Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 515)

Dibaca : 0
 
INILAMPUNG
Selasa, 30 Mei 2023


Oleh, Dalem Tehang


AKU sudah tahu mau divonis berapa lama, pak. Itu alasan yang pertama. Jadi, sudah kebayang berapa bulan lagi mondok disini. Alasan kedua, aku disini banyak kegiatan positif. Mulai pagi sampai sore ngantor di bagian umum. Malemnya, buat tulisan cerita pendek, yang sekarang rutin ditayangin sama kawan di media online-nya. Alasan ketiga, aku terus bisa baca Alqur’an dan ibadah rutin. Alasan keempat, istri, anak-anak, dan keluarga tetep bisa kapan aja nemuin aku disini. Bahkan nggak perlu lagi antri ke ruang besukan karena bisa di ruang bagian umum ketemunya. Nikmat apalagi yang mau aku dustain kalau sudah dapet begini banyak kemudahan. Gitukan, pak,” tuturku panjang lebar, seraya melepaskan senyuman.  


“Paham aku sekarang kenapa babe nggak peduliin soal vonis. Karena memang sudah nggak dipikirin ya,” celetuk pak Waras, dengan melepas tawanya.


“Ya kayak gitulah sederhananya, pak. Tapi, nanti aku tetep hadir di persidangan. Menghormati proses hukumnya. Hal-hal lain mah, ya tadi itu, pak. Bodo amat,” balasku, juga sambil tertawa.


“Alangkah enaknya pak Waras sama bang Mario dari tadi ketawa. Jangan-jangan lagi pada puber yang nggak kesampeian ini ya,” tiba-tiba terdengar suara Yoga dari arah jeruji besi.


“Nah, kesimpulan Yoga ini yang bahaya, be. Kata orang, kesalahan terbesar seseorang itu adalah ketika dengernya setengah, ngertinya seper-empat, mikirnya nol, tapi ngomongnya dobel,” sahut pak Waras, yang kembali tertawa ngakak.


Aku dan Yoga juga ikut tertawa mendengar sahutan pak Waras yang memang jenaka. 


“Ampun aku sama pak Waras ini, ada aja celetukannya. Aku jadi inget omongan guruku dulu: Saat kecerdasan nggak lagi bisa hadirkan kebenaran, jadi bodoh dan nggak tahu apa-apa, terasa seperti berkah,” kata Yoga, di sela-sela ketawanya.  


Setelah tamping kunci datang, aku segera keluar kamar dan berjalan beriringan dengan Yoga menuju ruangan bagian umum. Saat kami memasuki ruangan P-2-U, seorang sipir menyapaku. Menanyakan apakah aku masih mengikuti persidangan.


“Masih, terakhir siang nanti. Pembacaan vonis,” jawabku.


“Asyik juga pakde ini. Belum lagi vonis, sudah aktif jadi tamping. Di bagian umum pula,” sahut sipir itu, seraya tersenyum.


“Alhamdulillah. Diperintah namanya juga. Ya harus diikuti. Ketimbang kena bagal,” ujarku lagi, sambil tertawa.


Sekitar 15 menit kami di ruangan bagian umum, pak Manto datang. Dengan gaya khasnya yang penuh senyum, ia menaruhkan bungkusan kecil dan meminta Yoga mengambil piring. Ternyata berisi kue donat khas kampung.


“Sarapan kayak gini aja kan nggak apa-apa ya, bang. Yang penting perut keganjel,” kata pak Manto, kepala bagian umum rutan, melepas senyum sumringahnya.


“Alhamdulillah, pak. Lain kali biar aku sama Yoga aja yang siapin makanan kecil gini. Nggak enaklah, masak kami dibawain terus setiap harinya,” tanggapku dengan serius.


“Mau beli dimana abang kue khas kampung gini. Mana ada yang jual di dalem. Aneh-aneh aja abang ini. Sudah bener saya yang bawain. Kebetulan, orang di samping rumah saya itu memang dagang cemilan kayak gini. Jadi hitung-hitung bantu dia dan dapet pahala juga bisa bawain abang sama Yoga,” balas pak Manto.


“Tapi kami nggak enak hatilah, Bos. Walau makanannya emang enak-enak sih,” Yoga menyeletuk.


“Jadi begini, kata guru ngaji saya, hidup ini kayak tasbih. Berawal dan berakhir di titik yang sama. Bukan tasbih kalau cuma satu butir. Bukan hidup kalau cuma satu masalah. Hidup akan sempurna kalau lewati serangkaian butiran,” kata pak Manto.


“O gitu, Bos. Terus Bos,” Yoga menyela.


“Suka, duka, bahagia, sukses, atau gagal itu pasti ada. Hidup ini pasang surut. Ya, kayak tasbih itulah. Melingkar. Hidup ini juga begitu. Sampai kemudian hilang dan pergi tetep dalam lingkaran takdir Tuhan,” lanjut pak Manto. 


“Intinya, jangan kecil hati karena lakuin kesalahan dan masuk bui ya, Bos,” kata Yoga.


“Bener, nggak ada alasan buat kecil hati kok. Kemarin saya dikasih guru baca buku judulnya Hilyatul Auliya. Di buku itu, Imam Asy-Sya’bi bilang begini: Seandainya benarku itu ada sembilan puluh sembilan dan kesalahanku hanya satu, niscaya mereka akan mengambil yang satu dan meninggalkan yang sembilan puluh sembilan. Nah, kalau ulama dari jaman ratusan tahun yang lalu aja sudah sampein begitu, ngapain kita kecil hati cuma karena lakuin satu kesalahan dan diremehin orang. Biar aja orang nganggep kita rendah, yang penting kita deket sama Tuhan. Karena yang ngatur hidup kita itu Tuhan, bukan sesama makhluk,” urai pak Manto, dengan penuh semangat.


“Sepakat, Bos. Aku bangga bener, Bos semakin bijak dan makin dalem pemahamannya. Kalau aku selama ini, nyemangati diri dengan inget satu kalimat: Satu kesulitan nggak mungkin ngalahin dua kemudahan,” ucap Yoga.


“Maksudnya satu kesulitan nggak mungkin ngalahin dua kemudahan itu, gimana ya, Yoga?” tanyaku, penasaran.


“Karena kita lakuin kesalahan, akhirnya kan di penjara, bang. Ini kesulitan kita. Ngenes jiwa raga kita dan keluarga. Tapi, ada dua kemudahan yang kita dapet. Bisa tenang ibadah dan aktivitas yang positif, dan terus-menerus introspeksi diri,” jawab Yoga.


“Masing-masing kita punya cara sendiri buat memotivasi untuk perbaiki diri. Itu yang harus sama-sama kita pahami. Tapi, buat saya dan bang Mario yang bisa dibilang sudah memasuki usia senja, sebaiknya nggak usah banyak bicara. Nanti salah. Nggak usah juga banyak berharap, nanti kecewa. Banyak-banyak ikhlasin ketika ngerasa ditinggalin. Banyak-banyak maafin, dan perbanyak doa biar dikuatin,” pak Manto menambahkan.


Saat kami masih berbincang, datang seorang sipir P-2-U. Melapor kepada pak Manto bila ada warga binaan bernama Didit yang akan menghadap. Sesaat tampak pak Manto mengernyitkan dahinya. Berpikir. Dengan spontan aku meminta sipir tersebut untuk membawa Didit ke ruangan bagian umum.


Setelah sipir P-2-U bergerak dengan menuruni tangga, aku menjelaskan kepada pak Manto siapa Didit dan peran yang aku berikan kepadanya di Blok B.


“Woalah, saya kan nggak kenal, bang. Untung abang cepet respon. Kalau nggak, pasti saya tolak. Namanya juga nggak kenal,” ujar pak Manto, dengan tersenyum lepas.


Tidak lama kemudian, Didit datang didampingi sipir P-2-U. Aku memperkenalkannya kepada pak Manto. Kami berempat duduk di ruang kerja kepala bagian umum. Didit menyampaikan apa saja yang telah dilakukannya semalaman sesuai arahanku. (bersambung)

LIPSUS