Oleh, Dalem Tehang
“ITU Aris kan, om,” kata pak Ramdan.
“Iya, kalau ngelihat postur dan gayanya sih, pak. Aris itu,” jawabku.
“Alhamdulillah. Begitu besar hidayah yang diterimanya ya, om. Belum tentu selama ini di rumah dia pernah pegang sapu. Begitu disini malah menyapu masjid,” lanjut pak Ramdan, sambil mengucap istighfar beberapa kali.
“Bener kata seorang kawan, be. Kata dia: Kamu nggak perlu merasa minder dan lemah di depan sesama, kamu hanya perlu merasa lemah di hadapan Allah. Aris nunjukin itu di Rumah Allah. Sungguh berbahagia dia,” pak Waras menimpali.
“Hidayah itu emang nggak bisa dateng ke semua orang ya, pak. Seneng dan haru aku lihat Aris pagi ini,” ucap pak Ramdan. Matanya tetap mengarah ke masjid, tempat mantan anggota Dewan Yang Terhormat itu tengah membersihkan lantainya.
“Bener, nggak asal aja Allah kasih hidayah, pak. Aku inget, Ibnu Taimiyah pernah bilang di sebuah bukunya, begini: Jangan heran terhadap banyaknya dalil kebenaran dalam keadaan mayoritas orang tidak mengetahuinya. Memang sesungguhnya dalil-dalil kebenaran itu banyak. Namun, Allah memberi hidayah menuju jalan yang lurus hanya untuk orang-orang yang Dia kehendaki. Jadi, bisa aja ibadah kita sama, ngejaga diri dari perbuatan yang nggak diridhoi juga sama, tapi belum tentu kita sama-sama dapet hidayah. Karena soal hidayah, sepenuhnya hak Allah,” tutur pak Waras.
“Semua ternyata nggak lepas dari takdir itulah ya, pak,” sambung pak Ramdan.
“Bapakku dulu pernah ngomong begini, pak. Opo wae sing dadi garismu, bakal goleki dalan nemokne marang awakmu. Artinya, apapun yang menjadi takdirmu, akan mencari jalan untuk menemukanmu. Dan tugas kita hidup di dunia ini hanya tiga aja kok, tahu diri, rendah hati, dan inget mati. Kembangin dan lakuin aja tiga hal itu dengan baik, inshaallah kita selamat di dunia dan akherat,” kata pak Waras lagi.
“Tapi sekarang kan banyak orang yang sok pinter, pak. Ngajari kita ini-itu tapi sebenernya dia sendiri nggak kuasai ilmunya dengan baik,” tanggap pak Ramdan.
“Makanya, kita perlu pahami bedanya orang yang pinter beneran sama yang sok pinter, pak. Kalau orang yang pinter beneran itu, dia diam walau tahu, lebih banyak ngedenger, sekalinya bicara ada manfaatnya, walau sudah tahu tapi tetep mau belajar. Kalau yang sok pinter, ngerasa paling tahu padahal nggak tahu, banyak omong kosongnya, belum pernah mencoba tapi bergaya paling tahu, dan karena ngerasa sudah pinter makanya nggak mau belajar lagi. Cermati aja kalau ada yang ngajak pak Ramdan ngobrol dengan kriteria itu,” jelas pak Waras, seraya tersenyum.
“Kalau aku dulu diajari ayah, lakuin lima hal biar hidup nyaman. Pertama, banyaklah diem buat lihat siapa yang nyepelein. Kedua, jadilah baik untuk lihat siapa yang gunain kesempatan manfaatin kamu. Ketiga, pura-pura lugu dan keempat, sering-seringlah mengalah untuk lihat siapa yang menginjak-injakmu, serta kelima, berilah kepercayaan untuk menilai siapa yang mengkhianatimu. Ajaran itu juga aku turunin ke anak-anak,” ujar pak Ramdan.
Waktu terus bergulir sesuai alurnya. Aku mengajak pak Waras dan pak Ramdan kembali ke kamar. Selepas membersihkan badan dan memakai kaos berkerah dipadu dengan celana jeans, aku mengaktifkan telepon seluler. Menghubungi istri dan anak-anakku. Juga mengirimkan cerpen yang telah rampung tadi malam kepada Dian.
Saat aku masih asyik ber-chat-an dengan istri juga anak-anak, kap Yasin bangun dari tidurnya. Ia menceritakan, dinihari tadi satu demi satu semua kap kamar dipanggil Didit ke gazebo yang ada di depan kamar 34.
“Apa yang disampein Didit, kap?” tanyaku.
“Persis sama yang om sampein. Semua kamar sekarang boleh ada botol –hp- minimal lima unit. Setoran Rp 12 juta sebulan. Semua yang main modus love scam disatuin kamarnya, biar lebih terorganisir. Dan yang buat kami semua kap kamar seneng, masing-masing kebagian jatah Rp 1.500.000 sebulannya dari uang botol itu, om. Yang kayak gini, sebelumnya nggak pernah ada. Masuk kantong Dino sama Basri pribadi,” urai kap Yasin dengan bersemangat.
“Alhamdulillah. Berarti Didit bawa perubahan bagus ya, kap. Kita harus dukung kebijakannya itu,” tanggapku, seraya tersenyum puas.
“Iyalah, om. Kami 33 kap kamar buat pernyataan langsung waktu ketemu tadi, dukung apapun keputusan Didit. Om juga kasih masukan ke Didit, sebulan sekali kita riyungan di blok ini. Biar makin ngerasa jadi keluarga kita semua disini,” imbuh kap Yasin, dengan wajah ceria.
“Siap, kap. Nanti kalau pas ada kesempatan, aku ajak Didit ngobrol. Aku izin dulu ya. Mau ngantor,” kataku, dan beranjak dari bidang tempat tidurku.
Sambil menikmati kopi pahit di ruang depan, aku menunggu Yoga menjemput. Tanpa sengaja, mataku menatap selembar kertas usang yang ada di sudut pintu. Aku ambil kertas itu. Ada tulisan disana. Cukup rapih. Berbunyi: “Pernah ada sesuatu yang rasanya berat sekali, ternyata bisa dilewati juga. Pernah ada sesuatu yang rasanya sangat hancur dan tidak akan ada jalan lagi, ternyata semuanya masih baik-baik saja. Kita cuma perlu bertahan dan terus melaluinya. Bisa jadi, yang buruk hanya di pikiran saja.”
Tanpa sadar, aku membaca rangkaian kata yang sarat makna itu, hingga berkali-kali. Sampai kemudian, pak Waras menegur. Aku serahkan selembar kertas itu ke tangannya. Tampak ia demikian serius membaca dan memahami rangkaian kalimatnya. Dan beberapa saat kemudian, ia menatapku. Yang aku tanggapi dengan mengangkat bahu.
“Tadi kertas itu di sudut deket pintu, aku ambil. Ternyata ada tulisan yang sangat bagus gitu, pak,” jelasku kepada pak Waras.
“Memang terkadang kita nggak perlu tahu siapa atau dari mana asal sesuatu, be. Yang perlu kita ambil adalah pelajaran yang ada di dalemnya. Bener-bener ngerasa tersengat semangat jiwaku setelah baca kalimat di kertas ini,” ucap pak Waras, dengan wajah serius.
“Kata-katanya amat mengena buat kita yang lagi di penjara emang, pak. Biar kita nggak patah semangat,” sahutku.
“O iya, babe kan hari ini sidang putusan. Kok masih mau ngantor dulu. Kayak nggak perlu aja sama urusan vonisnya nanti,” kata pak Waras, mengalihkan pembicaraan.
“Kadang, kita juga perlu bodo amat pada sesuatu, pak. Biar nggak gila,” jawabku, dan tertawa ngakak.
Pak Waras pun spontan tertawa melihat tanggapanku atas pertanyaan seriusnya.
“Kenapa kok kayaknya babe nggak mau mikirin putusan hukuman nanti itu?” tanya pak Waras, setelah kami menghentikan tawa. (bersambung)