Cari Berita

Breaking News

Merobohkan Museum Lubang Buaya

Dibaca : 0
 
INILAMPUNG
Senin, 15 Mei 2023


Oleh, Hafis Azhari


Pada tanggal 1 Oktober tahun lalu, Bu Guru Tuti mengajak kami mengunjungi Museum Pancasila Sakti di Jakarta Timur, mengendarai bus SMU bernomor 65. Semua anak-anak di kelas, kecuali saya dan Anis Alawi, masih tergolong cucu dan saudara sepupu dari mendiang Jenderal Soeharto. Anis adalah satu-satunya anak yang kakeknya pernah menjadi korban tragedi 1965, dikenakan tahanan politik dan diasingkan di Pulau Buru, Maluku, sejak tahun 1966 hingga 1978.


Anis sebagaimana masyarakat Indonesia lainnya, menyebut museum gelap itu sebagai Museum Lubang Buaya. Bangunannya cukup luas dan megah, terbuat dari marmer berwarna kelabu, seperti rumah milyarder dari elit-elit politik Orde Baru. Museum itu dipenuhi berbagai foto hitam-putih yang tampak muram serta daftar nama-nama jenderal yang menjadi korban dalam peristiwa politik di akhir September 1965. Itulah yang membuat Anis merasa kecewa, karena semula ia mengira daftar nama-nama yang terpampang adalah jumlah korban kejahatan militerisme Orde Baru yang dinyatakan oleh Amnesty International. Bahkan, patung-patung yang terlihat juga bukan menggambarkan rakyat jelata yang dikorbankan melainkan hanya beberapa patung militer, yang kemudian dinamakan oleh Orde Baru sebagai “pahlawan revolusi”.


Bu Guru Tuti memperingatkan kami, “Awas, jangan memegang foto!” Tapi percuma saja, karena Anis di sebelah saya sudah telanjur meraba-raba foto yang delaminating dengan rapimemperlihatkan seorang tentara yang dipukul dengan popor senjata oleh seseorang yang bertampang seperti preman jalanan. Tampak muka sang tentara terperangah, seakan mengeluarkan darah dari luka di pelipisnya. Luka itu bergaris melengkung, seperti pondasi-pondasi baja untuk bangunan jalan-jalan layang di ibukota Jakarta.


Saya ikut memegang sebuah patung berwarna hitam, hingga teman saya Roni mengancam akan melaporkannya pada Bu Guru. “Sebodo amat!” cetus saya, bahkan jikapun dia melaporkan pada kepala sekolah. Biar sajalah.


Setelah ruangan berisi foto-foto, para pemandu mengantarkan kami ke dalam aula berukuran sedang, untuk menonton tayangan film berdurasi 15 menit tentang kekejian perilaku Partai Komunis Indonesia. Seorang pemandu menjelaskan kepada kami siapa sesungguhnya pembunuh-pembunuh pahlawan revolusi yang dibuang ke lubang sumur itu. Sebelumnya, kami memang telah diperlihatkan sebuah lubang yang ada bercak darah merah, hingga membuat para pengunjung merinding ketakutan. Saya tidak tahu apakah bercak merah itu bekas darah para jenderal yang dibuang di dalam sumur, ataukah hanya sekadar akal-akalan penguasa Orde Baru untuk mengelabui jutaan rakyat Indonesia.


“Mestinya ada tim medis yang mengotopsi para korban hingga tempat kejadian perkara, apakah mereka sudah melakukan itu?” tanya saya.


“Bung Karno menghendaki adanya keterbukaan, tetapi mereka menutupinya,” tegas Anis dengan rasa jengkel.


“Tapi seandainya PKI yang melakukan itu…”


“Seandainya itu bukanlah kebenaran ilmiah,” tandas Anis lagi, “tapi dengan mengandai-andai itu, bangsa kita telah mengorbankan ratusan ribu bahkan jutaan rakyat yang dituduh PKI. Padahal, agama Islam jelas-jelas mengajarkan, kebencian kita pada suatu kaum, tidak boleh membuat kita berlaku tidak adil kepada kaum tersebut.”


Seorang pemandu tua muncul sambil memegang mikrofon. Ia mengaku pernah diberondong senjata oleh para penculik yang terpampang di foto-foto itu, sampai kemudian berlindung dan diamankan oleh tentara-tentara di bawah komando Jenderal Soeharto.


Hadirin terkagum-kagum mendengar cerita itu, tetapi Anis Alawi yang duduk di sebelah saya, menyatakan bahwa kakek tua itu cuma membual dan mengarang-ngarang saja. Buktinya, setelah Soeharto jadi presiden RI justru kakeknya sendiri yang dikorbankan, padahal ia hanya bergabung dengan Serikat Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) yang bekerja di perusahaan jasa layanan kereta api. Tapi, ketika saya menatap mata pemandu tua itu, sepertinya ia masih menyimpan dendam kesumat, dengan sorotan mata membara bagaikan seraut wajah Anwar Congo dalam film yang meraih nominasi Oscar, “The Act of Killing”.


Si kakek tua mengakhiri ocehannya, bahwa apa-apa yang dia nyatakan tetap valid dan relevan hingga saat ini. Bahkan, dia menyarankan kami jika berkunjung ke luar negeri, tak usah mengunjungi negeri Vietnam, karena khawatir adanya benih-benih komunisme yang hidup kembali di negeri ini. Ia mengaku dirinya sudah memaafkan tetapi tidak melupakan. Namun katanya, kalau generasi muda tidak mengamalkan ajaran Pancasila, ia akan mengubah prinsipnya menjadi: tidak memaafkan dan juga tidak melupakan.


"Orang-orang cenderung memaafkan, tetapi kalian jangan sampai melupakan,” kata si kakek, "dan kalian harus mencintai produk-produk dalam negeri, ketimbang produk-produk yang dibuat dan diimpor dari negeri-negeri komunis, paham kan?”


Anis Alawi sekali lagi mengatakan “bohong” di samping saya. Ia memang masih ada garis keturunan habib yang kakeknya berasal dari Tanjung Priok, dan sebagaimana anak Indonesia yang memiliki garis keturunan Hadhramaut (Arab), ia senang bicara blak-blakan dan apa adanya. Bahkan, perihal kebohongan pemandu tua itu, ia menyatakan dirinya telah mempelajari “forensik emosi” hingga mampu membedakan mana yang bicara sejujurnya, dan mana wajah-wajah yang suka ngibul dan bicara dibuat-dibuat belaka.


Dari kebanyakan kami memilih bungkam ketimbang beberapa orang yang menyatakan paham. Dalam perjalanan pulang, Anis kembali meyakinkan saya bahwa apa-apa yang disampaikan kakek tua itu hanya ilusi dan halusinasi belaka. Ia mengenalkan pada saya konsep “reifikasi” yang artinya, ketika kita berulang-ulang kali mengarang suatu dongeng dan berulangkali diceritakan, maka dongeng karangan itu seakan menjadi kenyataan yang empiris.


Beberapa hari kemudian, ayah saya pulang dari liburannya di Beijing dan membelikan saya laptop buatan Cina. Rupanya, ibu saya secara diam-diam membisiki ayah kalau saya menginginkan laptop merek tersebut. Ayah tersenyum sambil menyerahkan hadiah itu kepada saya. Ia yakin kalau saya tidak tahu apa yang ada di dalam kotak itu. Tapi saya mengenali logonya pada bagian luar kantong pembungkus, dan saya mengucapkan banyak terima kasih.


“Ayo buka sekarang juga,” kata Ibu memerintahkan. Ayah juga menanti di samping kami. Kotak itu berbentuk segi empat, mengingatkan saya pada kotak peti mati untuk menguburkan Jenderal Soeharto di Astana Giribangun, Karanganyar, Jawa Tengah. Tetapi, kotak kecil pemberian ayah justru memberi kenyamanan di hati saya. Ia berisi laptop unik berwarna silver, suatu benda menarik yang sedang menjadi impian saya selama beberapa bulan terakhir ini.


Kedua orang tua saya tersenyum gembira. “Kamu tahu kan, laptop itu buatan Cina?” tanya ibu dengan antusias.


“Ya, saya tahu, Bu,” jawab saya pelan.


“Itu laptop terbaik dari semua laptop pruduk Cina,” tambah ayah meyakinkan.


“Iya, Yah, terima kasih,” balas saya singkat, sambil membawa benda itu menuju kamar.


Mereka saling bersitatap ketika saya menutup pintu kamar. Segera saya menghempaskan diri di tempat tidur, membayangkan betapa orang tua saya tak pernah mengadakan study tour ke Museum Lubang Buaya bersama keluarga besar Cendana yang terdiri dari para cucu dan saudara sepupu mendiang Jenderal Soeharto.


Tentu saja mereka tak pernah menyaksikan kakek-kakek ompong bicara seenaknya, bahkan mengarang-ngarang cerita bahwa dirinya pernah diperlakukan sewenang-wenang oleh para pemberontak seperti yang dibenarkan oleh film-film buatan Orde Baru itu.


Bagi mereka, tak ada urusannya apakah laptop itu hasil buatan Cina, Jepang, Amerika maupun Vietnam. Yang jelas, itu adalah salah satu dari produk laptop terbaik di dunia dalam beberapa tahun terakhir ini. Saya mulai mencoba dan mengoperasikan laptop itu di atas meja.


Tak ada gunanya bicara panjang-lebar mengenai kekejaman PKI di tahun 1965, yang menurut Anis sarat dengan beragam dusta dan kebohongan. Mungkin saja apa yang dikatakan kakek tua itu benar, atau mungkin juga Anis yang justru lebih benar. Karena saat ini, semakin mudah dilacak mengenai kebenaran maupun kebohongan sejarah, serta apa motif utama di balik segala dusta dan kebohongan itu.


“Apakah laptop itu sesuai dengan keinginan kamu?” tanya ibu saya.


“Ya, memang ini yang saya harapkan, Bu, terima kasih,” kembali saya menyentuh logo pada laptop tersebut.


Beberapa bulan kemudian, dengan laptop tersebut saya mengikuti lomba arsitek lanskap untuk tingkat remaja dan dewasa, kemudian berhasil meraih nominasi untuk penataan alun-alun kota yang diselenggarakan Walikota Jakarta Timur. Anis ikut menghadiri acara penganugerahan hadiah untuk para pemenang, meski kemudian ia berkelakar bahwa ada satu hal yang dilupakan oleh saya mengenai rancang-bangun untuk alun-alun kota tersebut.


“Saya melihat ada bangunan tempat ibadah, lapangan olahraga, taman dan air mancur, juga perpustakaan. Kenapa tidak ada museum?”


“Museum apa?” tanya saya seketika.


“Museum Lubang Buaya?” canda Anis.


“Ah, sontoloyo doang… kalau perlu, saya buatkan museum kebohongan Orde Baru saja….”


Anis dan saya melanjutkan perbincangan dan senda gurau dalam waktu yang cukup lama. Bahkan, dia mengusulkan agar museum apa pun di negeri ini, yang tidak mendasarkan diri pada riset dan penelitian ilmiah, sebaiknya ditinjau ulang secara seksama, kalau perlu dirobohkan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. ***


Hafis Azhari, Pengarang novel Pikiran Orang Indonesia dan Perasaan Orang Banten

LIPSUS