyak juga keluargamu keluar uang ya, ngurus sampai bakal dapet vonis ringan gitu?” tanyaku, setelah kami berdiam beberapa saat.


“Kalau kata pedagang: ada rupa, ada harga, om. Gitu juga buat urusan kayak gini. Om pasti lebih pahamlah. Kan nggak mungkin aku ngajari buaya berenang,” jawab Niko, sambil melepas senyum renyahnya.


Mobil tahanan mulai bergerak. Seorang pria yang duduk di kursi dekat pintu, mengajak kami berdoa. Suasana kendaraan yang semula riuh, menjadi hening. Semua meng-amin-kan rangkaian doa yang dibacakan pria berkacamata yang usianya sekitar 50 tahunan itu. 


“Baru sekali ini, pas mau sidang ada yang mimpin doa di mobil tahanan,” kata seorang pria yang duduk di kursi dekatku. Diikuti tawanya.


Kami semua tersenyum. Memang, aku sendiri telah sebelas kali menjalani persidangan, baru sekali ini perjalanan dari rutan ke gedung pengadilan diwarnai dengan pembacaan doa.


“Kita jangan takabur. Harus sadar diri. Semua urusan kita ditangan Tuhan. Makanya, aku ngajak semuanya buat berdoa, agar Tuhan melindungi kita,” jelas pria yang beberapa waktu sebelumnya mengajak berdoa sekaligus memimpinnya, tersebut.


“Jadi, dimana pun atau apapun urusan kita, tetep harus berdoa ya, pak,” tanggapku.


“Harus gitu, pak. Kita ini makhluk lemah. Jangan ngerasa kuat dan hebat. Hilangin rasa itu dari pikiran kita. Masa-masa sulit memang nggak akan pernah hilang, tapi orang yang terus berdoa, akan tangguh dan bisa ngatasinya,” jawab pria itu.


Rombongan mobil tahanan terus bergerak. Kendaraan yang aku tumpangi berada di posisi paling belakang, mengikuti dua lainnya yang ada di depan. Suara sirine yang sangat khas dari mobil pengangkut tahanan ini, menyeruak di kebisingan arus lalu lintas. 


Anak muda yang duduk di sampingku, yang mengaku bernama Niko, menyampaikan jika perkataan pria tua yang mengajak kami berdoa, adalah sesuatu yang perlu menjadi perhatian.


“Maksudmu apa?” tanyaku kepada Niko. 


“Deketin diri sama Tuhan itu kunci ketenangan, om. Aku baru belajar solat ya pas sudah masuk bui inilah. Beda emang rasa di jiwa dan pikiran. Selain itu, aku ngakui kebeneran yang diomongin orang, jadilah terang tanpa menghina kegelapan, jadilah baik tanpa mengkritik orang lain, sebab setiap kita punya sisi gelap dan terang masing-masing,” jawab Niko, panjang lebar.


“Jadi maksudmu, kita perbaiki diri sendiri aja, nggak usah ngopeni orang lain, gitu ya?” tanyaku lagi.


“Bener itu, om. Dan gaya kita disini juga harus dirubah. Harus kelihatan bodoh, biar orang lain nganggep kita remeh, padahal dengan tampilan itu akan lebih mudah buat kita mencapai tujuan. Terus berlagak seperti nggak ngerti apa-apa, dengan begitu banyak hal yang bisa diserap dan kita nggak akan ngerasa bersalah. Yang penting lagi, bergerak aja sendiri, karena itu akan buat kita lebih leluasa, tanpa perlu bertanggungjawab pada orang lain,” urai anak muda yang memang tampak cerdas ini.


Aku mencermati perkataannya. Cukup memiliki wawasan dan ketenangan. Tampak sekali Niko mempunyai percaya diri yang tinggi. Terlepas dari perhatian besar keluarga dalam mengurus perkara yang melilitnya.


Tanpa terasa, konvoi tiga mobil tahanan telah memasuki halaman gedung Pengadilan Negeri. Tampak puluhan orang berdiri di pelataran parkir bagian belakang kantor penentu penegakan hukum tersebut. Mereka adalah keluarga tahanan yang hari itu akan mengikuti persidangan.


“Ramai bener ya, om,” ucap Niko, melihat situasi di pelataran parkir gedung Pengadilan Negeri yang tampak penuh-sesak oleh puluhan keluarga tahanan.


“Wajar aja sih, Niko. Rombongan kita ada 65 orang. Kalau satu orang didatengi dua anggota keluarganya aja, sudah berapa coba yang berdiri disana,” sahutku, dan menatap kawasan parkiran yang memang padat.


“Jujur ini ya, om. Setenang apapun perasaanku, begitu masuk gedung pengadilan, pasti nge-drop. Kenapa ya,” kata Niko lagi. Wajahnya yang ceria mendadak berubah penuh ketegangan. (bersambung)

LIPSUS