Oleh, Dalem Tehang
“JADI, abang di belakang layar aja ya. Didit yang di depan,” kata pak Manto, seusai Didit menjelaskan panjang lebar mengenai apa saja yang ia lakukan untuk mengendalikan Blok B.
“Itu yang terbaik, pak. Aku kan sudah aktif disini, dari pagi sampai sore. Nggak usah lagi direpoti sama urusan blok. Didit bisa nangani semuanya kok,” jawabku.
“Sip kalau gitu, bang. Berarti kalau Didit mau koordinasi sama abang, baiknya disini aja. Nggak ada warga binaan di Blok B yang tahu kalau sebenernya abang inilah pengendali blok alias kepala blok ,” lanjut pak Manto.
“Terimakasih atas kesempatannya, pak. Seneng bener saya bisa main-main disini. Rasanya kalau disini, kayak bukan lagi di penjara,” ucap Didit, sambil membungkukkan badan ke arah pak Manto. Menghormat.
“Santai aja, Didit. Siapa aja kawan bang Mario, berarti kawan saya. Apalagi kamu dipercaya jadi pengendali harian di blok. Lakuin aja tugasmu dengan baik. Dan tetep diniati sebagai bagian dari ibadah, biar dapet pahala,” kata pak Manto lagi.
“O gitu, ya pak. Mohon sarannya, saya harus bagaimana kendalikan blok sehari-hari,” ujar Didit, dengan wajah serius.
“Kenapa saya bilang kalau dalam lakuin tugas itu tetep diniati sebagai ibadah, biar kita terjaga dari hal-hal yang nyakiti sesama dan tetep dapet pahala. Dalam situasi apapun, kita harus gelorain di jiwa semangat amar ma’ruf nahi munkar,” jelas pak Manto.
“Maksudnya amar ma’ruf nahi munkar itu apa, pak. Saya nggak paham,” tanggap Didit, terusterang.
“Maksudnya itu, memerintahkan kebaikan dan melarang kemungkaran. Walau ini di rutan, tetep bisa lakuinnya. Cara perjuangin semangat amar ma’ruf nahi munkar itu dengan tiga hal. Yaitu ilmu, kelembutan, dan kesabaran,” lanjut pak Manto.
“Tolong diuraiin sih, Bos. Biar kami lebih paham,” Yoga menyela.
“Ini saya ngutip pendapat ulama besar namanya Ibnu Taimiyah ya. Jadi bukan mau-mau saya atau kata saya. Beliau bilang: Ilmu dihadirkan pada keadaan sebelum memerintah atau melarang. Kelembutan dihadirkan ketika sedang melakukannya, sementara kesabaran menyertai setelahnya. Ketiga hal ini harus mengiringi keadaan-keadaan tersebut. Kalau mau tahu lengkapnya, ada di buku Shifatus Shafwah jilid 4,” tutur pak Manto.
“Artinya, pinter-pinter berstrategi sebelum kasih perintah atau larangan ya, pak. Juga harus penuh kelembutan dalam praktiknya. Nggak boleh pakai cara paksaan gitu ya,” ujar Didit, menimpali.
“Begitulah arahan Ibnu Taimiyah, Didit. Dan menurut saya, pola itu sangat cocok untuk diterapin disini. Kita harus punya ilmunya buat ngajak kawan-kawan lakuin kebaikan. Ya dengan strategi yang baik, dan nerapinnya penuh kelembutan. Kamu perlu tahu, di saat kita berada di lingkungan yang keras seperti di rutan ini, kalau kita berani dan konsisten bertahan dengan gaya penuh kelembutan, pasti akan banyak menarik simpati,” sambung pak Manto.
“Pak Manto yakin dengan pola kelembutan itu?” tanya Didit, menatap wajah kepala bagian umum rutan tersebut.
“Yakin, Didit. Buktinya sudah banyak kok. Atau bisa lihat dalam gaya bang Mario ajalah, gimana dia selama ini. Kan cara gaulnya santai, menyapa siapa aja dengan cara yang lembut dan sopan santun dijaga, bisa nutupi emosi dengan baik walau beberapa kali dipancing orang. Buktinya, banyak ipis disini yang segen dan deket sama bang Mario. Dan itulah salah satu penilaian kenapa pegawai penanggungjawab blok jadiin dia kepala blok. Karena kelembutannya itu diyakini bisa ciptain ketenangan semua penghuni blok,” pak Manto mengurai panjang lebar.
“Nggak usah berlebihan nilai orang, pak. Aku ini belum jadi orang baik. Masih terus berjuang keras buat jadi baik dan bermanfaat buat kawan-kawan disini,” kataku, meluruskan.
“Kita memang nggak bisa menilai diri kita sendiri, bang. Onani namanya. Orang lainlah yang menilai kita. Apa yang aku sampein tadi, ya penilaian kawan-kawan pegawai juga sebagian sipir disini terhadap abang. Sudah bener kalau abang nyadari belum jadi orang baik dan terus berjuang jadi baik, itu nandain abang bukan tipe orang yang sombong dan gede kepala,” tanggap pak Manto, seraya tersenyum lepas.
Banyak hal yang kami bicarakan di ruang kerja kabag umum rutan, pagi itu. Utamanya aku, Yoga, dan Didit terus meminta pencerahan. Karena pada hakekatnya, kehidupan keseharian memang mesti dihiasi dengan pencerahan dan kecerahan. Agar jiwa dan pikiran tidak terjebak dalam lingkup rasa kesempurnaan.
Saat waktu semakin siang, aku berpamitan kepada pak Manto untuk mengikuti persidangan terakhir.
“Oke, bang. Tetep tenang dan pede aja ya. Kalau dengan vonis majelis hakim nanti, abang ngerasa terluka, jangan bilang: Semoga Allah membalasnya. Tapi, ucapin dalam hati: Ini balasan terbaik atas segala kesalahan yang pernah aku lakukan,” kata pak Manto, dengan wajah serius.
“Intinya, tetep nerimo aja ya, pak,” ucapku, menyela.
“Iya, nerimo dan ikhlas aja. Apalagi, abang kan memang sudah nggak mikirin mau kena hukuman berapa lama. Ngapain hati dibiarin jadi gundah dan pikiran nggak karuan. Rugiin diri sendiri namanya,” tanggap pak Manto.
“Tapi, pak. Nerimo sama apapun putusan hakim itu bukan berarti nggak percaya sama masih adanya kebenaran dan keadilan kan?” tanya Yoga.
“Nggak ada gunanya ngomongin kebenaran atau keadilan kalau nggak dipraktikin, Yoga. Baca buku The Great Leader of Umar bin Al-Khattab karangan Ali Muhammad ash-Shalabi, disana diceritain soal posisi hakim,” sahut pak Manto.
“Pesan pentingnya apa, pak?” tanya Yoga lagi.
“Umar bin Khattab berpesan kepada para hakim di masanya memerintah, berlakulah sama dalam menerapkan keadilan di majelismu, agar seorang yang mulia tidak begitu mengharap kedzalimanmu, dan seorang yang lemah tidak putus asa dari keadilanmu. Itu yang saya inget,” jawab pak Manto, tetap dengan senyum sumringahnya.
Seusai pak Manto mengakhiri ucapannya, aku menyalami dan meninggalkan ruang kerjanya. Kembali ke kamar 30 di Blok B. Mempersiapkan diri untuk mengikuti persidangan terakhirku. Didit juga mengikuti langkahku.
Ketika kami melewati halaman depan kantor rutan, ada suara memanggil. Ternyata pegawai penanggungjawab Blok B. Aku dan Didit langsung mendekat. Ia mengajak kami berbicara di ruang kerjanya. Namun aku meminta izin untuk tidak mengikuti pertemuan, mengingat sudah waktunya bersiap-siap menghadiri sidang.
“Kalau gitu, saya sama Didit aja yang ngobrol ya, om. Nggak usah pusing mikirin vonis, om pasti sudah tahu mau diputus berapa lama. Paling beberapa bulan lagi juga sudah bisa ajuin pembebasan bersyarat alias PB. Santai aja, om,” kata pegawai penanggungjawab Blok B, sambil mengacungkan jempol tangannya ke arahku.
Aku membalas perkataannya dengan senyuman, dan melangkah dengan cepat untuk menuju kamar. Setelah berganti pakaian khas peserta sidang, aku kembali keluar. Bergabung dengan puluhan tahanan yang hari itu akan mengikuti persidangan kasusnya. Berkumpul di pelataran pos penjagaan dalam. Menunggu waktu pemberangkatan. (bersambung)